MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

13 Desember 2012

Membaca Adalah Langkah Awal Sebuah Penelitian

Skripsi, Tesis dan Disertasi adalah tugas akhir yang harus diselesaikan seorang mahasiswa dalam proses pendidikannya di Perguruan Tinggi. Tugas ini merupakan puncak ‘uji nyali’ alias akan menunjukkan karakter kita yang sesungguhnya. Setangguh apa diri kita dalam menghadapi berbagai masalah. Karena dalam proses penyelesaian tugas akhir yang berupa penelitian ini seluruh kompetensi akan terkuras. Pisik maupun psikis. Moril maupun materil. Sehingga tidak jarang banyak pihak yang semula mengaku sebagai penakluk akhirnya bertekuk lutut karena ditaklukkan oleh keadaan (baca: memilih jalur pragmatis).
Beberapa mahasiswa yang pernah saya jumpai, baik itu mahasiswa S1, S2 atau S3, cenderung merasa kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhir mereka. Pada umumnya kendala mereka dalam dua hal, yaitu menentukan judul dan referensi. Ada yang judulnya telah disetujui tetapi bingung mencari referensi. (Problem seperti ini yang sering curhat ke saya). Keadaan ini menunjukkan betapa rendahnya perhatian mahasiswa terhadap permasalahan di sekitarnya (identifikasi masalah) dan rendahnya minat membaca mahasiswa (walaupun tidak semuanya). 
 Dua problem di atas tidak akan terjadi apabila sejak awal kuliah mahasiswa telah jeli dalam mengidentifikasi permasalahan di sekitarnya yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang digelutinya. Judul akan didapat setelah melakukan identifikasi masalah. Begitu identifikasi masalah telah ditemukan maka hunting referensi pun bisa dimulai. Jika ini telah dilakukan sejak masa-masa awal kuliah, tentu aliran ide tak dapat dibendung lagi. Selain itu kondisi ini sangat erat hubungannya dengan minat membaca mahasiswa. Membaca merupakan langkah awal menulis. Karena untuk dapat menulis bisa dimulai dari membaca. Ketertarikan menulis akan muncul ketika selesai membaca. Ingin menuangkan bagaimana apresiasi terhadap apa yang baru saja dibaca.
Ketika naluri membaca sudah merasuk di jiwa, maka membeli buku bukanlah suatu masalah. Terkadang apa pun rela dikorbankan agar dapat membeli buku yang diidam-idamkan. Jika buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang ingin kita teliti sudah di tangan, maka tidak ada lagi kendala referensi. Tidak perlu lagi stress mencari-cari referensi ketika judul disetujui. Karena sungguh konyol mengajukan judul yang referensinya tidak dimiliki satu pun. Apalagi referensinya termasuk yang sulit dicari. Sudah selayaknya seorang mahasiswa memiliki koleksi buku sendiri. Jika referensi yang tersedia belum mencukupi, paling tidak persiapan telah ada. Dengan mengacu kepada berbagai konsep yang telah dikumpulkan maka draft penelitianpun dapat segera dirancang, dan strategi riset ke lapangan pun dapat direalisasikan. 
Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi tips bagi mahasiswa-mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Memang harus disadari membangun budaya membaca setelah menjadi mahasiswa repot juga, tetapi bukan berarti terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Selengkapnya...

30 Mei 2012

Menumbuhkan Hasrat Belajar Siswa

Oleh: Iwan Pranoto ; Guru Besar Institut Teknologi Bandung 
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2012 

SUNGGUH mengejutkan pernyataan beberapa pejabat tinggi Kemendikbud yang berisi pengakuan penggunaan ujian nasional (UN) dalam memaksa siswa belajar. Yang terakhir, berita `Kemendikbud Berkukuh Lanjutkan UN', Media Indonesia, 19 Mei 2012, yang menuliskan argumen, `Tanpa ada UN mereka (siswa) akan santai saja'. Senada dengan itu, dalam sebuah berita online di sebuah portal disampaikan sebuah pernyataan, “Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar.“

Jika disampaikan orang awam, kalimat itu mungkin wajar. Namun jika keluar dari pejabat tinggi di kementerian yang bertanggung jawab dalam kebijakan pendidikan di tingkat nasional, pernyataan itu sungguh mengejutkan sekaligus menyedihkan. Secara implisit, pernyataanpernyataan tersebut membenarkan bahwa petinggi Kemendikbud mendukung upaya memaksa anak belajar dengan cara ditakuti `tak lulus'. Secara implisit pula itu mengakui bahwa dirinya gagal menumbuhkan sikap sukacita belajar pada siswa.

Hasrat Belajar 

Dari sudut teori belajar, pernyataan tersebut sangat bertentangan dengan prinsip belajar, yang mensyaratkan kondisi emosi siswa yang tak cemas sebagai prasyarat terjadinya proses belajar yang efektif. Selain itu, memaksa siswa belajar memanfaatkan ancaman kegagalan lulus UN itu juga melahirkan pertanyaan yang lebih mendasar, “Apa jaminannya siswa kita nanti 20 tahun dari sekarang tetap mau belajar pada saat sudah tidak ada kita dan tidak ada ancaman tak lulus UN?” Kalau siswa belajar hanya saat ini, tetapi tidak belajar lagi selepas sekolah, lalu apa gunanya sekolah? Pendidikan yang baik tidak hanya membuat siswa belajar sekarang saja, tetapi justru menjamin bahwa siswa tetap berhasrat belajar di kemudian hari. 

Tanda sekolah dan guru yang berhasil ialah saat siswa telah lulus dan telah tidak ada yang mengharuskan mereka belajar, tetapi mereka tetap berhasrat dan cakap belajar hal-hal baru. Si bijak akan belajar pada saat tak perlu, tetapi si pandir akan belajar saat terpaksa. Tentu pendidikan yang diangan-angankan dalam Pembukaan UUD ‘45 kita adalah yang pertama, bukan belajar karena terpaksa. 

Secara umum, tugas guru ialah membelajarkan tiga hal: pengetahuan, skill, sikap. Yang paling penting ialah sikap. Salah satu sikap utama yang ditumbuhkan pendidik ialah suka belajar. Apa gunanya menguasai pengetahuan dari ribuan buku jika tak punya gairah atau hasrat belajar? Ilmu pengetahuan di dunia industri berkembang terlalu cepat untuk dikejar institusi pendidikan. Oleh karena itu, pendidik masa sekarang justru perlu menyiapkan lulusannya untuk siap belajar hal-hal baru. Sikap suka belajar justru menjadi sangat vital dalam karakter siswa zaman sekarang. 

Pendidikan telah menyadari hal tersebut. Dalam teori belajar modern seperti teori otak yang didasari ilmu saraf, motivasi intrinsik untuk belajar menjadi syarat mutlak agar belajar efektif. Hanya dengan memiliki motivasi intrinsik atau hasrat belajar dari diri sendiri seorang siswa dapat belajar efektif. Sebaliknya, pemaksaan apalagi kecemasan tidak mampu membuat anak belajar efektif. Hasrat belajar itulah yang kami--guru--tumbuhkan di murid kami melalui kegiatan sehari-hari. 

Ancaman 

Argumen bahwa UN dapat memaksa siswa belajar itu memang betul, tak ada yang dapat membantahnya. Akan tetapi, hal tersebut sangat berbahaya bagi ka berbahaya bagi karakter siswa kita terhadap budaya belajar. Tanpa kesukaan dan hasrat belajar, anakanak kita tak mungkin akan punya inisiatif serta kemampuan belajar untuk mengembangkan dirinya di kemudian hari. Padahal, kecakapan dan hasrat belajarlah satu satunya bekal yang dapat disiapkan bagi anak cucu kita untuk berlaga di masa depan yang penuh ketakpastian. 

Pendidik yang baik tidak akan menakuti siswa menggunakan kecemasan tak lulus ujian sebagai motivasi agar siswanya belajar. Pelatih atau pengajar keterampilan-keterampilan teknis sederhana mungkin memang menggunakan ancaman untuk memaksa anak latihnya supaya berlatih. Itu efektif untuk segala bentuk keterampilan yang membutuhkan low order of thinking (LOT) semata atau berpikir tingkat rendah. Namun, pendidikan bukan pelatihan. Guru pendidik tidak berfungsi menciptakan atlet, tetapi justru menyadarkan siswanya untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat, manusia yang cakap dan suka belajar selama hidupnya. Oleh karena itu, pada masa sekarang guru bertugas mengajak anak didiknya untuk merasakan nikmatnya belajar. Kenikmatan harus dirasakan siswa saat belajar setiap saat, bukan saat kelulusan saja.

Ketakutan tak lulus UN yang menimbulkan kecemasan pada anak memang merupakan senjata pamungkas ampuh untuk memaksa siswa belajar, tetapi belajar seperti apa? Jika didasari kecemasan atau ketakutan, siswa akan learning for the test (menghafal), bukan learning for understanding (belajar untuk memahami). Akibatnya jika menggunakan kecemasan sebagai alat pemaksa siswa belajar, kita tentunya tidak dapat berharap anak-anak kita akan berpikir tingkat tinggi atau high order of thinking (HOT). 

Di samping akan mendorong LOT bukan HOT, kecemasan sebagai pemaksa siswa belajar sangat berbahaya. Pengambil kebijakan pendidikan di Republik ini dan semua pendidik perlu ingat bahwa jumlah pengidap math anxiety, atau siswa yang cemas terhadap matematika, di Indonesia adalah salah satu yang paling tinggi di dunia. 

Menurut beberapa riset tentang math anxiety, penggunaan ancaman dalam pembelajaran merupakan sebabnya. Jika itu rupakan salah satu penyebabnya. Jika itu berkelanjutan, pengidap math anxiety akan menjadi math phobia yang akan sangat sulit diobati. Malah menurut Prof Daniel Mohammad Rosyid, jika keadaan itu diteruskan akan menjadi thinking disorder, atau ketidakberesan berpikir. Hal itu sangat serius. 

Secara biologis, dalam kondisi tertekan atau cemas, bagian utama otak yang domi nan adalah batang otak. Itu merupakan bagian otak yang menangani survival, cari selamat. Otak tersebut akan berupaya total untuk menyelamatkan diri. Fokusnya satu, yakni selamat. Akibatnya fokusnya juga hanya pada berpikir tingkat sangat rendah, tak akan berpikir tingkat tinggi. Pertimbangan moral dan integritas pun akan dinomorduakan pada saat kita terancam dan pada saat menghadapi situasi hidup-mati. Memang untuk melatih binatang di sirkus digunakan ancaman pakai pecut dan sangat berhasil. 

Kuda, macan, gajah, dsb patuh mempertontonkan keterampilan yang diminta pelatih di sirkus. Inikah yang ingin kita terapkan ke anak-anak kita? Ancaman berbeda dengan tantangan. Itu harus dibedakan. Pembelajaran yang dibutuhkan sekarang ialah yang menyampaikan ilmu baru atau cara baru, memberikan tantangan yang sesuai dengan jenjang kecakapan anak, dan dukungan. 

Lalu, apakah kita tak boleh mengancam sedikit pun agar siswa belajar? Idealnya tidak. Namun jika dilakukan dalam waktu yang pendek, serta tidak melibatkan vonis ‘mati-hidup’ atau ‘lulus-tidak’, itu masih diperbolehkan. Selain sangat berbahaya bagi karakter siswa, ancaman itu melanggar kenyataan bahwa belajar merupakan kegiatan intelektual di taraf mental. 

Jika, katakanlah, kita memaksa anak belajar dan memang berhasil membuat mereka duduk membaca buku, lalu yakinkah kita bahwa mereka sungguh-sungguh belajar? Apakah semua anak sudah punya hasrat belajar sekarang? Sayangnya tidak. Jika ya, tugas guru akan sangat mudah. Namun, walau tak punya hasrat belajar secara alami, anak punya rasa keingintahuan. Itu tertanam atau built in di benaknya. Guru yang baik akan memanfaatkan keingintahuan siswa tersebut untuk memicu hasrat belajarnya. 

Idealisme Pendidik 

Tentunya tugas guru dalam menyadarkan siswa agar menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat bukan tugas mudah. Bila saat ini di masyarakat berkembang perilaku belajar karena terpaksa dan menunggu diancam, itu benar. Namun, pendidikan dan terutama Kemendikbud sepatutnya menggagas keadaan yang seharusnya terjadi, bukan menguatkan perilaku buruk yang sedang terjadi. Pendidikan yang diamanatkan melalui UUD'45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya menggagas keadaan ideal yang diimpikan seharusnya terjadi, yakni anak-anak kita berhasrat belajar. 

Sangat menyedihkan jika pendidik yang sadar akan sebuah perilaku buruk yang sedang terjadi di masyarakat justru mengalah dan membenarkan kemudian melembagakan perilaku buruk itu. Pendidik di mana pun yakin tentang harapan kehidupan yang lebih baik di hari esok. 

Pendidikan merupakan sebuah rekayasa sosial berdasarkan idealisme dan dengan kepercayaan total pada harapan. Guru secara filosofis seharusnya yakin pada harapan kebaikan. Guru itu seperti petani sinting yang tetap menanam benih walaupun sudah diberi tahu bahwa ada peluang 90% akan terjadi banjir. Kami - guru - percaya terhadap harapan keberhasilan 10%. Selengkapnya...

26 Mei 2012

'Topeng'

“Lucu kali lah Bapak itu. Waktu tampil nari disurunya buka jilbab. Eh pas tampil baca puisi disurunya pakek lagi jilbabnya. Nampak kali ‘topeng’-nya kan. Apa maksudnya tu kayak gitu”.

Kata-kata di atas meluncur dengan lancar dan dengan logat Medan yang kental. Diucapkan oleh seorang remaja putrid berjilbab yang mengenakan seragam salah satu SMP Negeri di kota Medan. Kelihatannya siswi tersebut bersama teman-temannya baru pulang dari sekolah. Mereka menumpang angkot yang sama dengan saya.

Mungkin bagi orang lain, kata-kata tersebut biasa saja. Tetapi tidak bagi saya yang cukup terperanjat dengan istilah TOPENG tersebut. Apalagi ketika ia mengucapkan itu rona kekesalan jelas terpancar di wajahnya. Mungkin yang disebutnya ‘Bapak’ itu adalah Bapak Gurunya. Karena pembicaraan mereka topiknya adalah kegiatan di sekolahnya. Apalagi kalimat itu diucapkan oleh seorang pelajar SMP yang berjilbab. Saya terpana…!


Kata topeng dapat dianalogikan sebagai sebuah kepura-puraan, tidak konsisten ataupun tidak punya komitmen. Karakter yang semestinya kita campakkan jauh-jauh bukan hanya dari diri kita, tetapi juga dari diri anak didik (anak-anak) kita. Namun apa jadinya jika justru mereka merasa kita lah yang menanamkan karakter tak terpuji itu. Bukankah kita telah ‘melukai’ sanubari mereka? 

Terkadang tanpa sengaja kita menunjukkan prilaku kepada anak-anak yang bertentangan dengan konsep-konsep yang kita ajarkan. Kita sering lupa bahwa pendidikan tidak hanya sebatas kegiatan belajar mengajar di dalam kelas pada jam-jam belajar atau di sekitar lingkungan sekolah. Namun pendidikan mencakup seluruh gerak bahkan helaan nafas kita. Semua itu akan dirangkum oleh anak didik (anak-anak) kita. Kealpaan seperti ini tidak jarang membuat anak bingung, sehingga jangan heran jika sekarang bertaburan generasi galau. 

Pertemuan tak disengaja dengan siswi-siswi berjilbab di atas angkot siang ini membuat saya introspeksi diri. Jangan-jangan saya juga pernah memberikan pola pendidikan ‘topeng’ kepada anak didik saya. Astaghfirullah. Ah, tidak ada pertemuan yang sia-sia. Begitu juga pertemuan dengan serombongan siswi SMP berjilbab siang ini. Sepanjang perjalanan bersama mereka saya asyik menyimak pembicaraan mereka tentang kegiatan sekolahnya plus dengan segala protesnya. Sungguh alam adalah sekolah yang maha luas terbentang, yang tidak akan cukup waktu untuk mempelajarinya, meskipun sepanjang hayat. Selengkapnya...

2 Mei 2012

Bangkitnya Generasi Emas (Yang Mana...?)

“Tema Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 ini adalah Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro, yang pada hari ini kita peringati hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.”
Demikian penggalan sambutan Mendikbud pada hari pendidikan nasional 2 Mei 2012 di bagian awal. Generasi Emas, sebuah istilah yang ‘menakjubkan’. Saking menakjubkannya, nalarku tak mampu mencerna maksud ungkapan Generasi Emas itu. Generasi yang manakah itu? Apalagi merelevansikannya dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri, sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia.
Kemudian dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu sistem pengajaran dan pendidikan yang harus bersinergi satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).  
Mencermati sistem pendidikan kita hingga detik ini adakah yang telah ‘bersinggungan’ dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara seperti diuraikan di atas? Gonjang-ganjing UN yang tiada akhir. Pembangkangan dan arogansi pengambil kebijakan yang tetap mempertahankan Ujian Nasional sebagai exit exam, meskipun ‘cacat’ hukum, karena telah ‘kalah telak’ di Mahkamah Agung maupun di Pengadilan Negeri Jakarta. Maka sungguh tepat jika Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia menyatakan bahwa UN adalah illegal testing. Antara kebijakan pendidikan dengan kebijakan politik. Belum lagi hadirnya kastanisasi pendidikan seperti sekolah regular, Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan sebagainya. Sebuah kebijakan yang mengantarkan tunas bangsa pada gerbang kapitalisasi pendidikan. Andaikan Ki Hajar Dewantara masih hidup, mungkin ia akan ‘mencak-mencak’ dengan semua fenomena ini. 

“Kita semua harus bersyukur bahwa pada periode tahun 2010 sampai 2035, bangsa kita dikarunai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut dapat kita kelola dan manfaatkan dengan baik, populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa tersebut insya Allah akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) yang sangat berharga". 

Di sinilah peran strategis pembangunan bidang pendidikan untuk mewujudkan hal itu menjadi sangat penting. Akan tetapi, sebaliknya, bukan mustahil kesempatan emas tersebut menjadi bencana demografi (demographic disaster) bila kita tidak dapat mengelolanya dengan baik. Sudah tentu hal ini tidak kita inginkan.” 

Begitulah isi pidato Mendikbud pada bagian inti. Demographic dividen, aha…sungguh menarik istilah ini. Bonus demografi ini jugakah yang telah melatarbelakangi munculnya angka-angka 600 milyar untuk gawean UN tahun 2012 ini? Atau juga melatarbelakangi kebijakan melegalkan menyedot uang rakyat untuk promo RSBI atau SBI yang hanya bisa dinikmati segelintir anak bangsa Indonesia? Ah, entahlah. 

Lalu demographic disaster yang tidak diinginkan itu, namun mengapa telah ‘dirintis’ dari sekarang? Berapa banyak tunas bangsa yang memiliki talenta unik telah menjadi ‘korban’ UN? Berapa banyak tunas bangsa tidak bisa menikmati ‘indahnya’ fasilitas RSBI hanya karena orang tuanya terpuruk dalam kemiskinan, sementara jatah mereka hanya 20%. Pendidikan masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar anak bangsa. Baik pendidikan dasar, menengah apalagi pendidikan tinggi. 

Duh, bukan maksud hati mencari-cari sisi negatif dan menafikan yang positif. Tetapi berawal dari pernyataan “…Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro”, telah membuat diriku membongkar ‘harta karun’ berupa wejangan dari Ki Hajar Dewantara dan berusaha menemukan relevansinya dengan fenomena yang ada saat ini. Hasilnya…mentok! Lalu kebangkitan generasi emas itu? Generasi emas manakah yang dituju? Apakah generasi yang lulus UN dengan nilai abrakadabra dan kompetensi olalaaaaa? 

Ah, sudahlah. Aku tak perduli dengan UN. Aku hanya perduli menemukan solusi bagaimana cara agar siswa betah di sekolah dan menjalani aktifitas dengan rasa ingin tahu dan menemukan kegembiraan dalam belajar. Menanamkan rasa betapa asyiknya belajar. Belajar untuk menyalurkan aspirasi dan memanusiakan diri, bukan semata-mata demi UN. Memang gampang menemukan cara ini? Hmmm…hidup seribu tahun lagi belum tentu ku temukan cara yang pasti. Hi hi hi…

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita dapat menempatkan diri sebagai solusi bukan sebagai sumber masalah. Semoga juga yang Maha Kuasa menjaga hati kita untuk tetap istiqomah mencerdaskan anak bangsa demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat, bukan demi lulus UN…!
Selengkapnya...

2 April 2012

"Buk, Tolong Dirajia HP Anak Saya"

“Buk, Saya minta tolong dirajia HP anak saya. Di sekolah tidak boleh membawa HP. Tolong ya Buk”. 

Pesan ini saya terima via SMS dari seorang wali murid. Ya, lagi-lagi saya menerima request seperti ini dari wali murid. Ada yang melalui SMS, ada juga yang langsung disampaikan kepada saya. Ada juga wali murid yang curhat betapa sulitnya minta tolong pada anaknya untuk membantu pekerjaan rumah jika mereka sudah memegang HP. Bahkan ada yang mengeluh, ke WC pun membawa HP. Oh My God…!!  

Khusus pesan di atas, terkadang rada kesal juga membacanya karena seolah-olah sekolah ‘meridhoi’ siswanya membawa HP. Lagian kenapa tidak dirajia sendiri anaknya sebelum berangkat ke sekolah ya? Terus yang membelikan HP untuk anaknya siapa? Memangnya guru? Aiiihh...! 

Kondisi ini menunjukkan betapa orang tua sudah tidak mampu menghadapi masalah kesenjangan teknologi, khususnya Handphone. 

HP atau handphone memang fenomena yang unik. Di satu sisi ia adalah bahagian dari teknologi informasi yang harus kita perkenalkan kepada anak, tetapi di sisi lain jika kita tidak mampu mengenalkannya dengan bijak justru dapat berbalik menjadi bumerang yang akan mencelakakan anak. Begitulah teknologi, bagaikan belati bermata ganda. 

Jika kita mau merenungkan, ada pembelajaran dari kasus ini. Pada dasarnya anak selalu meniru tingkah orang dewasa. Jadi ketika kita merasa ada yang salah pada prilaku anak kita dalam menggunakan handphone, bisa jadi itu karena dia meniru prilaku kita. Misalnya kita menggunakan handphone untuk hal-hal yang tidak penting, maka anak pun akan menganggap seperti itulah penggunaannya. Apalagi saat ini banyak juga orang tua yang waktunya habis hanya karena ber-BB-ria hanya untuk just say hello pada teman lama dan posting foto-foto bernuansa narsis plus up date status yang…ups..kadang nyaris tidak berbeda dengan status ABG. Galau mode on. He he he. 

Melarang anak menggunakan HP tanpa alasan yang jelas juga bukanlah solusi. Semakin dilarang tentu semakin meradang. Kita juga tidak mungkin menjauhkan mereka dari perkembangan IT. Jadi salah satu kewajiban kita adalah mengajarkan kepada anak bagaimana semestinya menggunakan HP yang sehat. Bukan hanya HP barangkali, tetapi juga perangkat IT lainnya beserta segala fasilitasnya. Kemudian jangan mau kalah up date informasi sehat dengan mereka tentunya. Akan tetapi yang paling penting sebelum membelikan HP untuk anak, perlu adanya komitmen. Ini penting, paling tidak untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada mereka. Jika HP diberikan tanpa komitmen, siap-siaplah mengalami berbagai kekesalan karena prilaku mereka yang sudah tidak terkendali lagi dalam ber-HP-ria. Maka jika dikaji-kaji, sumber masalah dan sumber solusi ada di kita juga kan? Selengkapnya...

9 Februari 2012

For the Love of Reading and Writing by Satria Darma

For the Love of Reading and Writing. Demikian judul buku yang ditulis oleh Bapak Satria Darma. Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia. Sebuah judul yang menyanjung pembacanya. Lebih tersanjung lagi karena buku ini khusus dicetak Pak Satria pada peringatan Hari Ulang Tahunnya yang ke-52. Tidak diperjual belikan. Jika lazimnya seseorang yang berulang tahun menerima kado, maka hal ini justru tidak berlaku pada Pak Satria. Ia yang berulang tahun, dirinya juga yang membagi-bagi kado kepada beberapa kerabat dan sahabat yang dikenalnya. Salah satunya adalah saya. Aih sungguh saya merasa seperti mendapat durian runtuh.  
Memiliki catatan kehidupan adalah sesuatu yang menakjubkan dalam hidup. Tidak semua orang mampu menulis momen-momen kehidupannya seunik yang dilakukan Pak Satria. Buku ini telah menunjukkan betapa beliau seorang penulis yang begitu cermat menangkap jejak pembelajaran dalam kehidupannya. Mulai dari kenangannya akan pola pendidikan orang tuanya hingga special moment with his children. Misalnya saja ketika anaknya sunat, perdebatan dengan putranya dan peristiwa-peristiwa manis dalam keluarga. Pak Satria telah merangkai event-event tersebut menjadi jalinan yang manis dan sarat pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa Pak Satria adalah pembelajar kehidupan sejati. 

Membaca buku ini, membuat saya lebih mengenal Bapak Satria Darma. Setidaknya mengenal pemikiran dan gagasannya. Terutama gagasan yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Jika dewasa ini banyak orang terobsesi untuk menjadi PNS, beliau justru meninggalkan status ini hanya demi memerdekakan hatinya. Tidak jadi PNS, saya tetap bisa menjadi guru yang baik. Begitu katanya (halaman 41). Mental yang sangat langka di era hedonisme saat ini. I love it…! 

Sebagai seorang pendidik sejati yang menentang diskriminatif, kritik tajamnya tentang RSBI sering membuat saya tercengang. Membuka cakrawala berpikir saya. Begitu juga respon beliau terhadap pelaksanaan kebijakan UN. Masih banyak lagi pemikiran beliau tentang pendidikan tertuang di buku ini. Dengan jumlah halaman yang cukup fantastis, nyaris 500 halaman (481 halaman), buku ini mampu menghipnotis saya untuk terus menelusuri halaman demi halaman. 

Pemikiran beliau tentang fenomena dinamika beragama juga menunjukkan bahwa beliau adalah seorang religious modern. Buku ini telah mengisaratkan bahwa Pak Satria merupakan seorang muslim yang mampu mengaplikasikan makna Iqra’ yang termaktub dalam surat al-Alaq. Namun pemikirannya yang begitu ‘merdeka’, terkadang bisa membuat orang menafsirkan bahwa beliau seorang liberal. Tapi bukan Pak Satria namanya jika dia tidak mampu mengajukan argument kritis terhadap sesuatu yang dikomentarinya. Beliau memang seorang pendebat ulung yang pernah saya kenal melalui tulisan-tulisannya. Baik di media cetak, media elektronik maupun milist. 

Semua tulisan yang terangkum dalam buku ini adalah dari tulisan-tulisan Pak Satria di beberapa blog-nya. Intinya beliau ingin memotivasi semua orang (terutama para pendidik/guru) bahwa menulis itu mudah. Bisa dimulai dari catatan-catatan pribadi atau pemikiran-pemikiran pribadi akan kejadian di sekitar kita. Apa yang dilakukan Pak Satria salah satu bentuk self education sebagaimana yang selalu dilakukan Rasulullah Muhammad SAW. Pak Satria sebelum memotivasi guru-guru untuk menulis, ia telah memberi contoh terlebih dahulu. Masih saya ingat ketika saya mengirimkan email sebagai ucapan terimakasih atas kado di hari ulang tahunnya, beliau membalas email saya seperti ini:  

“Saya berharap Bu Ayuk bisa menulis bukunya juga suatu saat dan saya dikirimi juga sebagai balasnya. Amin!” 

Amin Ya Robb 

Duh, Pak Satria tahu saja obsesi saya. Insya Allah Pak, suatu hari nanti jika mimpi ini terwujud maka Bapak adalah salah satu target yang dikirimkan buku tersebut. Hmmm…kira-kira terwujud ketika ulang tahun ke berapa ya..? ha ha ha… Semoga..one day…I hope my dream come true…! 

Terimakasih Pak Satria untuk perhatian dan support selama ini. Semoga Bapak dikaruniakan Allah usia yang barokah dan semakin bermanfaat bagi umat. Khususnya bagi dunia pendidikan negeri tercinta, Indonesia.
Selengkapnya...