MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

26 Juli 2011

Konsep Pendidikan Ala James Marcus Bach



James Marcus Bach adalah seorang manajer di Apple Computer, pembicara dan pengajar di bidang pengujian perangkat lunak di sejumlah laboratorium dan universitas top di berbagai Negara. Sebagai seseorang yang pernah mengambil keputusan ‘bijak’ drop out dari SMA, reputasinya itu tentu mencengangkan, setidaknya bagi orang-orang yang begitu mengagungkan selembar kertas yang disebut ijazah. Dalam bukunya yang diberi judul cukup ‘nakal’ yaitu Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat; Belajar Cerdas Mandiri dan Meraih Sukses dengan Metode Bajak Laut, James Marcus Bach mengungkapkan banyak hal yang berhubungan dengan pendidikan, walaupun menurut beliau ‘Buku Ini Bukan Tentang Sekolah’. Salah satu yang diungkapkannya adalah konsep tentang pendidikan.

Pendidikan bukanlah setumpuk fakta. Bukan pula jam-jam yang kita habiskan di ruang-ruang kelas, atau bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian. Pendidikan bukan indoktrinasi, atau memuja para leluhur, atau patuh pada wewenang, bukan juga mempercayai begitu saja kata-kata siapa pun tentang apa yang benar, yang salah, yang penting, dan yang lazim.
“Pendidikan adalah “Anda” yang muncul melalui pembelajaran yang Anda lakukan.” (hal. 19)

Kata-kata di atas sungguh ‘berenergi’. Menunjukkan betapa pendidikan itu tidak dapat dikotak-kotakkan. Mengisaratkan juga betapa pendidikan itu universal. Pendidikan sejatinya tidak mengenal istilah formal, non formal dan informal. Pengkotak-kotakan ini hanya member kesan betapa ketiga unsur tersebut tidak terintegrasi.

Selanjutnya James menguraikan bahwa semua orang di dunia ini, karenanya, sudah dididik dengan cara tertentu. Kita, umat manusia, membangun pikiran-pikiran kita sendiri, menganalisis, dan kemudian merekonstruksi pikiran-pikiran itu sepanjang hidup kita. Anda sedang melakukannya saat ini, ketika Anda membaca. Anda sedang bertanya-tanya, “Apa maksudnya mengatakan itu?”; dan barangkali ketika Anda membaca kata “membangun” dan “menganalisis”, Anda membayangkan potongan-potongan kayu, palang-palang baja, mesin, dan kekacauan. Gambar-gambar itu adalah bagian dari pemecahan puzzle, proses membuat model yang terbentuk sendiri. Ketika gambar-gambar dan gagasan-gagasan itu secara tiba-tiba Anda pahami dan membuat anda berfikir “oh, jadi begitu cara kerjanya,” Anda menambahkan sesuatu yang baru terhadap diri Anda. (hal. 20)

Kalimat-kalimat di atas menunjukkan betapa radikal dan merdekanya jalan pemikiran James. Pemikiran-pemikiran yang tidak mungkin bisa ‘dikurung’ di dalam sebuah kelas. He he he. Ya, seorang guru bisa saja menjaga 40 siswa untuk tetap duduk di dalam kelas, tetapi ia tidak dapat menjaga pikiran seorang anak pun untuk tetap di dalam kelas.

Dalam hal pengetahuan, James memiliki persepsi sendiri. Pengetahuan adalah bagian dari pendidikan saya, hanya jika dia mengubah saya. Pengetahuan tidak meningkatkan pendidikan saya, kecuali dia mengubah saya menjadi lebih baik. Pendidikan mungkin membuat saya lebih berkuasa, lebih berwawasan, lebih terlibat dengan kehidupan. Namun, saya harus menjadi lebih tertarik atau berguna bagi diri saya sendiri dengan cara tertentu, jika tidak maka peningkatan tidak terjadi. (hal. 21)

Rasulullah SAW pernah berpesan bahwa ilmu yang baik adalah ilmu yang memperbaiki akhlak kita. Pernyataan ini relevan dengan ungkapan James di atas. James juga menitik beratkan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat memperbaiki keadaan di sekelilingnya, minimal memperbaiki diri sendiri. Oleh karena itu, banyak orang-orang di sekitar kita, terkenal atau tidak terkenal telah mengukir ‘kisah’ yang membuat Negara ini semakin terpuruk. Namun di depan dan di belakang namanya tertera embel-embel atau gelar yang fantastis. Konon gelar-gelar tersebut didapat setelah melewati berbagai jenjang pendidikan. Apakah yang seperti ini layak disebut orang yang berpendidikan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, James menjawab dengan bahasa yang rada berfilsafat: “Tidak seorangpun di dunia ini yang bisa memilih apakah dia perlu dididik atau tidak. Akan tetapi, kita bisa memilih bentuk pendidikan kita. Itu adalah tugas kehidupan.

Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran menarik yang ditulisa James Marcus Bach dalam bukunya ini. Pemikiran-pemikiran yang dapat kita jadikan refleksi untuk memperbaiki diri. Salah satu pemikirannya yang menarik adalah tentang belajar mandiri atau belajar secara otodidak dengan metode Bajak Laut. Bagaimanakah metode bajak laut ala James Marcua Bach? Insya Allah akan menyusul pada postingan berikutnya.

Selengkapnya...

19 Juli 2011

Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum (Kedudukan, Problem dan Prospeknya)

M A K A L A H

Oleh: Sri Rahayu

A. PENDAHULUAN

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, fleksibel dan nilai-nilai ajarannya selalu dapat diterima seperti apa pun dinamika perkembangan zaman. Tidak ada ajaran agama yang setolerir ajaran Islam. Sehingga sungguh bijak jika pemerintah menjadikan pendidikan agama Islam menjadi salah satu komponen yang dipelajari secara kontinyu dalam dunia pendidikan formal kita. Bahkan menjadi mata pelajaran wajib di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan mata kuliah wajib pada perguruan tinggi. Sekalipun pada perguruan tinggi umum.

Pada dasarnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan agama yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan sebelumnya. Yaitu mulai dari jenjang TK dilanjutkan ke SD, lalu ke SMP kemudian ke SMA. Dari SMA dilanjutkan ke perguruan tinggi.
Dinamika Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum telah terukir dalam sejarah pendidikan di tanah air sejak awal hadirnya perguruan tinggi di negri ini. Bermula dari sebagai mata kuliah yang dianggap kehadirannya tidak diperlukan hingga eksistensinya ‘dihadirkan’ sebagai mata kuliah wajib.
Makalah ini akan membahas tentang Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Bagaimana kedudukan, problem dan prospek Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, itu lah yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.

B. PEMBAHASAN

1. Kedudukan Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.

Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia telah mencatat bahwa pada tahun 1910 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia belum matang untuk suatu perguruan tinggi, karena belum mempunyai sekolah menengah sebagai sumber murid yang potensial dapat menjadi calon mahasiswa dan lebih penting lagi Indonesia belum mempunyai suasana intelektual tempat ilmu dapat bersemi. Namun ada suara-suara yang menyatakan bahwa pada suatu saat Indonesia tak dapat tidak harus mempunyai perguruan tinggi untuk melatih para ahli dan pekerja untuk kedudukan tinggi. Sebaliknya ada pula pendapat bahwa pendidikan tinggi bagi orang Indonesia akan merusak pribadinya karena ia akan tidak sesuai lagi dengan lingkungannya dan akan mengalami konflik untuk mengasimilasikan dirinya dengan masyarakat Belanda. Ada pula keragu-raguan apakah orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat, sekalipun orang Indonesia telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai gelar akademik.
Secara historis sosial politik, pada saat itu Indonesia adalah Negara jajahan Belanda. Salah satu ciri Belanda dalam menjajah ialah melakukan pembodohan terhadap Negara jajahannya. Jadi tidaklah mengherankan jika situasi seperti ini yang muncul pada saat itu. Cara Belanda menjajah sangat berbeda dengan cara Inggris. Kalau Inggris justru mencerdaskan Negara jajahannya. Apabila Negara jajahannya mulai ‘cerdas’ mereka memberi kemerdekaan.
Waktu terus berjalan dan dukungan terhadap perguruan tinggi di Indonesia bertambah kuat. Perang Dunia I yang menghalangi banyak lulusan HBS melanjutkan pelajarannya di negeri Belanda membuat perguruan tinggi di Indonesia sangat urgen. Sebagai tindakan darurat suatu lembaga untuk Pendidikan Tinggi mengumpulkan dana di Nederland untuk membuka kursus persiapan dua tahun. Pada tahun 1919 dimulai pembangunan gedung perguruan tinggi teknik di Bandung yang secara resmi dibuka pada tahun 1920. Dengan ini lengkaplah sistem pendidikan di Indonesia yang memungkinkan seorang anak menempuh pendidikan dari sekolah rendah sampai pendidikan tertinggi melalui suatu rangkaian sekolah yang saling bertalian. Bagi anak Indonesia jalan ini masih sempit, akan tetapi jalan itu telah ada.
Dalam tahun akademis 1920-1921 Technische Hogeschool atau Sekolah Teknik Tinggi (yang kemudian menjelma menjadi ITB) mempunyai 28 mahasiswa di antara 22 orang Belanda, 4 Cina dan 2 orang Indonesia. Sekolah ini menghasilkan lulusannya pertama pada tahun 1923-1924 yakni 9 Belanda 3 Cina dan tak seorang pun orang Indonesia. Orang Indonesia pertama lulus pada tahun akademis 1925-1926, yakni sekaligus 4 orang di antaranya Ir.Soekarno yang kemudian menjadi Presiden pertama Republik Indonesia.
Pembelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa ini adalah jangan pernah menyerah sebelum mencoba. Karena Allah sendiri telah mengingatkan kita bahwa Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali oleh kaum itu sendiri (Q.S;13;11). Keep spirit and never give up.
Kemudian dalam perjalan sejarah pendidikan di Indonesia, pada tanggal 2 April 1950 tepatnya di Yogyakarta muncullah UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia. Jika kita tinjau dari segi politik pada saat itu bentuk Negara Indonesia adalah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan ibukota Negara berada di Yogyakarta (RIS berdiri 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950). Undang-Undang ini seluruhnya terdiri dari 17 bab dan 30 pasal. Uniknya Undang-Undang ini tidak begitu dikenal, sehingga sulit menemukannya dalam referensi Undang-Undang pendidikan.
Kedudukan pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dalam UU No. 4 tahun 1950 belum dibicarakan secara spesifik. Baik itu dalam tujuan umum pendidikan maupun dalam tujuan pendidikan tinggi. Berikut kutipan bunyi pasal 3, pasal 7 ayat 4 dan pasal 20 yang menunjukkan hal tersebut:
Pasal 3.
Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Pasal 7
4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk menjadi orang yang dapat memberi pimpinan di dalam masyarakat dan yang dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.
Pasal 20.
1. Dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah Negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Dari rumusan pasal-pasal di atas, dapat dinyatakan bahwa tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara terus menerus melalui proses pendidikan. Dengan kata lain kedudukan pendidikan agama Islam dalam Undang-Undang ini masih sangat lemah. Kondisi ini bisa dipahami jika kita meninjau perjalanan hadirnya Undang-Undang ini, bahwa Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tidak lahir dengan begitu saja, tapi melalui proses panjang seperti halnya pembentukan UU Sisdiknas tahun 2003 yang sulit untuk disahkan karena banyak kepentingan, baik secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment) keagamaan turut ikut serta di dalamnya (terutama jika mengingat tahun 1950-an Partai Komunis Indonesia masih ‘berkuku’ di parlemen).
Selanjutnya Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi baru dimulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 yang berarti pendidikan agama sebelum itu secara formalnya baru diberikan di Sekolah Rakyat sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat atas saja. Adapun dasar operasionalnya, pelaksanaan pendidikan Agama di Perguruan Tinggi tersebut ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Dalam BAB III Pasal 9 ayat 2 sub b, terdapat ketentuan sebagai berikut: ”Pada Perguruan Tinggi Negeri diberikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatan”.
Jika merujuk pada sejarah, dapat dipahami bahwa sebelum tahun 1965 salah satu organisasi politik yang berpengaruh di parlemen adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka tidak heran jika dalam mengambil kebijakan tentang pendidikan di parlemen, mereka tentu berusaha memasukkan missi-nya. Agar segala sesuatunya tetap terlihat ‘bijak’, unsur pendidikan agama tetap dimasukkan dalam mata kuliah, namun diberi kebebasan jika tidak berkenan untuk mengikutinya.
Kemudian setelah meletusnya G.30.S.PKI pada tahun 1965, diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adanya ketetapan MPRS XXVII/ MPRS/1966 Bab I pasal 1 berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan Universitas-Universitas Negeri.”
Peristiwa G.30.S.PKI memang rajutan sejarah yang telah memberikan luka mendalam serta pelajaran mahal bagi bangsa Indonesia. Terlepas dari beberapa fakta yang memunculkan ada skenario apa sebenarnya di balik peristiwa G.30.S.PKI, yang jelas peristiwa tersebut telah membuka mata bangsa Indonesia untuk lebih waspada akan menyelusupnya paham-paham yang menjauhkan bangsa ini dari kehidupan beragama.
Berikutnya pada tanggal 27 Maret 1989 hadirlah UU No. 2 tahun 1989. Kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi dalam Undang-Undang ini secara umum tertuang dalam tujuan Pendidikan Nasional tercantum dalam Bab II pasal 4 yang berbunyi:
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
Kemudian dari segi kurikulum, telah dinyatakan dalam pasal 39 ayat 2, yaitu:
Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikah wajib memuat:
a. pendidikan Pancasila;
b. pendidikan agama; dan
c. pendidikan kewarganegaraan.
Kemudian diperjelas dalam PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi tanggal 10 Juli 1990. Dalam PP ini tepatnya pada Bab II pasal 2 tentang Tujuan Pendidikan Tinggi dinyatakan:
(1) Tujuan pendidikan tinggi adalah:
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
(2) Penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada:
1. tujuan pendidikan nasional;
2. kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan;
(3) Kepentingan masyarakat; serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi.
Dari kutipan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa walaupun tujuan Pendidikan Tinggi menekankan pada nilai-nilai akademik dan professional namun tetap berpedoman pada tujuan pendidikan nasional. Maka dapat dinyatakan ada ‘benang merah’ antara UU No. 2 tahun 1989 dengan PP No. 30 tahun 1990, yang semuanya menunjukkan kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi umum semakin diperhitungkan.
Begitu juga dalam UU No. 20 tahun 2003, dalam Bab II pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kemudian dalam pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum dinyatakan:
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
Mengacu pada kutipan di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dalam UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 20 tahun 2003 menempati posisi yang diperhitungkan, yaitu sebagai mata kuliah wajib. Ataupun dengan kata lain pendidikan agama islam telah menjadi bagian dalam sistem pendidikan nasional. Namun sayangnya masih ada Perguruan Tinggi Umum yang belum melaksanakannya, terutama Perguruan Tinggi Umum swasta yang tidak memiliki political will yang jelas.
Mata kuliah Pendidikan Agama pada perguruan tinggi dalam proses belajarnya menggunakan sistem kredit semester yang masing-masing perguruan tinggi menggunakan jumlah dan besar SKS yang bervariasi. Rata-rata pendidikan agama Islam di perguruan tinggi hanya mendapat 2 SKS dalam satu semester awal yang dimasukkan dalam komponen mata kulian MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum).
Kemudian muncul SK Mendiknas No.232/U/2000 pada tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, pada Bab I; Ketentuan Umum, yaitu pada pasal 1 ayat 7 dinyatakan bahwa Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Selanjutnya PAI di perguruan tinggi umum, menurut Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi menjelaskan Visi dan Misi Mata kuliah Pengembangan Kepribadian serta Kompetensi MPK sebagai berikut:
Pasal 1
Visi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
Visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
Pasal 2
Misi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
Misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudyaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab.
Pasal 3
Kompetensi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
(1) Standar kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasai mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis; bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban.
(2) Kompetensi dasar untuk masing-masing mata kuliah dirumuskan sebagai berikut :
a. Pendidikan Agama
Menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.
Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa kedudukan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum secara yuridis telah mengalami restrukturisasi yang cukup signifikan. Eksistensinya semakin diakui dan dibutuhkan dalam mengembangkan potensi sumber daya generasi muda (mahasiswa) di masa depan. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari para pengambil kebijakan di parlemen yang pasca reformasi makin kelihatan upaya ‘cerdas’-nya, walaupun masih ada kebijakan dalam segmen lain yang mengecewakan.
Sementara itu Aminuddin dalam Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum memaparkan bahwa untuk mewujudkan visi dan misi PAI di perguruan tinggi seperti yang diuraikan di atas maka diberikan pokok-pokok ajaran Islam dengan materi-materi ajar antara lain sebagai berikut:
1. Konsep Ketuhanan, alam, dan manusia.
2. Sumber-sumber kebenaran.
3. Sumber-sumber ajaran Islam.
4. Akidah.
5. Syariah.
6. Khilafah.
7. Akhlak.
8. Akhlak dalam bidang ekonomi.
9. Islam, Pengetahuan, dan teknologi.
10. Keadilan, kepemimpinan, dan kerukunan.
Kesepuluh poin tersebut pada umumnya direalisasikan dengan alokasi waktu 2 SKS. Maka dapat dinyatakan betapa perguruan tinggi umum membutuhkan tenaga pendidik (dosen) yang memiliki skill yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Bayangkan hanya dengan 2 SKS tujuan tersebut harus tercapai. Hanya tenaga pendidik (dosen) yang memiliki ketrampilan mumpuni yang mampu menjalani tugas ini dengan baik.

3. Problem Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.

Berdasarkan uraian kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum di atas, maka ditemukan beberapa problem yang masih menjadi batu sandungan. Bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan tersebut seefektif mungkin.
Beberapa problem tersebut antara lain:

a. Beban SKS yang Minimalis (hanya 2 SKS)
Frekuensi perkuliahan agama yang hanya 2 (dua) SKS dirasa kurang memadai mengingat harapan yang demikian besar kepada pendidikan agama. Oleh karena itu bobotnya dipandang perlu untuk ditingkatkan menjadi 4 (empat) SKS. Kecuali tenaga pendidik (dosen) di perguruan tinggi umum mampu mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam mata kuliah lain. Begitu juga dosen untuk mata kuliah pendidikan agama Islam. Namun skill ini masih sulit didapat.

b. Pola Pembelajaran Yang Berkelanjutan
Perlunya menjabarkan pendidikan agama di perguruan tinggi, sebagai kelanjutan dari materi pendidikan agama dari TK sampai dengan SLTA. Apabila pada tingkat TK materi pendidikan agama tekanannya kepada akhlak, tingkat SD kepada ibadah, tingkat SLTP kepada muamalat, tingkat SLTA kepada munakahat, maka pada perguruan tinggi materi pendidikan agama diarahkan kepada pengenalan terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam. Penyusunan program seperti ini secara berkelanjutan dapat pula disusun pada mata kuliah agama lain.
Namun pola ini lah yang belum muncul, bahkan terkadang kita jumpai ada tenaga pendidik yang menganggap pembelajaran pendidikan agama islam itu ya itu-itu saja dari SD sampai perguruan tinggi. Paradigma tenaga pendidik yang seperti ini menunjukkan betapa PAI cenderung dinilai dari segi simbolis-kuantitatif, dan bukan substansial-kualitatif. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidiknya pun belum mampu menumbuhkan kesinambungan pendidikan itu.

c. Pola Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah atau Perguruan Tinggi Umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal lateral (independent), yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan dan berinteraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non agama) dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertical linier, mendudukkan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi dari berbagai bidang studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki komitmen, kemampuan, atau political will dalam mewujudkan relasi/hubungan lateral-sekuensial dan vertical linier.
Dari kutipan di atas dapat dinyatakan bahwa masih banyak perguruan tinggi umum yang menjadikan PAI sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Tidak terintegrasi dengan mata kuliah yang lain. Ibarat syair lagu “Kau di sana, dan aku di sini”.

d. Tenaga Pendidik/dosen Agama Islam.
Faktor inilah yang memegang central core (intinya) pelaksanaan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi. Bagaimanapun dosen yang mengajar di Perguruan Tinggi harus sarjana dari suatu Perguruan Tinggi. Hal ini menyangkut gezaag di mata mahasiswa. Akan ada persoalan : apakah dosen tersebut harus sarjana agama Islam ataukah sarjana umum yang beragama Islam? Bilamana kedua-duanya dapat dipandang qualified sudah tentu harus mendapat upgrading dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan : sarjana agama di-upgrade dalam pengetahuan umum menurut corak dasar fakultas dimana ia mengajar, sedangkan sarjana umum yang beragama Islam juga harus di-upgrade dalam pengetahuan agama Islam yang secara luas. Kedua-duanya mungkin dapat dipakai dengan persyaratan-persyaratan antara lain punya kepribadian yang dapat jadi suri tauladan mahasiswa serta masyarakat sekitarnya, memahami metode-metode penyajian yang menarik minat mahasiswa, punya sikap sosio-kultural yang baik, dan sebagainya.
Selain dari itu, kesediaan dari para pengasuh pendidik agama di perguruan tinggi untuk mengembangkan kemampuan penalaran akademisnya. Misalnya, untuk mengikuti program S-2 dan S-3 merupakan hal yang sangat dianjurkan. Karena dengan demikianlah diharapkan munculnya kemampuan untuk mengembangkan memahami ajaran-ajaran agama secara komprehensif, dan atas dasar itu tumbuhlah rasa kebanggaan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Karena mengikuti kuliah agama diharapkan tidak hanya bagi mahasiswa sekedar mengejar target 2 (dua) SKS, tetapi yang lebih penting lagi semakin meyakini akan kebenaran ajaran agama yang dianutnya.
Namun kebijakan ini terkadang ditanggapi sebagai suatu pemaksaan. Sehingga tidak jarang, banyak dosen yang melanjutkan jenjang pendidikannya, tetapi tidak mengikuti proses pembelajaran yang semestinya. Dosen-dosen seperti ini cenderung beranggapan ijazah lebih penting daripada proses tersebut. Inilah yang menyebabkan banyak sarjana-sarjana ‘mandul’ di Indonesia. Sarjana-sarjana yang motivasi belajarnya telah mati, namun masih tergiur dengan iming-iming tahta. Mereka tak ubahnya sebagai penyembah berhala di era digital ini. Maka jika kita sekarang meributkan tentang pendidikan karakter, muncullah suatu pertanyaan; dari manakah pendidikan karakter itu harus dimulai? Fenomena ini tak ubahnya bagaikan lingkaran setan.
Kemudian seiring perkembangan Teknologi Informasi saat ini, maka tenaga pendidik untuk Pendidikan Agama di perguruan tinggi umum juga harus berperan aktif. Karena dunia IT telah merambah ke berbagai disiplin ilmu. Salah satu cara untuk mengantisipasi dampak negatif IT adalah dengan memperkenalkan IT dari segi positif-nya. Tenaga pendidik PAI adalah salah satu personil yang tepat untuk memperkenalkan ini kepada peserta didik (mahasiswa).

e. Perilaku mahasiswa yang menyimpang dari nilai-nilai akademik.
Melalui media cetak atau pun media elektronik kita selalu mendapati berita yang menunjukkan berbagai perilaku mahasiswa yang jauh dari nilai-nilai akademik. Misalnya saja banyak mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa amoral, seperti kasus VCD porno, aksi tawuran, perkelahian, tindak kriminalitas yang tinggi (seperti pembunuhan yang dilakukan mahasiswa terhadap pacarnya yang sedang hamil), dan lain-lain.
Fenomena di atas menunjukkan betapa pendidikan agama di perguruan tinggi nyaris ‘tidak tepat sasaran’. Problem pendidikan agama ini tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah mensyaratkan pendidikan agama sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum. Guru agama/dosen merasa puas sudah mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum. Peserta didik merasa sudah beragama dengan menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor atau nilai mata kuliah, namun jauh dari implementasinya.
Perlu juga kita cermati, semata-mata menyalahkan (menganggap gagal) pendidikan agama untuk kasus seperti ini adalah tidak bijak. Tetapi itulah image yang terkadang hadir di masyarakat.

f. Lingkungan Kampus.
Lingkungan perguruan tinggi berada harus juga dijadikan perhatian pendidik yang bersangkutan dalam arti lingkungan sosio-kulturilnya; yang menjadi persoalan dalam hubungan ini ialah : apakah dosen dan mahasiswa harus menyesuaikan diri secara alloplastis atau secara autoplastis ?
Juga masih dalam masalah lingkungan yaitu yang langsung berpengaruh pada mahasiswa dalam kampus, atau bahkan dalam kelas perlu diciptakan religious environment seperti adanya musholla dalam kampus, peringatan-peringatan hari besar Islam, tatasusila dalam pergaulan, berpakaian, bertingkah laku sopan, dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal ini Azyumardi Azra juga mengemukakan bahwa pendidikan memberikan kepada anak didik dorongan dan rasa berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan sebaik-baiknya. Prestasi akademis yang mereka capai, pada gilirannya, juga mendorong munculnya rasa elitisme, yang kemudian memunculkan sikap dan gaya hidup tersendiri, termasuk dalam kehidupan politik. Semakin terpisah lingkungan sekolah dari lingkungan masyarakat pada umumnya, maka semakin tinggi pula sikap elitisme tersebut. Elitisme yang bersumber dari sekolah ini kemudian memunculkan elitisme “terpisah” dari masyarakat; tetapi pada saat yang bersamaan, mereka memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan priveleges yang mereka miliki, mereka mempunyai “hak” alamiah untuk memerintah masyarakat.
Mengacu pada beberapa kutipan di atas, lingkungan kampus juga mendukung keberhasilan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum. Lingkunga yang dimaksud bukan hanya dari segi hardware, tetapi juga software.
Beberapa problem yang dipaparkan di atas hanyalah segelintir dari berbagai problem kompleks yang hadir di sekitar kita. H.M. Ridwan Lubis mengemukakan kekhawatirannya akan fenomena problem tersebut yang nantinya berujung pada kegagalan pendidikan agama di perguruan tinggi. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan problem yang serius bagi jalannya pembangunan di masa depan karena dikhawatirkan munculnya ilmuan yang disatu sisi memiliki tingkat keahlian yang tinggi dalam disiplin ilmu yang ditekuninya tetapi mengalami kekosongan batin yaitu landasan etik, moral dan dari ketinggian profesionalisme itu membawa dampak negatif yaitu tidak diimbanginya penemuan itu dengan kokohnya prinsip-prinsip moral. Padahal tujuan pendidikan itu sesungguhnya adalah memanusiakan manusia.
Kemudian jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, sebagaimana yang dinyatakan Alhaji A.D. Ajijola dalam Restructure of Islamic Education, yaitu “Islamic education is an education which trains the sensibility of pupils in such a manner that in their attitude to life, their actions, decisions and approach to all kinds of knowledge, they are governed by the spiritual and deeply felt ethical values of Islam. They are trained, and mentally disciplined, so that they want to acquire knowledge not merely to satisfy an intellectual curiosity or just for material worldly benefit, but to develop as rational, righteous beings and bring about the spiritual, moral and physical welfare of their families, their people, their country and mankind”.
Terjemahan bebasnya adalah Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih kepekaan murid sedemikian rupa dalam menyikapi kehidupan, tindakan mereka, keputusan dan pendekatan untuk semua jenis pengetahuan, mereka dibangun secara spiritual dan sangat merasakan nilai-nilai etika Islam. Mereka dilatih, secara mental disiplin, sehingga mereka ingin memperoleh pengetahuan bukan hanya untuk memuaskan keingintahuan intelektual atau hanya untuk keuntungan materi duniawi, melainkan untuk berkembang secara rasional, makhluk sebenarnya dan bermental spiritual, moral dan sumber kesejahteraan bagi keluarga mereka, masyarakat disekitar mereka, negara mereka dan umat manusia.
Berdasarkan kutipan tujuan pendidikan Islam di atas, maka dapat dinyatakan betapa pentingnya solusi guna menyelesaikan beberapa problem tersebut. Karena problem-problem tersebut jika dibiarkan bisa ber-transformasi menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

4. Prospek Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.
Beranjak dari beberapa problem yang telah dipaparkan di atas maka kenyataan tersebut telah mendorong pihak-pihak yang perduli akan pendidikan untuk melakukan terobosan baru yang dapat mencerahkan prospek pendidikan agama di perguruan tinggi umum. Beberapa terobosan tersebut antara lain:

a. Paradigma Baru Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama.
Muhaimin dalam Rekonstruksi Pendidikan Islam memaparkan tentang perbedaan model-model pengembangan PAI di perguruan tinggi umum. Perbedaan model ini muncul karena adanya perbedaan pemikiran dalam memahami aspek-aspek kehidupan. Apakah agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri? Maka dalam konteks ini muncullah model dikotomis, model mekanisme dan model organism/sistemik.
Model dikotomis memandang segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non agama, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.
Sedangkan model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri dari beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Model organism/sistemik dalam konteks pendidikan Islam bertolak dari pandangan bahwa aktifitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
Pandangan semacam itu menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental value yang tertuang dan terkandung dalam Al Qur’an dan al-sunnah ash-shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insan yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Illahi/agama.
Dari ketiga model tersebut maka model organism/sistemik yang paling ideal jika disandingkan dengan Visi dan Misi PAI di perguruan tinggi umum. Hal ini sudah tergambar dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 43/DIKTI/Kep/2006. Jika hal ini dapat terealisasi, maka PAI di perguruan tinggi umum akan cerah prospeknya di masa yang akan datang.

b. Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam.
Dadan Muttaqien dalam Prospek Pendidikan Agama Islam di Tengah Perubahan Zaman menawarkan paradigm yang hampir senada dengan yang telah diuraikan di bagian ‘a’. Paradigma tersebut dalam bentuk Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam. Pemaparannya dalam hal ini yaitu :
Jika masih ingin eksis dan survive, semangat inklusivitas ajaran Islam harus benar-benar integral dalam materi ajar dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Namun yang perlu menjadi catatan jangan sampai terjebak oleh inklusivitas menurut retorika Barat dalam hal-hal teori tentang pluralisme, HAM dan lain-lainnya karena semua itu harus dikembalikan kepada sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah meskipun tetap dengan semangat yang mengkritisi setiap interpretasi terhadap kedua sumber tersebut.
Sikap Islam terhadap pluralitas misalnya, merupakan sikap pertengahan di antara dua kutub ekstrim pandangan manusia terhadap pluralitas: yang menolak pluralitas mentah-mentah dan yang menerima pluralitas mentah-mentah. Pandangan manusia yang menolak pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bencana yang membawa pada perpecahan sehingga pluralitas harus dihilangkan dan keseragaman mutlak harus dimunculkan. Hal tersebut dapat dilihat pada “totaliterisme Barat” yang diwakili oleh Uni Soviet saat itu. Pandangan manusia yang menerima pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikit pun. Hal ini terlihat pada model “liberalisme Barat” di banyak negara. Sikap Islam yang moderat, yang menerima pluralitas sekaligus menerima keseragaman, dapat dilihat dari penerimaan Islam terhadap beragam mazhab fikih, tetapi tetap dalam kerangka kesatuan atau keseragaman syariat Islam.
Pernyataan di atas juga relevan dalam upaya memprotek mahasiswa yang cenderung ‘darah muda’ yang gampang berapi-api dan labil. Terutama dalam menerima paham-paham dengan atas nama agama, seperti paham-paham Negara Islam Indonesia (NII) yang marak akhir-akhir ini. Disamping itu konsep integrasi inklusivitas ini sangat tepat jika diterapkan pada Perguruan Tinggi Umum yang masih menyajikan Pendidikan Agama Islam hanya 2 SKS. Karena ada juga beberapa perguruan tinggi umum yang menyajikan mata kuliah Pendidikan Agama lebih dari 2 SKS.

C. Kesimpulan

Dalam studi agama Islam tidak ada pemisahan antara pengajaran dengan pendidikan. Jika dapat dibedakan hanya sebatas maknanya saja. Pengajaran merupakan strategi untuk mengaktualkan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan suatu nilai (value) yang terus berjalan agar dapat diwujudkan. Namun dalam prosesnya pengajaran dan pendidikan merupakan sebuah proses yang integral.
Perjalanan panjang kebijakan yang menunjukkan eksistensi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum bukanlah hal yang mudah. Mulai dari kehadiran UU Pendidikan No. 4 tahun 1950 hingga kehadiran SK Mendiknas No.23/U/2000 pada tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, kemudian Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, telah menempatkan Pendidikan Agama sebagai Mata Kuliah Pengembangan. Ini berarti PAI di perguruan tinggi umum telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Ada nuansa integrasi antara mata kuliah Pendidikan Agama dengan mata kuliah lainnya. Dinamika ini telah melalui pergolakan berbagai kepentingan, baik kepentingan secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment) keagamaan turut ikut serta di dalamnya.
Jika proses pengajaran dan pendidikan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum terintegrasi secara kontekstual maka akan menghadirkan cendekiawan muda yang bukan hanya memiliki value, tetapi juga bermental spiritual yang dapat diandalkan untuk pembangunan masyarakat bahkan pembangunan peradaban manusia di masa yang akan datang.

DAFTAR BACAAN

Ahmad Ali Riyadi, Politik Pendidikan; Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 179-180S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
Alhaji A.D. Ajijola, Restructure of Islamic Education (Delhi: Adam publisher & Distributors, 1999)
Aminuddin, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)
H.M.Arifin, Kapita Selecta Pendidikan (Semarang: Toha Putra, 1981)
M.Ridwan Lubis, Aktualisasi Nilai-nilai Keislaman Terhadap Pembangunan Masyarakat (Medan: Media Persada, 2000)
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja GRafindo Persada, 2009)
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2009)
Salinan UU No. 4 Tahun 1950 Tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran
Salinan UU No. 22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi
Salinan UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas
Salinan PP No. 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi
Salinan SK Mendiknas No.232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa
Salinan UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas
Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No : 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)
Sumardi, Muljanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, (Jakarta: LPIAK Balitbang Agama Depag, 1977)
Dadan Muttaqien, Prospek Pendidikan Agama Islam di Tengah Perubahan Zaman, http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid=57, diakses tanggal 25 April 2011, pukul: 21.39 WIB
Selengkapnya...

20 Mei 2011

Salam Kebangkitan Nasional Ke-103



Bangun pemudi pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa

Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas
Tak usah banyak bicara trus kerja keras
Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih
Bertingkah laku halus hai putra negri
Bertingkah laku halus hai putra negri

Bait-bait lagu di atas mengingatkan saya pada masa-masa SMA. Bangun pemudi-pemuda karangan C. Simanjuntak ini termasuk lagu favorit saya jika latihan paduan suara. Dengan hentakan stakato-nya, aura spirit terasa hingga ke relung jiwa. Lagu-lagu nasional kita memang sungguh ‘bernyawa’.

Apalagi waktu itu guru kesenian kami Ibu Dra. Yoyok Juriah, guru cerdas yang begitu menguasai bidangnya. Bagi beliau membagi-bagi suara sopran, alto, tenor dan bas, seperti bagi-bagi snack saja. Ingat masa-masa itu, aiihhh…ingin rasanya mengulang kembali.

Tetapi akhir-akhir ini ada yang mengusik di hati. Banyak murid-murid saya yang tidak mengenal lagu-lagu nasional. Bahkan ada yang tidak hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ketika hal ini saya bicarakan dengan beberapa teman yang mengajar di sekolah lain, bahkan di sekolah yang berstatus SSN (Sekolah Standar Nasional), mereka juga menyampaikan hal yang sama. Seketika jadi mikir, adakah yang keliru…? Sehingga semua jadi begini? Apakah ini juga akibat dari pendidikan? (Semoga ini hanya kasuistik, teman).

Memang kita tidak dapat mengukur jiwa nasionalis seseorang hanya dari sebuah lagu. Tetapi melalui lagu kita dapat membangkitkan semangat nasional seseorang. Betapa inginnya membangkitkan semangat nasionalis itu untuk melawan gaya hidup hedonisme yang mulai menggerogoti anak negeri. Melawan kemusykilan kenyataan dinamika pendidikan yang sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya. UN sebagai exit exam… Terperdaya dengan persentase keberhasilan UN yang mencapai 99,xxx%. Sudah kredibel katanya. Oh angka-angka… ternyata semuanya bisa dipuaskan sebatas angka-angka. Lalu bagaimana sarana dan prasarana yang masih serba minimalis? Tenaga pendidik yang masih perlu di up grade? Belum lagi melawan carut-marut dunia olah raga, sehingga ajang PSSI-pun harus dipolitisasi. Ah..terlalu banyak sebenarnya yang ingin dilawan. Kalau sudah begini kembali hati ingin mendendangkan lagu di atas. Sungguh bernyawa…!

Semoga di 20 Mei 2011 ini, masih bisa diri ini menemukan kobaran-kobaran nyali kebangkitan nasional. Seperti gemuruh kobaran semangat kebangkitan yang dicetuskan bung Tomo seratus tiga tahun yang lalu, seperti dinamika retorika Soekarna di masa lalu. Seperti denyut nadi Sudirman yang enggan terhenti hanya karena rongrongan penyakit dan desingan peluru. Yang pasti seperti bangsa yang tidak pernah melupakan jasa-jasa para pahlawannya. Bangsa yang menghargai sejarah. Kita pun akan menjadi bagian dari sejarah. Oleh karena itu tugas kita adalah untuk mengukir sejarah yang lebih indah. Sebagai warisan untuk generasi mendatang. Semoga yang Maha Memberi Petunjuk selalu memberi kemudahan kepada kita untuk B..A..N..G..K..I..T …!! Bangkit mengganyang kebodohan dan ke-naif-an…!

Salam Kebangkitan Nasional ke-103,..!!
Selengkapnya...

2 Mei 2011

Sebuah Catatan di Hardiknas 2011

Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Demikianlah isi Bab II Pasal 4 dari UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sungguh indah kalimat-kalimat itu.
Sungguh bijak yang telah merangkai kata tersebut.
Amboii…

Tetapi entah mengapa indahnya kalimat-kalimat
Sarat maknanya yang tersirat maupun tersurat
Tidak mampu menghalau kegalauan yang sarat

Oh anak negeri…
Inilah kenyataan yang harus dihadapi
Ketika aku mendengar berita ini
Ketika aku membaca berita itu
Ketika aku menyaksikan kenyataan di depan mata
Haruskah missi itu hanya terukir di dalam kitab
Yang disebut Undang-Undang…??

Jika fakta dan Undang-Undang tak seirama
Yang satu di Selatan, yang satu di Utara
Kepada siapakah harus berbagi cerita…?
Haruskah kutunggu hadirnya
Ki Hajar Dewantara jilid ke-dua…??

Nelangsa…?? Putus Asa…??
Ku coba halau semua
Karena ‘Rajawali’ Bang Iwan Fals masih menggema
Begini katanya…..

“…Jiwa anggun teman sepi
Jiwa gagah pasti diri
Sejati

Bertahan pada godaan
Prahara atau topan
Keberanian

Setia kepada budi
Setia pada janji
Kegagahan

Menembus kabut malam
Menguak cadar fajar
Mendatangi matahari
Memberi inspirasi…”

Ya…semoga hati ini masih terinspirasi
Untuk menjadikan missi indah itu bukan hanya sekedar prasasti
Walau tak ada ‘sistem’ yang mengakui..

SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL…!!
Selengkapnya...

12 Maret 2011

Daftar Nama Siswa Kelas IX MTs Al Washliyah yang Laporan Tugas via Email-nya Diterima


Kepada seluruh ananda siswa/i MTs Al Washliyah Pangkalan Brandan, berikut ini adalah nama-nama siswa kelas IX T.P 2010-2011 yang telah mengirimkan laporan via email dan laporan diterima sebagai ujian praktek TIK.
Berikut nama-nama siswa yang laporannya diterima (up date 30 Maret 2011, pukul 21.30 WIB)

1 Rizqa Kahirunnisa (IX B)
2 Dina Marini (IX A)
3 Delima Siani Bancin (IX B)
4 Putri Annisa (IX B)
5 Putri Herdiana (IX A)
6 Ramadani Yanti (IX A)
7 Ziar Nadila (IX A)
8 Ami Rizki (IX A)
9 Rahmad Ariansyah (IX B)
10 Dian Utami (IX A)
11 Nurmala Sari.A (IX B)
12 Iin Santana (IX B)
13 Dina Al Husna (IX B)
14 Anju Brutu (IX B)
15 Parman Manik (IX C)
16 M. Joni Bancin (IX A)
17 Mukhsin Bancin (IX A)
18 Rahma Widya Sari (IX A)
19 Ari Pangestu (IX A)
20 M. Fauzan. Nst (IX A)
21 Rika Ulandari (IX B)
22 Trisna Sekar Tias (IX B)
23 Putri Hartati (IX B)
24 Yoga Prastiadiputra (IX B)
25 Rahayu Anggraini (IX B)
26 Abdurahman Qosim (IX B)
27 Rizki Pratama (IX C)
28 Taufik Abdillah (IX A)
29 Tri Kumala Dewa (IX C)
30 Irma Wati (IX A)
31 Ina Kirana (IX A)
32 Surya Handika Pratama (IX C)
33 Putri Herdiana (IX A)
34 Sumiati (IX C)
35 Ummi Atiyah (IX A)
36 Awaliani Husna (IX A)
37 Dina Supratika (IX C)
38 Siti Nurbaiti (IX C)
39 Haswindu (IX A)
40 Edi Sudrajat (IX A)
41 Ali Mukdin (IX B)
42 Mutia Dewi (IX B)
43 Dinda Lestari (IX A)
44 Heri Suseno (IX A)
45 Oktafia Umami (IX C)
46 Walila Oktari (IX C)
47 Desi Reni Harahap (IX C)
48 Sri Ramadhani (IX C)
49 Risma Risdianti (IX C)
50 Nurmalasari. C (IX B)
51 Rahmayana (IX A)
52 Joko Suprianto (IX B)
53 Alia Maliani Lbs (IX C)
54 Guruh Pratama (IX B)
55 Andani Simorangkir (IX B)
56 M. Amrizal Hafis (IX A)
57 Sumarni (IX A)
58 Bahya Ibnu Mulkan (IX A)
59 Rika Wulandari (IX A)
60 Rismal Berutu (IX A)
61 Susi Susanti (IX B)
62 Sumartik (IX B)
63 Rajak Priadi (IX A)
64 Helmi Pramuja (IX C)
65 Ely Erviana (IX A)
66 Mhd Sholeh (IX B)
67 M. Amar Adli (IX C)
68 Panca Akbar (IX B)
69 Dewi Nursiam (IX A)
70 Rahmat Fauzi (IX C)
71 Muhammad Syahputra (IX C)
72 Muhammad Yusuf (IX C)
73 Heru Herdiansyah (IX C)
74 Irfan Suhendra (IX C)
75 Purwanty (IX C)
76 Ayu Riski (IX B)
77 Fitria Ningsih (IX C)
78 Hernita Wahdini (IX B)
79 Rina Afriani (IX B)
80 Fitria Erviana (IX B)

Siswa yang merasa telah mengirim email tetapi namanya tidak terdaftar pada daftar di atas, diharapkan segera menjumpai guru TIK. Karena ada 2 siswa yang laporannya tidak diterima, dengan alasan:

1. Mengirim melalui jejaring social
2. Menggunakan identitas yang tidak jelas.

Kepada siswa/i yang belum mengirimkan laporannya diharap segera menyelesaikan tugasnya.

Selengkapnya...

25 Februari 2011

Anecdote; The Story of Nasruddin



Anecdotes is to tell an unusual and funny event. Anecdote is similar with Recount intended to show views of an event or events of the past. The main difference is that Anecdote usually tells an unusual occurrence for the purpose of entertaining or amusing. Because of these differences, so the structure of the Anecdote generic is so different with structure of the Recount generic.

This text is an important part in daily life because it can be easily found in various mass media, electronic and print, in the language learning books (textbook), etc.. Therefore, mastering this kind of text can also be used as the benchmark level of literacy. Learning of this type will not only influential the affect of the development of literacy skills in English, but also in Indonesian, and even though the mother tongue.

The story of Nasruddin is one of Anecdote. Here is his story:

Nasruddin put two big baskets of grapes on his donkey and went to market. At midday it was very hot, so he stopped in the shade of a big tree.

There were several other men there, and all of them had donkeys and baskets of grapes too. After their lunch they went to sleep.

After some time, Nasruddin began to take grapes out of the other men’s baskets and put them in his.

Suddenly one of the men woke up and saw him. “What are you doing ?” he said angrily.

“Oh,” said Nasruddin. “Don’t worry about me. I am half mad, and I do a lot of strange things”.

“Oh, really?” said the other man. “Then why don’t you sometimes take grapes out of your baskets and put them in somebody else’s baskets?”

“You did not understand me,” said Nasruddin. “I said that I was half mad, not quite mad”

Selengkapnya...

11 Februari 2011

Menguak Sejarah Mencari 'Ibrah



Judul Buku : Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah
Penulis : Dr. Hasan Asari, MA (sekarang sudah Profesor)
Penerbit : Cita Pustaka Media Bandung, 2006

Mengulas dunia pendidikan adalah sebuah topik yang tidak akan ada habis-habisnya. Seluruh aktifitas kehidupan manusia tidak lepas dari unsur pendidikan. Sebagaimana yang dinyatakan Andrea Hirata dalam novelnya Cinta Di Dalam Gelas bahwa "Tata cara bertutur kata, bergaul pria wanita, berbaju, menggaruk kalau gatal, atau berjoget dangdut, semuanya akibat dari pendidikan".

Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah merupakan salah satu buku yang mengulas dunia pendidikan dengan pendekatan history (Sejarah). Dalam buku ini kita akan menjumpai bagaimana pendekatan dan metodologi dalam pengkajian pendidikan Islam dalam perpsektif sejarah. Bagaimana kita dapat menemukan ‘Ibrah (pelajaran) dari sebuah catatan sejarah.

Sejarah ibarat sebuah celah yang dipakai oleh sebuah komunitas untuk ‘mengintip’ dan mengail pelajaran (‘ibrah) dari masa lalunya. Keinginan melihat dimensi yang lebih luas dari masa lalu itu mendorong orang untuk terus menerus membuka celah baru, atau setidaknya menguak lebih lebar celah historis yang sudah ada.

Dalam hal ini penulis menyatakan bahwa “Dibandingkan dengan model penulisan sejarah konvensional, model sejarah sosial-dengan ciri lebih menyeluruh dan menekankan pemberian makna terhadap fakta-fakta sejarah-membuka kemungkinan yang lebih besar bagi kita untuk memperoleh pesan sejarah (‘ibrah). Sesungguhnya, pencarian ‘ibrah dan kemudian menjadikannya sebagai bahan pelajaran dalam memahami masa kini dan merencanakan masa mendatang adalah merupakan inti terpenting dari kegiatan pengkajian sejarah. Karenanya, semakin detail pengetahuan kita tentang sejarah pendidikan Islam, semakin besar kemungkinan kita memberinya penafsiran yang komprehensif, dan pada waktu yang sama, semakin besar pula kemungkinan kita memperoleh pelajaran berharga daripadanya guna menyusun perencanaan masa depan yang lebih baik”.

Pada buku ini kita juga dihadapkan dengan pemikiran-pemikiran pendidikan Al Ghazali. Diantara pemikiran-pemikiran pendidikan Al Ghazali yang dibahas dalam buku ini adalah:

1. Mekanisme Psikologis Proses Belajar
2. Hambatan-hambatan Belajar
3. ‘Cara Lain’ Untuk Mengetahui (topik ini sangat menarik)
4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
5. Murid dan Kewajibannya
6. Guru dan Kewajibannya (wajib diketahui oleh pendidik)

Selain itu bagaimana dinamika Intelektual Muslim Klasik dan Muslim Dalam Kontak Peradaban juga dihadirkan dalam buku ini dengan pengolahan yang menarik. Apalagi didukung dengan berbagai referensi dari Bahasa arab. Sungguh membuka paradigma pemikiran pendidikan kita menjadi open minded.  

Yang merasa pendidik, perlu lo baca buku ini.
Selengkapnya...

13 Januari 2011

Buku Bergizi; La Tahzan for Teacher




Bagi anak berkebutuhan khusus, model pendidikan inklusif memberikan rasa hormat dan kebanggaan pada diri sendiri, sedang bagi anak normal, pendidikan inklusif mengajarkan mereka bersyukur dan menerima perbedaan. Semua siswa, termasuk juga gurunya, jadi memiliki kesempatan memperkaya hati, tentu bila guru dapat mengarahkannya dengan baik.

Kalimat diatas dikutip dari buku La Tahzan for Teacher pada halaman 6 yang ditulis oleh dua orang guru muda yaitu Ibu Irmayanti dan Gita Lovusa. Saya merasa ‘tertampar’ dengan pernyataan “…memiliki kesempatan memperkaya hati…”

Kalimat-kalimat tersebut mengingatkan saya pada sebuah kelas di madrasah tempat saya tugas. Di kelas ini siswanya beraneka ‘warna’. Ada seorang siswa perempuan yang perkembangan kognitif dan afektifnya jauh tertinggal dibandingkan dengan perkembangan seks-nya (gaya bicaranya pun seperti anak autis). Ada siswa yang emosinya cenderung tidak terkendali gampang merampang (marah membabi buta tidak perduli siapa dihdapannya). Ada juga siswa yang banyak bicara tetapi tidak mampu ‘mendengar’ dengan baik, sehingga sering menimbulkan salah paham tidak hanya dengan teman-temannya, tetapi juga dengan guru, tentu saja semuanya akan berakhir dengan keributan. Huufff…itu baru sebahagian. Jadi jangan heran jika guru yang masuk di kelas ini bakal mendendangkan ‘lagu’ complain yang berkepanjangan. Mungkin kondisi-kondisi seperti inilah yang tidak pernah didiskusikan di Perguruan Tinggi tempat calon tenaga pendidik dipersiapkan, sehingga begitu ‘turun gunung’, banyak tenaga pendidik yang jadi stress dalam menghadapi keaneka ragaman ‘warna’ tersebut.

La Tahzan for Teacher merupakan salah satu buku ‘bergizi’ yang perlu ‘dikonsumsi’bukan saja oleh guru tetapi juga oleh orang tua. Karena pada dasarnya guru adalah orang tua siswa di sekolah (walaupun terkadang banyak guru yang tidak dapat menganggap murid sebagai anaknya di sekolah), apalagi yang memang orang tua yang telah diamanahkan anak. Selain itu problem yang dimunculkan dalam buku ini berdasarkan kisah nyata yang dialami penulis.

Beberapa ‘keunikan’ anak dan fenomena kelas/sekolah yang kadang terabaikan yang dimunculkan dalam buku ini antara lain:
1. Doni, siswa dengan kondisi emosi yang tidak stabil, terkadang mengamuk di kelas tanpa sebab yang jelas.
2. Rahmi, siswa yang tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua, sehingga cenderung sering menyakiti diri sendiri dengan menyilet bagian tubuhnya.
3. Ferro, siswa yang harus ‘bertekuk lutut’ dengan ambisi orang tua.
4. Herman, siswa yang ‘biasa-biasa’ saja dari segi kognitif, tetapi memiliki kecerdasan interpersonal yang patut diperhitungkan (inilah kecerdasan anak yang kadang diabaikan guru)
5. Arlan Soebarna, siswa yang memiliki kecerdasan verbal (banyak omong dan jago berbalas pantun), tetapi banyak guru yang dibuatnya BT karena sering nyeletuk ketika guru mengajar.
6. Siswa-siswa yang telah terlibat dengan seks bebas
7. Menumbuhkan jiwa kepemimpinan pada anak
8. Kepercayaan yang jarang diberikan guru kepada siswa.

Khusus poin ke delapan, saya sempat terpaku membaca bagian ini. Yaitu pada kutipan-kutipan kalimat yang diambil dari film Kungfu Panda, seperti:

You’re not my teacher. You don’t even believe me
To make something special, you just have to believe that it is special


Sebelumnya saya sudah menonton film ini. Ketika itu saya sempat senyum-senyum dan manggut-manggut menyadari betapa film ini sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Namun manggut-manggut saya ketika itu semakin menemukan ‘klik’-nya setelah membaca buku ini. Ya…trust… kepercayaan itu adalah salah satu modal membangkitkan kreatifitas siswa. Bagaimana mungkin mereka ‘nyaman’ melakukan sesuatu jika kita tidak mempercayainya…?

Masih banyak lagi problem-problem yang sering kita jumpai di lingkungan sekolah, dimana problem itu terkadang kita selesaikan dengan cara yang tidak bijak (termasuk saya sendiri, pengakuan dari lubuk hati terdalam. Hiikkss) yang dihadirkan dalam buku ini. Problem yang terkadang sekolah tidak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikannya. Seperti yang dinyatakan penulis pada halaman 16:

Sayangnya, sekolah bukanlah tempat yang terlalu ramah pada anak. Kurikulum padat, dan guru harus berkejaran dengan waktu karena semua harus selesai untuk Ujian Nasional. Tak banyak waktu tersisa untuk memperhatikan anak didik, mencari akar masalah mereka, mengobati luka yang menganga. Padahal anak-anak ini manusia.

Pada halaman 147 penulis selaku guru ‘muda’ memaparkan apresiasinya terhadap guru ‘tua’. Pada bahagian ini saya senyum-senyum membacanya, terutama pada pernyataan:

Jadi ingat heboh sertifikasi guru kemarin. Lama mengajar merupakan komponen kedua yang dinilai setelah gelar sarjana. Makin lama mengajar, makin besar poinnya. Tentu kesempatan jadi certified teacher yang (katanya) mumpuni dan sejahtera juga makin lebar. Kenapa begitu, ya? Hmm…, mungkin karena makin lama mengajar, kualitas guru jadi makin bagus.

Begitukah?

Mungkin saja sih. Tapi ingatkah kita pada sosok guru yang makin sulit didebat, makin sok tau, dan makin membosankan saja setiap dia masuk kelas? Bukankah biasanya guru demikian adalah guru yang ‘lama’ mengajar, yang dibilang banyak pengalaman?

Tentu saja usia muda tak berarti selalu baik. Kadang ‘muda’berarti mentah, emosional, dan mengedepankan ego. Kadang juga bertindak serampangan dan kurang pertimbangan. Sementara, kita banyak menemui guru tua yang makin lama makin berisi, setidaknya mereka mendukung perubahan dan angin baru di dunia pendidikan tanpa kecurigaan dan apatisme.

Ah, usia.

Usia yang bertambah memang bisa menunjukkan kematangan dan kebijaksanaan. Tapi, usia yang bertambah juga bisa mengikis idealism, mematikan antusiasme, dan menghilangkan kreatifitas. Ah, akankah hal itu terjadi pada saya, pada Chaerul, dan banyak guru lainnya? Akankah?

Setelah membaca bagian ini, tiba-tiba saja saya teringat pada diri sendiri. Walaupun saya tidak pernah merasa ‘tua’ (aih…gejala tidak tau diri kah ini..? ‘Ntahlah… he he he), tetapi setidaknya saya lebih tua dari penulis buku ini. Berdasarkan apa yang mereka paparkan, kok saya merasa mereka lebih bijaksana dari saya. Apakah saya termasuk orang yang merugi (Q.S Al-‘Ashr) ? Ya Robb, jangan biarkan aku menjadi hambaMu yang merugi.

Pada halaman 163 penulis juga mengajak guru untuk berlapang dada jika apa yang sudah diupayakannya tidak bersambut dengan baik. Untuk kasus ini penulis mengangkat kejadian-kejadian sederhana yang sering kali muncul di kelas dan sesering itu juga menjadi akar ‘konflik’ antara guru dan murid hanya karena guru tidak mampu berlapang dada. Topik ini sangat menarik, karena saya sendiri terkadang terlibat dalam ‘konflik’ tersebut. Misalnya saja ketika guru mengajar ada siswa yang keluar kelas dan makan di kantin. Tidak hadir dengan alasan yang tidak layak, seperti membantu orang tua menyuci. Kejadian-kejadian ini menunjukkan betapa guru tidak mampu ‘bersaing’ dengan ‘keadaan-keadaan’ seperti itu.
Untuk kasus ini saya jadi teringat dengan soal ujian semester ganjil kemarin. Untuk menguji kompetensi siswa dalam mengeluarkan pendapat saya membuat soal dengan redaksi:

What do you think of your school ?

Ketika mengoreksi lembar jawaban, salah seorang siswa saya menjawab begini:

Bad. If rain banjir. Sorry my teacher but it is my opinion.

Waktu itu saya tertawa sendiri membacanya (saat mengetik kalimat ini pun saya senyam-senyum). Inggris-nya itu lo. Perasaan tidak pernah mengajarkan struktur kalimat seperti itu, tetapi itulah ‘struktur kejujuran’. Ha ha ha… dan saya harus berlapang dada. Saya beri anak ini nilai sempurna untuk poin soal tersebut.

Yang paling menarik dari buku ini adalah penulis memberikan ulasan psikologi dalam menghadapi kasus-kasus yang disajikan. Jadi benar-benar menambah wawasan pedagogik seorang guru dalam menghadapi dinamika di lingkungan sekolah. Sangat bermanfaat bagi guru BP.

Hanya saja karena buku ini diangkat dari kisah nyata yang dialami penulisnya, walaupun dibarengi dengan tinjauan psikologis, tetapi tidak menyajikan bagaimana ‘hasil terapi’ yang telah mereka lakukan pada berbagai ‘kejadian-kejadian unik’ yang mereka alami itu. Sehingga terkesan ‘kedahsyatan’ kajian psikologis tersebut baru sebatas level ‘teoritis’ belum menyentuh level ‘praktis’. Bisa jadi saya yang keliru menafsirkan, karena setelah membaca buku ini, hati kecil saya berteriak…. I’M A BAD TEACHER…!

Namun secara keseluruhan, seperti yang saya nyatakan di bagian awal tulisan ini, La Tahzan for Teacher merupakan salah satu buku ‘bergizi’ yang perlu dibaca oleh tenaga pendidik dan orang tua. Salam hormat buat kedua penulis buku ini. Tenaga Pendidik muda tetapi memiliki aura ‘pencerah’.
Selengkapnya...

11 Januari 2011

Penelitian Deskriptif - Penelitian Kebijakan


PENELITIAN DESKRIPTIF – PENELITIAN KEBIJAKAN
Oleh: Sri Rahayu

M A K A L A H

A. PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman, tatanan kehidupan manusia pun melaju dengan dinamis. Tatanan kehidupan modern (modern life order) memungkinkan munculnya berbagai konsep penelitian yang bersinergi dengan berbagai gejala kehidupan modern tersebut dengan serasi.

Berbagai fenomena kebijakan yang diterapkan oleh para pengambil kebijakan (policy maker) telah memungkinkan bersandingnya konsep penelitian dan kebijakan itu dalam suasana yang harmonis. Kerja penelitian yang dilakukan hanya untuk tujuan pengembangan ilmu di ruangan kosong adalah sia-sia, terutama penelitian terapan yang berajangkan prilaku kehidupan, terutama pada prilaku manusia dengan segala efeknya. Dinamika pembangunan dan teknologi telah menimbulkan dua sisi yang berlawanan; positif dan negatif. Hal ini berdampak luas terhadap pola prilaku pembuat dan pelaksana kebijakan, terutama dalam tatanan gejala sosial yang muncul ke permukaan.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa para peneliti gejala sosial ini sering dianggap sebagai pengganggu atau perusak citra oleh pembuat kebijakan, mereka hanya mampu menyalahkan kebijakan pemerintah tanpa menawarkan alternatif solusi. Dewasa ini, penelitian dan kebijakan telah menjelma sebagai field of study yang disebut dengan Penelitian Kebijakan. Proses kerjanya merujuk pada proses kerja penelitian pada umumnya.

Makalah ini akan membahas tentang Penelitian Kebijakan secara umum. Namun agar pembahasan tidak melebar maka penyusun memberikan batasan-batasan sebagai berikut:

1. Pengertian Penelitian Kebijakan
2. Urgensi dan Fokus Penelitian Kebijakan
3. Karakteristik Penelitian Kebijakan.
4. Metode Penelitian Kebijakan.
5. Naskah Kebijakan (Police Paper).
6. Penutup (kesimpulan)

B. PENGERTIAN PENELITIAN KEBIJAKAN

Penelitian kebijakan merupakan salah satu dari jenis penelitian deskriptif. Suharsimi Arikunto dalam bukunya Manajemen Penelitian memberikan batasan pengertian tentang penelitian deskriptif, yaitu Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang sesuatu variable, gejala atau keadaan. Memang ada kalanya dalam penelitian ingin juga membuktikan dugaan tetapi tidak terlalu lazim. Yang umum adalah bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis.

Sebelum kita membahas tentang pengertian penelitian kebijakan, perlu kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan kebijakan. Makna kebijakan yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Selain itu Edi Suharto dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik mengemukakan bahwa Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, financial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideology, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kebijakan yang dimaksud sebagai latar penelitian kebijakan (policy research) adalah tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah sosial. Pemecahan masalah sosial oleh policymaker dalam hal ini dilakukan atas dasar rekomendasi yang dibuat oleh policy researcher berdasarkan hasil penelitiannya. Kebijakan di sini tidak dipersepsikan dari sudut pandang politik pemerintah, melainkan kebijakan sebagai objek studi.

Sedangkan definisi penelitian kebijakan adalah penelitian kebijakan dapat didefinisikan sebagai kegiatan penelitian yang dilakukan untuk mendukung kebijakan. Ada juga yang berpendapat bahwa penelitian kebijakan adalah usaha mengumpulkan informasi secara komprehensif untuk merumuskan kebijakan.

Kemudian James H.Mc Millan dan Sally Schumacher dalam buku mereka yang berjudul Research in Education menyatakan Policy analysis evaluates government policies to provide policymakers with pragmatic action-oriented recommendations. Policy is both what is intended to be accomplished by government action and the cumulative effort of actions, assumptions, and decisions of people who implement public policy.

Akan tetapi jika kita menyinggung kata penelitian maka hal ini akan bersentuhan dengan sesuatu yang bernuansa ilmiah. Jadi dapat dinyatakan bahwa penelitian kebijakan hadir untuk mengilmiahkan kebijakan atau menghasilkan kebijakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dalam batas-batas yang tidak berbenturan keras dengan political will atau lingkungan sosial politik disuatu Negara.

C. URGENSI DAN FOKUS PENELITIAN KEBIJAKAN

Para perumus kebijakan merumuskan kebijakan atas dasar prioritas yang paling urgen, khususnya yang berkenaan dengan pemecahan masalah sosial atau pun masalah publik. Semakin kompleks dan luas tugas-tugas keorganisasiannya, maka semakin banyak pula masalah yang dihadapi, sehingga tidak dapat dipecahkan sendiri tanpa pendapat atau informasi yang memadai, baik kuantitatif maupun kualitatif.

Disinilah hadir urgensi penelitian kebijakan. Sebagaimana yang dipaparkan Sudarwan Danim berikut ini:

Penelitian kebijakan (policy research) secara spesifik ditujukan untuk membantu pembuat kebijakan (policymaker) dalam menyusun rencana kebijakan, dengan jalan memberikan pendapat atau informasi yang mereka perlukan untuk memecahkan masalah yang kita hadapi sehari-hari. Dengan demikian, penelitian kebijakan merupakan rangkaian aktifitas yang diawali dengan persiapan peneliti untuk mengadakan penelitian atau kajian, pelaksanaan penelitian, dan diakhiri dengan penyusunan rekomendasi.

Selain itu penelitian kebijakan juga dipersepsikan sebagai:

Basic social research; yakni penelitian kebijakan harus dilaksanakan secara sesuai prosedur kerja ilmiah.

Technical social researh; yakni bahwa penelitian kebijakan harus mampu merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang dapat dikembangkan instrumen-instrumen teknisnya.

Policy research harus menghasilkan kebijakan publik.

• Komprehensif yakni penelitian kebijakan harus menjangkau seluruh variabel yang terkait dan relevan dengan persoalan yang sedang dikaji untuk dirumuskan kebijakan penyelesaiannya.

Berdasarkan paparan dua kutipan di atas dapat dinyatakan bahwa penelitian kebijakan harus dipersepsi dari sisi kemanfaatannya. Walaupun sebuah penelitian semestinya bernuansa ilmiah, namun penelitian kebijakan kiranya belum perlu dipersepsikan sebagai kajian ilmiah atau tidak, melainkan harus dilihat dari kemanfaatannya bagi pemecahan masalah sosial atau masalah publik. Tentu saja jika rekomendasai yang dihasilkan oleh peneliti kebijakan dapat diimplementasikan oleh pembuat kebijakan dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.

Penelitian kebijakan memiliki sifat yang sangat khas. Kekhasan penelitian ini terletak pada fokusnya. Sudarwan Danim menjelaskan fokus penelitian kebijakan secara umum adalah:
… berorientasi kepada tindakan untuk memecahkan masalah sosial yang unik, yang jika tidak dipecahkan akan member efek negatif yang sangat luas. Tidak ada ukuran pasti mengenai luas atau sempitnya suatu masalah sosial. Sebagai missal, rendahnya kualitas pendidikan dapat dipersepsi dari banyak sisi yang menyebabkan rendahnya kualitas itu, seperti:
1. Kualitas guru
2. Kualitas proses belajar mengajar
3. Kualitas kurikulum
4. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan serta sumber belajar
5. Kualitas raw input lembaga pendidikan
6. Kondisi lingkungan sosial budaya dan ekonomi.

Oleh karena penelitian kebijakan berorientasi kepada fokus, maka pengkajian atau penelitian mengenai rendahnya kualitas pendidikan, misalnya, akan dititikberatkan kepada fokus mana – kualitas guru, kualitas proses belajar mengajar dan sebagainya. Jika penelitian kebijakan difokuskan kepada kualitas proses belajar mengajar, misalnya, maka fokus kajian dapat menyangkut masalah yang luas, seperti:

1. Intensitas proses belajar siswa di kelas.
2. Intensitas proses belajar siswa di luar kelas
3. Kualitas guru dalam mengajar
4. Kualitas interaksi guru dengan siswa
5. Kualitas jaringan-jaringan belajar
6. Kualitas menu sajian dalam proses belajar mengajar
7. Kualitas kegiatan ko dan ekstra kurikuler yang mendukung kegiatan inti di lembaga pendidikan

Akan tetapi jika penelitian kebijakan dikhususkan dalam dunia pendidikan, maka James H.Mc Millan berpendapat bahwa fokus penelitian kebijakan adalah Policy analyses focus on (1) policy formulation, especially deciding which educational problems to address; (2) implementations of programs to carry out policies; (3) policy revision; and (4) evaluation of policy effectiveness and/or efficiency. A program can be analyzed as separate from a policy or it can be defined as a specific means adopted for carrying out a policy.

Dari dua kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa fokus penelitian kebijakan pada dasarnya adalah beorientasi pada solusi dari permasalahan yang muncul akibat diterapkannya sebuah kebijakan.

D. KARAKTERISTIK PENELITIAN KEBIJAKAN

Setiap jenis penelitian tentu memiliki karakteristik masing-masing. Demikian juga dengan penelitian kebijakan. Kekhususan karakteristik penelitian kebijakan terutama pada proses kerjanya. Menurut Ann Majchrzak sebagaimana yang dikutip Sudarwan Danim dalam bukunya Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, karakteristik penelitian kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Fokus penelitian bersifat multidimensional atau banyak dimensi
2. Orientasi penelitian bersifat empiris-induktif
3. Menggabungkan dimensi masa depan dan masa kini
4. Merespon kebutuhan pemakai hasil studi
5. Menonjolkan dimensi kerja sama secara eksplisit.

Pernyataan di atas senada dengan apa yang dinyatakan oleh James H.Mc Millan and Sally Schumacher dalam bukunya Research in Education, yaitu Generally, policy analysis tends to 1) be multidimension in focus; 2) use deductive and inductive research orientations; 3) incorporate the future as well as the past; 4) respond to study users; and 5) explicity incorporate values.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa nilai special karakteristik penelitian kebijakan adalah pada penekanan-penekanan khusus dari masing-masing karakteristik tersebut serta kepaduannya.

E. METODE PENELITIAN KEBIJAKAN

Pada dasarnya penelitian kebijakan merupakan penawaran kompromi, terutama antara peneliti dengan klien atau stakeholder. Menurut Coleman sebagaimana yang dikutip Sudarwan Danim dalam bukunya Pengantar Studi Penelitian Kebijakan bahwa dikarenakan penelitian kebijakan beroperasi pada batas metodologi penelitian pada umumnya (terutama penelitian ilmu-ilmu sosial), maka tidak ada metodologi tunggal, metodologi yang komprehensif untuk melaksanakan analisis teknikal dari penelitian kebijakan.

Masih bersumber dari buku yang sama, Sudarwan Danim menyatakan bahwa ada beberapa metode penelitian kebijakan, yaitu:

1. Sintesis terfokus
2. Analisis data sekunder
3. Eksperimen lapangan
4. Metode kualitatif
5. Metode Survai.
6. Penelitian kasus
7. Analisis biaya-keuntungan
8. Analisis keefektifan biaya
9. Analisis kombinasi
10. Penelitian tindakan

1. Metode Sintesis Terfokus

Menurut James H.Mc Millan, sintesis terfokus adalah Focused synthesis is the selective review of written materials and prior research relevant to the policy question. The synthesis differs from the traditional literature review by discussing information obtained from a variety of sources beyond published articles-interviews with experts and stakeholders, hearings, anecdotal stories; personal experiences of the researcher, unpublished documents, staff memoranda, and published materials. An entire policy analysis study can employ this method.

Salah satu contoh dari metode sintesis terfokus adalah Studi Lembaga Pembangunan Internasional (Agency for International Development = AID) atau study for AID, yaitu suatu studi tentang masalah penyediaan air di pedesaan di Negara-negara berkembang. Usaha penelitian kebijakan ini menurut Burton (seorang peneliti dari Inggris), sebagaimana yang dikutip oleh Sudarwan Danim dalam bukunya Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, dilakukan dengan cara:
a. Mengkaji sumber-sumber pustaka mutakhir yang tersedia dan relevan dengan masalah atau fokus penelitian.
b. Menuangkan pengalamannya di lapangan selama lima tahun terakhir di Afrika dan Amerika Latin.
c. Mengadakan diskusi-diskusi dengan individu-individu di Ross Institute, International Reference Centre for Community Water Supply di Hague, Organisasi Keehatan Dunia (WHO) dan The British Ministry for Overseas Developmnet.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam metode sintesis terfokus mengaitkan tiga hal pokok, yaitu sumber pustaka ter-up date yang relevan, pengalaman penelitian dan hasil diskusi.

2. Metode Analisis Data Sekunder.

James H.Mc Millan memaparkan bahwa metode analisis data sekunder ialah Secondary analysis is the analysis and reanalysis of existing databases. However, the policy questions or decision models that guide the reanalysis differ from the traditional research question in a meta-analysis study. Rather than examining the databases to determine the state of knowledge about the effect size of a single educational practice, the policy analysis generates different policy models and questions from which to examine the databases.

Kutipan di atas jika diterjemahkan secara bebas maka analisis sekunder adalah analisis dan reanalisis database yang ada. Namun, pertanyaan kebijakan atau keputusan yang memandu reanalisis model lain dari pertanyaan penelitian tradisional dalam studi meta-analisis. Alih-alih memeriksa database untuk menentukan keadaan pengetahuan tentang ukuran pengaruh praktik pendidikan tunggal, analisis kebijakan menghasilkan model kebijakan yang berbeda dan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan database untuk memeriksa database.

Selain itu Sudarman Danim juga menyatakan bahwa Metode analisis data sekunder sebegitu jauh dikatakan sebagai metode yang dilihat dari dimensi biaya paling efisien. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian kebijakan. Tidak terdapat ketentuan pasti mengenai pada jenjang mana data tersebut dikatakan sebagai data sekunder. Untuk memudahkan pemahaman mengenai perbedaan antara data primer dengan data sekunder dapat dijelaskan, bahwa setiap data yang bukan diperoleh dari sumber utamanya disebut dengan data sekunder.

Dari dua kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa metode analisis data sekunder hanya mungkin dilakukan jika data dasar yang diinginkan diperoleh secara mencukupi. Apabila tidak mencukupi maka perlu membangun data dasar baru (new database) yang diseleksi dari kombinasi data dasar yang berbeda. Jika data dasar tidak tersedia, peneliti harus memakai metode lain.

3. Metode Eksperimen Lapangan

Metode Eksperimen Lapangan yaitu Field experiments and quasi-experiments investigate the effect or change as a result of policy implementation. Because experimental approaches attempt to explain existing educational conditions, the result may not be useful in projecting into the future. Policy conditions may be so dynamic that the result are confined to that particular period of implementation.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dinyatakan bahwa tujuan metode ini adalah untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara pengeksposan satu atau lebih kelompok eksperimental dan satu atau lebih kondisi perlakuan dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan.

4. Metode Kualitatif

Beberapa bentuk metode kualitatif yang digunakan untuk mencari data primer dalam penelitian ini antara lain wawancara, observasi dan kelompok terfokus. Kelompok terfokus ialah salah satu jenis teknik yang dapat dipakai, dimana individu dicari secara terseleksi dalam kelompok dan diarahkan kepada diskusi yang terfokuskan pada topik pra spesifik. Kelompok semacam ini sangat baik untuk membangun isu dan menjejaki faktor-faktor potensial sebagai penyebab suatu peristiwa.
Aplikasi metode kualitatif dalam penelitian kebijakan dilakukan dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Merumuskan masalah sebagai fokus studi penelitian kebijakan.
b. Mengumpulkan data lapangan.
c. Menganalisis data.
d. Merumuskan hasil studi.
e. Menyusun rekomendaasi untuk pembuatan kebijakan.
5. Metode Survai
Secara umum aplikasi metode survai dalam penelitian kebijakan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perencanaan dan perancangan survai.
b. Memilih subject.
c. Menyusun instrument.
d. Menentukan prosedur pengumpulan data.
e. Melatih pewawancara atau pengumpul data.
f. Pengumpulan data.
g. Pengolahan dan analisis data.
h. Penyusunan laporan dan rekomendasi hasil peneltian untuk pembuatan kebijakan.

6. Penelitian Kasus

Penelitian atau studi kasus seringkali digunakan dalam metode penelitian kebijakan sebagai studi yang cepat, biaya efisien dan ada ruang yang memungkinkan untuk mendalami sebuah situasi. Beberapa langkah-langkah studi kasus dalam konteks penelitian kebijakan adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan tujuan penelitian yang ingin dicapai.
b. Menentukan atau merancang pendekatan yang akan digunakan.
c. Mengumpulkan data yang relevan.
d. Menganalisis data.
e. Membuat laporan dan rekomendasi hasil penelitian.

7. Analisis Biaya Keuntungan

Analisis biaya keuntungan me-refer kepada set metode dimana peneliti kebijakan membandingkan biaya (cost) dengan keuntungan (benefit) yang akan diperoleh oleh masyarakat berdasarkan alternatif pilihan kebijakan.
Dalam makna yang lebih luas, analisis biaya-keuntungan untuk aplikasi sebuah kebijakan dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, keuntungan jangka pendek dari biaya yang diinvestasikan. Kedua, keuntungan jangka panjang dari biaya yang diinvestasikan.

8. Analisis Keefektifan Biaya.

Dalam metode ini Sudarwan Danim dalam bukunya Pengantar Studi Penelitian Kebijakan menyatakan Dalam analisis keefektifan biaya, biaya moneter pilihan kebijakan dapat dihitung. Bagaimanapun keuntungan dari kebijakan dapat dituangkan dalam terminologi biaya aktualnya atau hasil yang diharapkan. Analisis semacam ini relative sangat mudah dilakukan, oleh karena yang dihitung adalah biaya yang paling fisibel, dalam arti tidak berlebihan dan tidak pula terlalu kecil.

Berdasarkan kutipan di atas metode ini bertujuan untuk mempertimbangkan tuntutan pembiayaan yang menjadi dasar dalam menentukan kebijakan oleh pembuat kebijakan.

9. Analisis Kombinasi

Kombinasi analisis biaya keuntungan dengan analisis keefektifan biaya dipandang cocok bagi usaha untuk merumuskan kebijakan, mengingat pada kedua analisis tersebut dimensi biaya dinilai dari variable sejenis.

Menurut Sudarwan Danim, ada tiga jenis variable biaya, yaitu:
a. Biaya-biaya langsung, seperti untuk keperluan personalia dan fasilitas fisik.
b. Biaya-biaya tidak langsung.
c. Biaya-biaya oportunitas, seperti apa yang akan dicapai jika sumber-sumber digunakan secara berbeda.

Menganalisi biaya dari sudut keefektifanya relatif mudah dilakukan, namun untuk menganalisis variasi biaya yang muncul sebagai dampak kebijakan itu tidak jarang sangat sulit. Disinilah diperlukannya peranan para peneliti dari sebuah kebijakan melalui penelitian kebijakan.

10. Penelitian Tindakan.

Pada dasarnya penelitian tindakan bertujuan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan atau pendekatan-pendekatan baru dan untuk memecahkan masalah-masalah social dengan aplikasi langsung di ruangan atau pada situasi dunia kerja.
Sedangkan relevansinya dengan penelitian kebijakan adalah Bahwa penelitian tindakan (action research) mengkombinasikan dua sisi secara langsung, yaitu sisi penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan sisi kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh klien atau pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan tertentu berupa ketrampilan prakits dan pendekatan baru yang relevan bagi perbaikan atau pengembangan tatanan sosial.

Dari kutipan diatas dapat dinyatakan bahwa ada titik temu antara penelitian tindakan dengan penelitian kebijakan, meskipun tidak dapat dikatakan identik. Beberapa titik temunya adalah:
Pada tahap perumusan masalah, baik pada penelitian tindakan maupun pada penelitian kebijakan, kerja sama antara peneliti dengan pembuat kebijakan mutlak diperlukan. Kedua jenis penelitian ini sama-sama bersifat empiris dan lemah ketertiban ilmiahnya, sama-sama berpijak pada acuan teoretis yang tajam. Sebagai salah satu metode dalam penelitian kebijakan, penelitian tindakan harus diakhiri dengan rekomendasi yang aplikatif bagi pembuat kebijakan untuk memecahkan masalah sosial.

F. Out Line Naskah Kebijakan (Policy Paper)

Ada tiga jenis naskah kebijakan, yaitu: penelitian kebijakan (policy study), ringkasan kebijakan (policy brief) dan memo kebijakan (policy memo). Secara struktural naskah kebijakan ini memiliki elemen-elemen naskah (out line) yang sama, yaitu:

1. Judul.
2. Daftar Isi.
3. Abstrak atau Executive Summary.
4. Pendahuluan.
5. Deskripsi Masalah.
6. Pilihan-pilihan Kebijakan.
7. Kesimpulan dan Rekomendasi.
8. Catatan Akhir.
9. Apendik/Lampiran.
10. Bibliography.

Berikut ini adalah penjelasan dari elemen-elemen tersebut:

1. Judul.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan judul ialah:
• Bersifat deskriptif: menjelaskan subjek dan masalah yang dibahas.
• Jelas.
• Ringkas dan tegas
• Menarik pembaca
Beberapa prinsip judul adalah:
• Sebagian besar judul tidak terdiri dari kalimat-kalimat penuh.
• Kata-kata kunci merupakan dasar sebuah judul.
• Beberapa penulis membagi judul ke dalam dua bagian dengan menggunakan colon. Misalnya: “Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak: Dari Residual ke Institusional”
• Beberapa penulis mengindikasikan beberapa penemuan utama dalam judul policy paper.
• Hurup kapital biasanya digunakan untuk keseluruhan kalimat, kecuali kata sambung (dan), conjunction (tetapi), preposition (dari), pronoun (kita).

2. Daftar Isi.

Daftar isi dalam sebuah policy paper membantu pembaca dalam beberapa hal:
• Daftar isi berperan sebagai pembimbing yang membantu pembaca memahami keseluruhan paper.
• Daftar isi membantu pembaca yang berminat mengetahui bagian-bagian tertentu (saja) dari sebuah paper.
• Sistem penomoran dalam daftar isi dapat membedakan bagian-bagian dan sub-subnya dari suatu paper.

3. Abstrak atau Executive Summary.

Pada bahagian ini memuat:
• Definisi dan deskripsi masalah kebijakan.
• Tujuan naskah kebijakan.
• Evaluasi kebijakan yang ada.
• Alternatif-alternatif kebijakan yang diusulkan.
• Kesimpulan dan rekomendasi.

4. Pendahuluan.
Pada umumnya ada beberapa hal yang terdapat pada pendahuluan, yaitu konteks masalah kebijakan, definisi masalah kebijakan, pernyataan tujuan, metodologi dan keterbatasan studi, alur atau ringkasan isi paper.

5. Deskripsi Masalah.

Deskripsi masalah memuat dua hal penting: (a) latar belakang masalah dan (b) masalah dalam konteks kebijakan saat ini. Lebih lanjut Edi Suahrto dalam bukunya Analisis Kebijakan Publik menjabarkan bahwa deskripsi masalah dalam sebuah policy paper harus mampu:
• Menjelaskan masalah yang menjadi fokus analisis kebijakan. Bisa dimulai dengan mendiskusikan beberapa isu atau masalah sosial yang ‘serumpum’ atau berkaitan. Kemudian menyatakan satu isu atau masalah kebijakan yang dipilih.
• Meyakinkan pembaca bahwa isu yang diangkat memerlukan perhatian audien kebijakan (pemerintah, LSM atau analis kebijakan yang lain). Karenanya, isu yang diangkat hendaknya lebih dari sekedar asumsi, hipotesis dan apalagi gossip. Sebaiknya diback-up oleh data hasil penelitian kita maupun penelitian orang lain (boleh juga mengemukakan informasi dari ahli, media massa, pejabat pemerintah sebagai pendukung data).
• Memfokuskan dan menggarisbawahi masalah dalam konteksnya secara spesifik, termasuk didalamnya mendiskusikan sebab-sebab dan akibat-akibat dari masalah tersebut.
• Membangun kerangka dengan mana pilihan-pilihan kebijakan memiliki dasar argument secara komprehensif.

6. Pilihan-pilihan Kebijakan

Pada bahagian ini membahas:
…alternatif kebijakan (biasanya antara 5 s.d 7 opsi). Kemudian diikuti dengan alternative kebijakan yang dipilih (biasanya antara 2 s.d 3 opsi). Pilihan-pilihan kebijakan (atau alternative kebijakan yang dipilih) terdiri dari dua elemen penting: (a) kerangka analisis, dan (b) evaluasi alternatif-alternatif kebijakan.

7. Kesimpulan dan Rekomendasi.

Menurut Edi Suharto, ada tiga elemen penting yang harus termuat dalam kesimpulan dan rekomendasi, yaitu:
• Sintesis temuan-temuan utama (synthesis of major findings).
• Seperangkat rekomendasi-rekomendasi kebijakan (set of policy recommendations).
• Kalimat atau pernyataan penutup (concluding remarks).

8. Catatan Akhir (endnotes).

Fungsi catatan akhir ialah
• Memberikan diskusi dan penjelasan tambahan atau definisi terhadap beberapa istilah.
• Untuk menarik pembaca kepada sumber-sumber yang menjelaskan latarbelakang informasi yang didiskusikan pada teks.

9. Apendik.

Lampiran dicantumkan jika diperlukan. Jadi tidak harus ada. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam apendik (lampiran) ialah:
• Apendik bersifat mendukung argument-argumen utama yang dikembangkan dalam keseluruhan policy paper.
• Kriteria umum yang digunakan dalam menentukan apa yang harus dimuat dalam apendik adalah tipe, panjang dan rincian informasi.
• Apendik biasanya dibagi dan diidentifikasi melalui penggunaan judul.

10. Bibliography atau Daftar Pustaka

Daftar pustaka memungkinkan pembaca dapat mengakses sumber-sumber bacaan yang mendasari argument penulis. Daftar pustaka juga berfungsi sebagai pembeda antara naskah akademis dengan naskah non akademis. Daftar pustaka juga merupakan kewajiban insan akademis agar terhindar dari status plagiator.

G. Penutup

Kesimpulan

Pembuat kebijakan duduk sebagai aktor kebijakan karena status formalnya. Mereka sering pula disebut pembuat keputusan formal. Termasuk di sini adalah ketua lembaga, administrator departemen, hakim, jaksa, rektor perguruan tinggi, gubernur, bupati, pembuat Undang-Undang seperti DPR dan lain-lain.
Pembuat keputusan formal ini bekerja atas dasar prioritas yang mendesak, mereka bertanggung jawab atas proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Keluasan dan kekompleksan tugas yang diemban membuat mereka tidak mungkin lagi menjadi “penguasa tunggal” seperti diuraikan di atas. Untuk menentukan prioritas dari sekian banyak prioritas yang mungkin sama bobotnya itu, pembuat keputusan formal memerlukan bantuan partisipan atau aktor lain, seperti peneliti kebijakan.
Peneliti kebijakan akan menentukan prioritas yang harus dipilih oleh pembuat kebijakan tidak hanya dari sisi penting atau tidak, melainkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan, seperti cost benefit analysis, cost effectiveness, sumber daya, dampak negatif dan dampak positifnya.

DAFTAR BACAAN

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, (Bandung, Alfabeta, 2008)

Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung, Alfabeta, 2007)

James H.Mc Millan and Sally Schumacher, Research in Education, (United States; Long Man Inc. 2001)

Sudarwan Danim, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Jakarta, Bumi Aksara, 2005)

Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009)

http://ilmumetodepenelitian.blogspot.com/2009/11/penelitian-kebijakan.html, diakses tanggal: 18 Oktober 2010, pukul: 21.43 WIB
Selengkapnya...