“Jaman dahulu banyak orang tua bekerja keras di sawahnya dengan prinsip, biarlah saya kerja membanting tulang di sawah asalkan anak saya dapat meneruskan sekolah ke ITB.” Begitu kata Bapak Doddy Susanto, seorang Pengamat Sosial Budaya dalam sebuah acara Public Corner di Metro TV pada hari Selasa, 24 Februari 2009 pukul 15.30-16.00 WIB. Ada yang ‘nendang’ di sudut hati ketika mendengar kata-kata beliau di atas. Karena sungguh sangat terasa kawan, ‘semangat’ itu mulai memudar sekarang, justru ketika pemerintah mulai memberikan subsidi ekstra untuk dunia pendidikan kita.
Ketika saya duduk dibangku SD tahun 70-an, SMP dan SMA tahun 80-an, jika ingin mendapatkan biaya sekolah gratis maka kita harus mengukir prestasi terlebih dahulu. Yang ironisnya sekalipun kita telah mengukir prestasi di sekolah kita, belum tentu kita bisa menikmati biaya sekolah gratis jika kita tidak mampu bersaing dengan siswa berprestasi dari sekolah lain. Ya..begitulah kawan. Jargon yang mendengungkan hidup adalah perjuangan begitu jelas terasa denyutnya pada waktu itu. Akan tetapi semua tantangan itu bukannya membuat diri kita semakin mundur langkah, malah sebaliknya semua tantangan itu justru memacu semangat belajar dan berkarya semakin memuncak.
Tetapi bagaimana sekarang ? Sejak beberapa tahun yang lalu Pemerintah telah menyalurkan Biaya Operaional Sekolah (BOS) ke Satuan Pendidikan Dasar (SD/MIS dan SMP/MTs). Sehingga orang tua siswa dapat terbantu biaya pendidikan anaknya. Mengingat biaya operasional setiap sekolah berbeda-beda sementara jumlah dana BOS yang diberikah ke sekolah negri atau swasta sama, ya wajarlah jika ada sekolah yang masih mengambil kutipan dana dari orang tua murid. Apalagi untuk sekolah swasta Setidaknya kutipan itu tidak sebesar sebelum disalurkannya anggaran BOS ini. So…kemudahan itu telah tiba.
Namun apakah yang terjadi ? Kemudahan yang ditawarkan justru membuat semangat bertarung meraih ilmu itu semakin surut. Orang tua murid cenderung menuntut segala sesuatu serba gratis, sementara nyali belajar siswa semakin menipis. Saya terkadang tertawa geli jika melihat demo yang menuntut pendidikan gratis. Belum lagi para politisi yang selalu menggunakan ‘lagu kebangsaan’ menawarkan pendidikan gratis ketika kampanye Pilkada ataupun Pemilu. (he he he…gak maksud nyerempet ke politik praktis lo…). Ya…gitulah kalo pendidikan telah di politisasi.
Pertanyaannya sekarang…andaikata pendidikan gratis memang terwujud di negri ini secara merata sampai ke pelosok daerah, apakah masyarakat kita sudah siap mental untuk itu ? Sehingga tujuan Negara Republik Indonesia tercinta ini seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 terwujud ? Sementara bukan rahasia lagi di jaman sekarang ini banyak orang tua menyekolahkan anaknya dengan satu obsesi…. I…J…A…Z…A…H…!! Dari kecil anak dicekoki dengan tujuan sekolah untuk mendapatkan ijazah supaya mudah mendapatkan pekerjaan, hingga dewasapun si anak meneruskan pola pikir itu dan akhirnya….berserakanlah di sekitar kita pihak-pihak yang memiliki ijazah..tapi…maaf…sangat sulit mempertanggung jawabkan ilmunya. Kalau sudah begini mulailah para pengamat pendidikan berpolemik betapa rendahnya kwalitas lulusan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA bahkan sampai ke Perguruan Tinggi.
Sungguh tepat sekali jika Bapak Doddy Susanto mendengungkan: “Sekarang perlu ditumbuh kembangkan kembali semangat untuk bekerja keras demi kelanjutan pendidikan anak di kalangan orang tua, seperti orang tua kita di masa lalu”. Bagi mereka melanjutkan sekolah sama dengan meneruskan langkah meraih ilmu sebanyak-banyaknya. Pada dasarnya sekolah itu tergantung apa yang diniatkan. Jika yang diniatkan hanya sebatas ijazah, maka itulah yang didapat. Tetapi jika ilmu menempati prioritas puncak, Insya Allah tidak hanya ilmu yang didapat, tetapi ijazahpun akan menyertai. Berproseslah…!! Sungguh kurang bijak jika kita mengharapkan hasil maksimal hanya dari sebuah ‘kemudahan’. Karena manusia akan semakin tangguh menghadapi dinamika hidup bukan karena kemudahan…tetapai karena kesulitan yang menempa dirinya.
Tetapi bukan berarti bantuan pemerintah harus dihentikan kawan. Hanya saja alangkah indahnya hasil dari kemudahan itu jika para orang tua tidak kehilangan semangat juang untuk memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Ingat…!! Memperjuangkan pendidikan anak bukan berarti memperjuangkan ijazah anak… It’s so different…!