tag:blogger.com,1999:blog-55172278478120317832024-03-28T06:53:34.107+07:00Sharing is Fun"...Berbincang-bincang yang baik lebih baik daripada berdiam, dan berdiam adalah lebih baik daripada berbicara(ngobrol) yang buruk."
(H.R. Al Hakim)Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.comBlogger139125tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-42077102427611344252015-01-28T20:07:00.000+07:002015-01-29T16:28:54.286+07:00Membuat Media Pembelajaran Bersama Siswa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgABfOFkK8hYdiU9AI_9RNs6NGpMmb7r8-GfRoTcIC9HuuEApzZEcG0v4PwaAePJr1D1u_Yf5f1wqZ8LS2QO_sighcXyfhbfONJPDZpRTLzyts7xazQKUHJxhNnh-pbQadcs7q1N7i2bSE/s1600/photo0086.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgABfOFkK8hYdiU9AI_9RNs6NGpMmb7r8-GfRoTcIC9HuuEApzZEcG0v4PwaAePJr1D1u_Yf5f1wqZ8LS2QO_sighcXyfhbfONJPDZpRTLzyts7xazQKUHJxhNnh-pbQadcs7q1N7i2bSE/s320/photo0086.jpg" /></a></div>
Tidak dapat dipungkiri media pembelajaran adalah salah satu elemen untuk menarik minat belajar siswa. Akan tetapi menggunakan media itu-itu saja membuat proses pembelajaran menjenuhkan juga. Maka kali ini saya mengajak siswa untuk membuat media sendiri. Lebih seru jika kita membuatnya bersama-sama siswa. Dalam hal ini berusaha mengintegrasikan mapel Seni Budaya dengan Bahasa Inggris.
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Media pembelajaran ini ditujukan untuk proses pembelajaran mata pelajaran Bahasa Inggris kelas VIII KD 7.1, yaitu Merespon makna yang terdapat dalam percakapan transaksional (to get things done) dan interpersonal (bersosialisasi) pendek sederhana secara akurat, lancar, dan berterima untuk ber- interaksi dengan lingkungan terdekat yang melibatkan tindak tutur: meminta, memberi, menolak jasa, meminta, memberi, menolak barang, dan meminta, memberi dan mengingkari informasi, meminta, memberi, dan menolak pendapat, dan menawarkan/menerima/menolak sesuatu. </span><br />
<span class="fullpost">Bahan-bahan yang diperlukan adalah: </span><br />
<span class="fullpost">- 1 lembar kertas jeruk (kertas buffalo), dalam hal ini yang digunakan kertas jeruk berwarna kuning (untuk buah jeruk dan warna hijau untuk daunnya)</span><br />
<span class="fullpost">- Lem secukupnya </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Alat-alat yang diperlukan: </span><br />
<span class="fullpost">- Pinsil </span><br />
<span class="fullpost">- Penggaris </span><br />
<span class="fullpost">- Gunting </span><br />
<span class="fullpost">- Spidol atau pulpen </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Cara membuat: </span><br />
<span class="fullpost">1. Potong kertas jeruk ukuran 2 x 34 cm, supaya potongan rapi gunakan pinsil dan penggaris untuk membuat garis bantu. Untuk 1 media (buah jeruk) menggunakan 4 potongan kertas.</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0jBiVfqFJlF7igJN2fX3RbRJ_KVDDKj0i19OpGvdefuzsffaevlvyxLj1r-jFs1JNwQS5alHqFlcfw3qLPU_sTixfXSUoiInJr9ieLUFS5R4NP_Xbmx2Al4hU0FZHaWvcLFG4Wfvp9Sk/s1600/photo0078.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0jBiVfqFJlF7igJN2fX3RbRJ_KVDDKj0i19OpGvdefuzsffaevlvyxLj1r-jFs1JNwQS5alHqFlcfw3qLPU_sTixfXSUoiInJr9ieLUFS5R4NP_Xbmx2Al4hU0FZHaWvcLFG4Wfvp9Sk/s320/photo0078.jpg" /></a></div>
<span class="fullpost">2. Tuliskan jenis salah satu ungkapan dan contohnya pada tiap-tiap potongan kertas. </span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv693y4i_Dxj-1n9X8SWWtZ9VMK5TLbyhnDlAlfnwoBnhY-OjQL8XC1nc29VSoqxlSVFRxkEa4CKuem1gl89TwEqpzaAolQqgsan_5gzZxmiw-r261wqmo-Bam1xzB8AjObx6m-iq4eLI/s1600/photo0081.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv693y4i_Dxj-1n9X8SWWtZ9VMK5TLbyhnDlAlfnwoBnhY-OjQL8XC1nc29VSoqxlSVFRxkEa4CKuem1gl89TwEqpzaAolQqgsan_5gzZxmiw-r261wqmo-Bam1xzB8AjObx6m-iq4eLI/s320/photo0081.jpg" /></a></div>
<span class="fullpost">3. Kemudian pertemukan setiap ujung kertas satu persatu sehingga membentuk bulatan. Ingat bagian kertas yang ada tulisannya di posisi luar. </span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu1W2k9szIx__tlZZl-WNIIrx3eVIOUNk0cfNKvYKKGuI2u99FVrNBmAlA98iBqf8HhNTQFchi85s_C_IjqWs3lpyWCptpNHqFcz12ZfrhMKwJf6doTYUIlm_gi_7sQs2A27Cz1jhBTl0/s1600/photo0087.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu1W2k9szIx__tlZZl-WNIIrx3eVIOUNk0cfNKvYKKGuI2u99FVrNBmAlA98iBqf8HhNTQFchi85s_C_IjqWs3lpyWCptpNHqFcz12ZfrhMKwJf6doTYUIlm_gi_7sQs2A27Cz1jhBTl0/s320/photo0087.jpg" /></a></div>
<span class="fullpost">4. Selanjutnya rapikan posisi kertas yang telah membentuk buah jeruk. Jika yakin sudah rapi, kelipkan (dengan hackter) bagian atas dan bawah. </span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2dN3XBoTKjPZJnSGpsnFRhAIbMJOgj-2vA6zL4XbKqxYIARDLZiEe8ANapfV430pEsmPnoBdM0VmdfRCYmAzNyIpxn1xbE-gm1KHD2DbXrkP97_8RvsrOoOfe4ei4f9lbNrEhNKfSpJU/s1600/photo0088.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2dN3XBoTKjPZJnSGpsnFRhAIbMJOgj-2vA6zL4XbKqxYIARDLZiEe8ANapfV430pEsmPnoBdM0VmdfRCYmAzNyIpxn1xbE-gm1KHD2DbXrkP97_8RvsrOoOfe4ei4f9lbNrEhNKfSpJU/s320/photo0088.jpg" /></a></div>
<span class="fullpost">5. Sematkan daun dan tangkai (dari kertas jeruk warna hijau) dengan menggunakan lem, untuk pemanis </span><br />
<span class="fullpost">6. Media pembelajaran siap digunakan </span><br />
<span class="fullpost">(Inspirasi media ini bersumber dari <a href="http://moffattgirls.blogspot.co.uk/2013/10/easy-i-am-thankful-pumpkin-craft.html?utm_content=buffer54e87&utm_medium=social&utm_source=facebook.com&utm_campaign=buffer">sini</a>.) </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dalam penggunaan media ini, siswa dapat saling tukaran buah jeruk. Mereka akan membolak balik buah jeruk untuk membaca dengan keras contoh-contoh ungkapan yang tersedia dan mengidentifikasi jenisnya. Saling tukaran buah jeruk akan memperkaya kosa kata mereka. Selain itu buah jeruk ini dapat dijadikan asesoris kelas atau kamar pribadi siswa. Sambil melihat asesoris yang dipajang mereka tetap bisa belajar. Semakin sering melihat ungkapan-ungkapan ini maka akan semakin ‘lengket’ dalam praktek speaking. </span><br />
<span class="fullpost">Ketika menyelesaikan proses membuat media ini, seorang siswa yang kesulitan membentuk buah jeruk dengan baik, berkata: “Miss gak ada jeruk yang sempurna, jadi kayak gini gak pa-pa ya”, kata nya sambil menunjukkan buah jeruknya yang peyot. Ha ha haaa. Selalu ada kegembiraan dalam berinteraksi dengan siswa yang beragam di dalam kelas.
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMUdCouhcbrfQj2e1SJcvMUoAovZ4732YosiFZUJLsLksNmQ6VXlWMHDzzjJgGQC6MS4Uwf7OzYOu6xXc3y8X6icELJdaonV4OU16PdhVY3ChJzT7wF8CWLbCivMV4jkVZrkkErsRC01M/s1600/photo0092.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMUdCouhcbrfQj2e1SJcvMUoAovZ4732YosiFZUJLsLksNmQ6VXlWMHDzzjJgGQC6MS4Uwf7OzYOu6xXc3y8X6icELJdaonV4OU16PdhVY3ChJzT7wF8CWLbCivMV4jkVZrkkErsRC01M/s320/photo0092.jpg" /></a></div>
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-39452570388177739292014-10-28T19:31:00.000+07:002014-10-28T20:00:02.980+07:00Sehari Setelah Hari Blogger Nasional<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvxWQgCTqmlrtrr2CbRomhkHk4arfPuQprVQBV0XOOYCQWyqhyphenhyphencF4NQr57cTG8nz8S5PD3r87sDJ9jJeDbc2vwRS4izP0DmDMxqD0QjMKkYnkVddAhu9rF_xsNz-jSR5mV_B4zzwdAYdo/s1600/blog+copy.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvxWQgCTqmlrtrr2CbRomhkHk4arfPuQprVQBV0XOOYCQWyqhyphenhyphencF4NQr57cTG8nz8S5PD3r87sDJ9jJeDbc2vwRS4izP0DmDMxqD0QjMKkYnkVddAhu9rF_xsNz-jSR5mV_B4zzwdAYdo/s200/blog+copy.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelumnya saya tidak mengetahui bahwa ada hari blogger nasional yaitu pada tanggal 27 Oktober, sampai seorang blogger senior panutan saya, Om Jay, alias Bapak <a href="http://wijayalabs.com/">Wijaya Kusumah</a> meng-<i>add</i> saya dalam sebuah komunitas yang bernama Ikatan Profesi Guru Indonesia. Komunitas ini berupa sebuah group di Facebook. Langsung saya buka-buka postingan di group tersebut. Mata saya terpaku pada salah satu postingan : “Selamat Hari Blogger Nasional”. Segera <i>googling</i> dengan keyword Hari Blogger Nasional. Eh…ternyata jatuh pada tanggal 27 Oktober kemarin. Sehari sebelum hari Sumpah Pemuda.</div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pun jadi ingat blog saya yang sudah berbulan-bulan ‘mati suri’. Tidak ada posting-an sejak Januari 2014. Tulisan saja tidak di-up-date, apalagi memodifikasi tampilan blog. Ah sungguh terlalu saya. Teringat masa-masa dulu, sering blog walking ke blog teman-teman maya saya. Apa kabar mereka semua ya?
<span class="fullpost"> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Lima tahun nge-blog, begitu banyak manfaat yang saya rasakan. Berteman dengan para blogger banyak mendapat ilmu gratisan. Ya, pada umumnya blogger-blogger yang saya kenal murah ilmu. Mereka selalu sharing info-info bermanfaat. Terkadang ditanya 1, jawabannya bisa 10. Jadi terkenang bagaimana dulu <a href="http://ahhi82.blogspot.com/">Asep Hidayat Hariri</a> mengenalkan saya dengan paypal. Anak muda satu ini dengan telaten mengajari saya daftar di paypal. Kami belajar via inbox di Facebook. He he he, konyol memang, tetapi berhasil. Maksudnya saya berhasil daftarnya. Tapi dasar saya yang ‘payah’, jadi lebih sering ditegur paypal untuk terus berkreasi dari pada rupiah yang masuk ke rekening saya. He he he </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Selain itu para blogger juga banyak yang murah hati. Tersentuh membaca tulisan kita, langsung berpartisipasi. Meskipun belum pernah bertemu secara langsung. Bahkan ketika kita butuh referensi untuk menyelesaikan sesuatu, dengan ringan tangan mereka mengirimkan referensi yang kita butuhkan. Semua diberikan secara gratis. (Ssst…yang ini saya segan menyebut namanya, khawatir orangnya keberatan di-publish. He he he) </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Tidak jarang juga sesama blogger saling memberi <i>support</i> yang luar biasa untuk tetap terus menulis. Seperti Bapak <a href="http://satriadharma.com/">Satria Darma</a>, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia. Setiap berulang tahun, beliau selalu mengirimkan buku kepada saya. Pada dasarnya beliau bukanlah blogger biasa. Beliau memang seorang penulis. Jika berulang tahun, beliau selalu mengumpulkan tulisan-tulisan di blog-nya untuk dijadikan buku. Inilah buku kumpulan tulisan-tulisan di blog-nya ataupun di websitenya yang pernah saya terima:
</span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="fullpost"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJ4LfyA5Z3KY5MZSsZUYCczipq1jgGSwGc2Dc3_zwbO_kY0Fmx9_aF1ljyPtCWQxQybsCquK_wZRzebgK1m_yCTfCVWQjfhuLmMkLSAQqQy4nkkczpbgndD0E4nMaehkt-gxpE3T0isYk/s1600/Image0606.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJ4LfyA5Z3KY5MZSsZUYCczipq1jgGSwGc2Dc3_zwbO_kY0Fmx9_aF1ljyPtCWQxQybsCquK_wZRzebgK1m_yCTfCVWQjfhuLmMkLSAQqQy4nkkczpbgndD0E4nMaehkt-gxpE3T0isYk/s320/Image0606.jpg" /></a></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">
Saya menyadari, Pak Satria Darma selalu mengirimkan saya buku-buku tersebut untuk ‘ngomporin’ saya agar terus menulis dan membukukan tulisan saya. Beliau selalu bilang: “<i>Jika ibu membukukan tulisan-tulisan ibu, kirimin saya juga ya</i>”. Sungguh support yang luar biasa. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Ada lagi seorang blogger yang juga penulis kondang, yang menghadiahkan buku. Semula saya memang memesan bukunya, karena tertarik dengan puisi-puisinya. Eh begitu buku diterima, ditanya biayanya, malah dijawab: “<i>Gak usah, itu hadiah buat Bu Ayu</i>”. Tak terlupa kebaikan Mas <a href="http://mustprast.wordpress.com/">Eko Prasetyo</a> ini. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Para blogger yang saya kenal cenderung <i>low profile</i>. Walaupun mereka sudah menjadi penulis kondang, tetapi masih berkenan berkunjung dan menyapa blogger kacangan seperti saya. Sebut saja nama-nama seperti Pak Wijaya Kusumah (pengen banget mengikuti pelatihan nge-blog bersama beliau, tetapi belum ada peluang), Pak <a href="http://akhmadsudrajat.wordpress.com/daftar-isi/">Akhmad Sudradjat</a>, Mbak <a href="http://mahkotalima.blogspot.com/">Dhitta Puti Sarasvati</a>, Bapak Satria Darma, dan masih banyak lagi. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Subhanalaah, semoga semua kebaikan-kebaikan ini menjadi amal jariyah bagi mereka. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="fullpost">Menulis memang selalu memberi energi baru, dan hari ini, sehari setelah hari blogger nasional, saya pun nge-blog lagi. Pengen blog walking lagi. Menyapa para blogger yang baik hati. </span><br />
<span class="fullpost">Salam Blogger. </span><br />
<span class="fullpost">Salam Semangat Sumpah Pemuda. </span><br />
<span class="fullpost">Semoga kita selalu menyebarkan virus kebaikan.
</span>
</div>
Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-59580093621269258742013-12-18T21:28:00.001+07:002013-12-18T21:28:34.687+07:00Pak Tarnedi yang Menginspirasi<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaumtwphNTzrYFiBP8TTz7eGSN8xILp1f7sIaeA_OwXYchVN2KC7F1ExK_hzqAjz_jToNobr48arSrTls4XCkRESelprIpx5fW7MGOAt-iLYjXOAVoX6EH5G8ZRqpfrB9ODe6z2Vookcc/s1600/153455_tarnedidengancatatan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="239" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgaumtwphNTzrYFiBP8TTz7eGSN8xILp1f7sIaeA_OwXYchVN2KC7F1ExK_hzqAjz_jToNobr48arSrTls4XCkRESelprIpx5fW7MGOAt-iLYjXOAVoX6EH5G8ZRqpfrB9ODe6z2Vookcc/s320/153455_tarnedidengancatatan.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pak Tarnedi dengan Catatan Bahasa Inggrisnya<br />(sumber poto: http.hot.detik.com)</td></tr>
</tbody></table>
Menonton acara Hitam Putih yang dipandu Deddy Corbuzier pada hari senin 16 Desember 2013 pukul 18.00 WIB, saya sangat terkesan dengan bintang tamunya. Namanya Pak Tarnedi, usianya 54 tahun. Profesinya adalah seorang supir taxi. Bukan profesinya yang membuat beliau menjadi ‘sesuatu’ banget. Melainkan sebagai seorang supir taxi di Jakarta beliau memiliki mental belajar yang luar biasa. Terutama belajar bahasa Inggris. Belajar bahasa Inggris memang biasa tapi akan jadi luar biasa jika itu dilakukan oleh seorang supir taxi yang buta huruf. Pak Tarnedi belajar secara otodidak.<br />
<span class="fullpost">“Saya belajar karena kebutuhan”. Demikian kata Pak Tarnedi. Kebutuhan yang dimaksud beliau adalah butuh ilmunya. Saya sangat terkesan dengan pernyataaannya ini. Belajar Karena Kebutuhan. Baginya dengan belajar bahasa Inggris akan mempermudah pekerjaannya. Menurut Pak Tarnedi jika ia dapat berbahasa Inggris maka dia akan dapat melayani penumpang taxi-nya (yang bule-bule itu) dengan baik. Benar-benar sebuah sikap bermental professional. Meningkatkan kualitas diri untuk memberikan layanan yang berkualitas pula. Mental belajar yang patut dicontoh oleh generasi yang masih duduk di bangku pendidikan dasar dan menengah, apalagi perguruan tinggi. Tentu saja patut ditiru juga oleh mereka-mereka yang mengaku profesioanal. </span><br />
<span class="fullpost">Karena semangat belajarnya yang tinggi, beliau selalu mendapat tips menakjubkan dari penumpang bule-nya. Bahkan ada yang member tips hingga Rp 500.000,- dengan pesan untuk membeli buku. Bagi Pak Tarnedi pesan ini adalah amanah. Lagi-lagi mental professional yang luar biasa. Sungguh ironi jika dibandingkan dengan banyak pejabat di luar sana yang mengabaikan amanah. </span><br />
<span class="fullpost">“Guru saya adalah semua orang Jakarta yang pernah menjadi penumpang di Taxi saya”. Demikian pengakuan Pak Tarnedi. Satu sikap <i>low profile </i>dan menghargai orang lain secara tulus. Menurut pengakuannya dia selalu mengajak penumpang taxinya untuk bicara dalam bahasa Inggris. Baginya “<i>We can’t speak English fluently if never practice”</i>. Saking ‘nafsu’-nya belajar bahasa Inggris, sampai terbawa ke dalam mimpi beliau. “Bapak suka ngelindur (mengigau). Jika sudah ngelindur bicaranya ngaco <i>pakek </i>bahasa Inggris”. Demikian kata putra Pak Tarnedi. Wow, bisa kebayang bagaimana semangat belajarnya. </span><br />
<span class="fullpost">Untuk mencapai sukses, terkadang seseorang perlu ‘gila’. Begitulah motivasi dari Deddy Corbuzier. Ya, kita memang perlu meng-‘gila’ untuk mengusir sifat malas dari diri kita. Pak Tarnedi sering dianggap ‘gila’ oleh orang-orang di sekitarnya. Karena kebiasaannya practice English itu. Bahkan anaknya sendiri sempat malu karena diejek teman-temannya sebagai anak Mister. Tetapi Pak Tarnedi mengabaikan semua ‘cobaan’ tersebut. Beliau maju terus pantang mundur. Hasilnya 2 tahun terakhir ini beliau sudah bisa tulis baca. <i>Amazing…! </i></span><br />
<span class="fullpost">Di saat sebagian orang belajar karena terpaksa atau karena gengsi, Pak Tarnedi justru belajar karena kebutuhan (butuh ilmunya). di saat sebagian orang belajar untuk mendapatkan selembar kertas yang disebut ijazah, Pak Tarnedi justru belajar untuk meningkatkan kualitas diri. Di saat sebagian orang meningkatkan kualitas diri untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, Pak Tarnedi justru meningkatkan kualitas diri untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Sungguh luar biasa…!
Kita memang perlu belajar mental belajar dari Pak Tarnedi. Walaupun beliau tidak tamat SD, belum pernah membaca buku filsafat pendidikan, tapi pola pikirnya sungguh terdidik.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-3095650103495831392013-11-12T20:45:00.000+07:002013-11-12T20:45:32.906+07:00Ketika Siswaku Membaca Adam Panjalu<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaFFJ7iYNPiB2CB3gKT9yH6jWWiVV8HHUBhlLqJLvag2PYi7QMeuh0-hAtmzve7b8b2tzECSSHMPNxqJpmUR1HKbq8ni6N3ExC8S7uOo_hRsWxo_r4JcGbLpfPx4RiCv98JJAWsQN_P00/s1600/Image0579.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaFFJ7iYNPiB2CB3gKT9yH6jWWiVV8HHUBhlLqJLvag2PYi7QMeuh0-hAtmzve7b8b2tzECSSHMPNxqJpmUR1HKbq8ni6N3ExC8S7uOo_hRsWxo_r4JcGbLpfPx4RiCv98JJAWsQN_P00/s320/Image0579.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Buku tulis yang di tangan mereka adalah buku catatanku ketika SMP</td></tr>
</tbody></table>
Berbagai aktifitas di kelas dan interaksi dengan siswa sering menjadi inspirasi untuk menulis. Sebagaimana cerpenku yang dimuat di <a href="http://pelawiselatan.blogspot.com/2013/04/adam-panjalu-antologi-cerpen-pertama-ku.html">Antologi Cerpen Adam Panjalu</a>. Cerpen ini based on true story. Lalu bagaimana reaksi siswa-siswaku, terutama yang nama-namanya tercantum dalam cerpen tersebut? Hmm, cukup seru teman. Mereka sama sekali tidak menduga peristiwa tersebut diangkat menjadi sebuah cerpen.
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Seperti biasa setiap selasa sore ada beberapa siswa kelas 9 yang belajar ke rumahku. Mereka tak ubahnya timba yang mencari sumur. Tak perduli apakah guru tersebut mengajar di kelas mereka atau tidak. Jika mereka merasa enjoy belajar dengan seorang guru, mereka pun rela meluangkan waktu dan biaya untuk bertemu dengan gurunya demi menimba ilmu. Beberapa di antara mereka merupakan siswa yang menjadi tokoh dalam cerpen Mulai Dari Diri Sendiri (salah satu cerpen dalam Antologi Cerpen Adam Panjalu). </span><br />
<span class="fullpost">Sebelum belajar kutunjukkan buku antologi tersebut pada mereka. Sebuah buku direbut beberapa anak, <i>untung</i> tidak koyak. Mulailah Sri yang menjadi salah satu tokoh dalam cerpen itu membaca dengan suara keras. Ia bermaksud membacakan cerpen untuk semua teman-temannya. Setiap bertemu paparan peristiwa atau dialog yang sesuai dengan kejadian sebenarnya serentak mereka berteriak: </span><br />
<span class="fullpost"> “Yaaaa, pas kali buk semuanya”. </span><br />
<span class="fullpost">“Wah payah ni <i>kalok</i> curhat sama Bu Ayu, bisa-bisa dijadikan novel”. Si centil Sri berkomentar. </span><br />
<span class="fullpost">“Bu semua cerita kami tentang guru-guru jangan dijadikan tulisan ya Bu”. Lanjutnya lagi tentu saja sambil cengengesan. He he heee </span><br />
<span class="fullpost">Hi hi hiiii, memang lucu lah mereka ini. Setiap datang untuk belajar selalu membuka dan menutup pelajaran dengan bercerita pengalaman mereka belajar di kelas 9. Tentu saja paling dominan cerita tentang guru-guru baru yang mengajar mereka di kelas 9. He he he. Oya, aku hanya mengajar mereka di kelas 7 dan 8. Jadi selama mereka di kelas 9 jarang bertemu, apalagi lokasi madrasah yang di dua tempat berbeda. Seolah-olah jika mereka berkunjung sekalian melepas kangen. </span><br />
<span class="fullpost">Ternyata seru juga menyaksikan langsung ketika tulisan kita dibaca oleh siswa-siswa kita. Apalagi jika tulisan itu tentang mereka. Karena kita akan menerima respon yang spontan, jujur dan apa adanya. Jauh dari nuansa jaim. Juga kita menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter di sini, yaitu karakter jujur. Bahwa apa yang kita sampaikan pada mereka, kita pun telah melakukannya.</span><br />
<span class="fullpost">Dengan momen ini, aku jadi terinspirasi untuk menuliskan berbagai pengalamanku berinteraksi dengan siswa-siswaku. Mereka semua memiliki keunikan masing-masing yang jika ku tuliskan satu persatu, ahaaaa…betul juga kata-kata si Sri; bisa jadi sebuah novel tuh.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-41734598291832572882013-05-02T22:33:00.000+07:002013-05-02T22:33:54.736+07:00Hardiknas 2013; HOPE<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4hQurD4JBRn7fnVfHEiLZrnvN0WDznBuxLdA1xcI8sun9dkJv2HxF5AAoVOg38kzVmdzfmr_S0Br3inupYpFub1UtbgITwf2riyCH_qb2jBV9P923ej0uFaoysYoCzuzBfV1QYN1PtSo/s1600/hardiknas2013.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="242" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4hQurD4JBRn7fnVfHEiLZrnvN0WDznBuxLdA1xcI8sun9dkJv2HxF5AAoVOg38kzVmdzfmr_S0Br3inupYpFub1UtbgITwf2riyCH_qb2jBV9P923ej0uFaoysYoCzuzBfV1QYN1PtSo/s400/hardiknas2013.jpg" width="400" /></a></div>
Tahun 2013 adalah tahun yang cukup fenomenal bagi dunia pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang tidak fokus pada akar permasalahan pendidikan semakin terpampang nyata. Mulai dari pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang ‘unik’. Kompetensi profesioanal dan kepribadian guru diuji melalui multiple choice. Agar terkesan ‘canggih’ dilaksanakan secara on line. Penyaluran dana BOS dan TPP yang mandeg. Pembubaran RSBI yang cenderung diskriminatif. Wacana Kurikulum 2013 dengan redaksi Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang membuat sebagian guru geleng kepala karena sungguh bermuatan ‘sense of humor’ yang ‘luar biasa’. Sebagai puncaknya adalah pelaksanaan Ujian Nasional (bahkan ada yang memplesetkannya menjadi Ujian Gagal Nasional) yang sungguh ‘menguras’ ‘energi’ semua pihak. Bukan hanya ranah pendidikan tetapi sudah menyentuh ranah politik. Sehingga Gubernur/walikota, bupati, camat apalagi Kepala Dinas turut ‘gegap gempita’. Ujian Nasional telah ‘berhasil’ membentuk mind set anak bangsa (bahkan sebahagian guru) bahwa sekolah adalah untuk menjawab sejumlah soal agar lulus UN, bukan untuk mengembangkan kreatifitas. Kreatifitas versi UN adalah mampu menghitamkan bulatan dengan rapi dan menentukan jawaban yang benar di antara a,b,c atau d.
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Salah satu tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia ini adalah untuk mencerdaskan bangsa. Jadi mikir kecerdasan yang bagaimanakah yang diinginkan dengan kebijakan-kebijakan ‘unik’ itu? Apakah hanya sebatas kecerdasan dalam menentukan a, b, c atau d sajakah? Sungguh kebijakan-kebijakan tersebut nggak nyambung. Lebih nggak nyambung lagi jika dihubungkan dengan tema Hardiknas tahun ini: Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan. Kualitas apa yang diharapkan dari penilaian yang hanya mengandalkan multiple choice. Akses Berkeadilan yang mana yang dapat diharapkan dari tidak meratanya pembanguan infra struktur pendidikan. Masih banyak siswa pendidikan dasar yang harus bertaruh nyawa hanya untuk tiba di sekolah. Belum lagi pelabelan sekolah regular, SSN, Unggulan dan lain sebagainya. Kemudian diskriminasi terhadap ilmu pengetahuan dengan mem-feto mata pelajaran B.Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan IPA sebagai exit exam di pendidikan dasar dan menengah.</span><br />
<span class="fullpost">Tulisan ini tidak bermaksud berkeluh kesah tentang semua keadaan itu. Segala keluh kesah tidak akan menyelesaikan permasalahan. Namun ‘kekuatan’ diri untuk merubah kebijakan-kebijakan ‘unik’ tersebut tidaklah memadai. Tapi jangan putus asa. Masih ada HOPE. Seperti kata Dahlan Iskan, dengan HOPE kita masih bisa bangkit.
Maka pada Hardiknas 2013 ini, HOPE yang bersemayam di lubuk hati terdalam adalah semoga: </span><span class="fullpost"> </span><br />
<ol>
<li><span class="fullpost">Ruh pendidikan Ki Hajar Dewantara dan KH Ahmad Dahlan bangkit kembali dalam reinkarnasi sosok Mendikbud yang benar-benar pernah mengajar di jenjang pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Agar ia benar-benar memahami apa permasalahan krusial di lapangan.</span></li>
<li><span class="fullpost">Pendidikan tidak lagi diintervensi oleh politik yang lebih mengutamakan prestise dari pada prestasi. Lebih mengutamakan angka-angka statistik yang tidak jelas kevalidannya. </span></li>
<li><span class="fullpost">Pendidikan tidak lagi mengkotak-kotakkan ilmu mana yang lebih penting. Karena apa pun ilmu yang dipelajari pada dasarnya bertujuan untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. </span></li>
<li><span class="fullpost">Pendidikan tidak lagi dibatasi oleh kompetensi-kompetensi tertentu yang dianggap penting oleh pihak-pihak tertentu. Biarkanlah anak mengembangkan kompetensinya sesuai dengan keunikan kecerdasan (multiple intelligence) yang dianugerahkan sang Maha Pencipta kepadanya. (Stop UN sebagai <i>exit exam</i>). Guru hanya memfasilitasi anak untuk menemukan kompetensi dirinya yang sesungguhnya agar ia dapat menjadi anak yang bermanfaat bagi sekelilingnya. </span></li>
<li><span class="fullpost">Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) lebih selektif dalam proses meng-create tenaga pendidik. Karena mereka lah yang menjadi ujung tombak pendidikan negeri ini, bukan kurikulum yang gonta-ganti dengan biaya yang aje gile. Apa pun kurikulumnya toh ujung tombak adalah guru. Bukan berarti kurikulum harus statis, hanya saja perubahan kurikulum memang benar-benar berorientasi pada penyelesaian masalah bukan hanya menambah masalah baru. </span></li>
</ol>
<span class="fullpost">Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Allah SWT selalu membimbing kita untuk lebih bijak dalam mendidik anak bangsa. Semoga juga kita selalu memiliki semangat belajar yang tinggi, belajar untuk menjadi pendidik yang benar-benar Ing madyo mangun karso, Ing ngarso sung tulodo, Tutwuri Handayani. Amin
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-89315372875009024602013-04-26T16:21:00.000+07:002013-05-28T19:45:04.462+07:00Adam Panjalu; Antologi Cerpen Pertama-ku<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbUKjidjho5L5nzsvp5RlYnoloJ3njeod7bXRK4foUrnpiRZmbquAA2N7aLBBf2ESM_dnD2bJds9aMWeqLH0ejr1Hf7ev2urAeUxYU0epMmXq6Ng0TRBCzq6YAAbgrWfOdy3yoqfKSpBc/s1600/Image0487.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjbUKjidjho5L5nzsvp5RlYnoloJ3njeod7bXRK4foUrnpiRZmbquAA2N7aLBBf2ESM_dnD2bJds9aMWeqLH0ejr1Hf7ev2urAeUxYU0epMmXq6Ng0TRBCzq6YAAbgrWfOdy3yoqfKSpBc/s320/Image0487.jpg" width="240" /></a>Adam Panjalu adalah antologi cerpen yang memuat karya-karya cerpen dari 20 guru se-Indonesia. Mulai dari penulis senior hingga yunior seperti saya. Dua puluh empat cerpen ini semuanya bernuansa pendidikan. Bahkan cerpen saya yang terdapat dalam buku ini (Mulai dari Diri Sendiri) <i>based on true story</i>. Terkadang kejadian-kejadian di kelas, interaksi dengan murid-murid selalu menimbulkan inspirasi untuk berbagi cerita kepada orang lain. Agar cerita itu dapat dinikmati oleh banyak orang maka diungapkan lewat tulisan.
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Mimpi tulisan diri dibaca oleh komunitas yang lebih luas dalam bentuk media cetak terwujud. Aiiih senangnya. Semua ini tidak lepas support dari Mas Eko Prasetyo dan Ibu Faradina. Dua penulis kondang yang selalu ‘menularkan’ virus menulisnya kepada guru-guru di Indonesia dalam komunitas Ikatan Guru Indonesia, yang salah satu kegiatannya adalah Gerakan Guru Menulis.</span><br />
<span class="fullpost">Salah seorang tokoh dunia literasi yang karyanya sering ku baca, yaitu Yudhistira Massardi berkomentar dalam antologi cerpen ini; “Jika para guru sudah mau dan bisa menulis, berarti para muridnya akan terdorong untuk lebih maju, sekurang-kurangnya memiliki gairah untuk membaca dan menulis; berarti sebentar lagi kita akan memiliki generasi baru intelektual-seperti para intelektual Indonesia yang lahir menjelang dan setelah Sumpah Pemuda 1928; berarti Bahasa Indonesia juga akan semakin terjaga. Karena, para guru yang menulis tentu akan menjaga kualitas bahasa dan idenya, dan memberikan contoh yang baik bagi para muridnya”. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Selain itu ada juga sambutan dari Bapak Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI yang kini bertugas sebagai dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul Korea. Inilah sambutan beliau; “Cerpen-cerpen dalam buku ini, merupakan wujud kesadaran akan pentingnya berkomunikasi dengan masyarakat yang lebih luas. Percayalah, cerpen-cerpen dalam buku ini adalah representasi spirit guru yang tidak terkungkung oleh ruang kelas dan tembok sekolah. Mereka, guru-guru ini hendak berbagi dan menggaungkan pesan moral. Itulah karakteristik guru-guru plus-plus. Guru-guru yang punya kualitas dan nilah tambah. Selamat”! </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Memang 24 cerpen yang termuat dalam antologi ini sarat dengan nilai-nilai Character Building. Untuk konsumsi sastra tentu tidaklah mengecewakan. Sangat layak dibaca oleh siapa saja yang peduli dengan dunia pendidikan dan tentu saja mencintai sastra. Semoga Adam Panjalu bukan buku pertama dan terakhir bagi saya. Ini anak tangga pertama, dan bersiap-siap untuk menapak di anak tangga berikutnya. Bismillaah.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-21072742473815094832013-02-22T21:20:00.001+07:002013-02-22T21:20:15.750+07:00Guru Merokok di Lingkungan SekolahMerokok tidak baik bagi kesehatan. Anak kecil juga tahu hal ini. Maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formil cenderung memiliki peraturan yang nyaris seragam; siswa dilarang merokok. Baik di luar sekolah maupun di dalam lingkungan sekolah, apalagi jika sambil mengenakan seragam sekolah . Akan tetapi bagaimana jika yang melakukan merokok di lingkungan sekolah adalah guru? Apakah berlaku peraturan yang sama? Adakah sekolah yang telah menerapkan peraturan khusus bagi guru yang perokok?
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Di sebuah sekolah saya pernah menyaksikan tiga orang siswa dihukum gurunya dengan memaksa mereka harus menghisap rokok tiga atau empat batang sekaligus karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah pada jam belajar. Sebuah pemandangan yang sangat tidak nyaman. Setidaknya bagi saya. Mengapa? Karena saya tahu betul guru yang menghukum siswa tersebut juga perokok. Bahkan sering merokok di lingkungan sekolah. Terkadang juga menyuruh siswa membelikan rokok untuknya. <i>Oh my God</i>…! </span><br />
<span class="fullpost">Melarang siswa merokok sementara guru masih ‘gentayangan’ merokok di lingkungan sekolah (atau pun di luar lingkungan sekolah) adalah sesuatu yang sia-sia. Alangkah indahnya jika peraturan merokok ini juga berlaku bagi guru. Jika perlu guru yang sudah kecanduan merokok sharing ke siswa, bagaimana perasaannya mengalami ketergantungan dengan rokok. Atau guru yang mempunyai pengalaman berhasil membebaskan diri dari kecanduan merokok sharing tips-tipsnya ke siswa. Dengan begitu siswa akan menyadari bahaya merokok dari orang yang langsung telah menjadi ‘korban’ (apa iya sih bisa disebut korban?)</span><br />
<span class="fullpost">Selain itu pengelola sekolah juga harus <i>balance</i> dalam menerapkan peraturan. Khususnya dalam hal merokok. Jika siswa dilarang merokok di lingkungan sekolah maka guru juga. Jika siswa dilarang merokok di luar lingkungan sekolah, maka guru juga. Terkadang yang membuat miris ada (oknum) guru yang berpoto-ria dalam pose sambil merokok di lingkungan sekolah ataupun di luar lingkungan sekolah lalu poto tersebut di-<i>share</i> di jejaring sosial. Sungguh <i>th…e…r…l…a…l…u…!</i> </span><br />
<span class="fullpost">Menyikapi masalah merokok tidak ada metode paling tepat kecuali metode keteladanan.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-28987801488110481632013-01-31T21:31:00.002+07:002013-02-07T15:56:39.448+07:00Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan Bershalawat dan Zikir Bersama<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6avVoInD1PWtXawpWqXLgD7svxNnK0jQJYfVnDICzfu6OT9OFQG6OGzRwRafdRODCA_yXkWC2OyaK9WtQWQ5TCiSZNQCJ5CCdsELozqHL_oPKVdKlkMSahVIvRJXwq7beH_1yR_SNdTk/s1600/Image0406.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6avVoInD1PWtXawpWqXLgD7svxNnK0jQJYfVnDICzfu6OT9OFQG6OGzRwRafdRODCA_yXkWC2OyaK9WtQWQ5TCiSZNQCJ5CCdsELozqHL_oPKVdKlkMSahVIvRJXwq7beH_1yR_SNdTk/s320/Image0406.jpg" width="320" /></a></div>
Kamis, 31 Januari 2013 bertepatan dengan 19 Rabi’ul Awal 1434 H Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Alwashliyah Pangkalan Berandan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan melakukan acara shalawat dan zikir bersama di Mesjid Nurul Huda Jalan Sukamulia (Gotong Royong) Pangkalan Brandan. Kegiatan di mulai pukul 8.30 dan berakhir pukul 12.10 WIB. Dalam pelaksanaan kegiatan shalawat dan zikir ini bekerja sama dengan Majlis Zikir Al Firdaus Pangkalan Berandan.
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="fullpost"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn_c2buAWyl8HCEr-BxbqFBfFYTeTrB3tQmz0yjOUPKFNEijq0iXp0-QlqEbfRyd4ertMEQPI7cIpzErhBpByBlcK5X88QyZE7N46FewA1yiwCEgLjNzvTRj01HOOhmj76ihbqxH9IvKA/s1600/Image0409.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn_c2buAWyl8HCEr-BxbqFBfFYTeTrB3tQmz0yjOUPKFNEijq0iXp0-QlqEbfRyd4ertMEQPI7cIpzErhBpByBlcK5X88QyZE7N46FewA1yiwCEgLjNzvTRj01HOOhmj76ihbqxH9IvKA/s200/Image0409.jpg" width="200" /></a></span></div>
<span class="fullpost">
Sebagaimana biasa acara diawali dengan pembacaan ayat suci Alqur’an dan bimbingan serta arahan dari Kepala MTs.S Alwashliyah Pangkalan Berandan. Selanjutnya ceramah pandangan umum tentang Maulid Nabi Muhammad SAW dengan mengangkat tema Rasulullah Muhammas SAW sebagai contoh suri tauladan dan idola yang nyata. Kemudian dirangkaikan dengan dengan shalawat dan zikir bersama. </span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="fullpost"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5x2VomSUGp7Hsorytln8dCvFqhCUDVRXnswAC8V_q8nSm4equjqmd4T_aLfpEJl1_rQ0la-LNNbwryAteMSPI8k2yVySHCMfQe1PDMf47WISUFZIbmoO22rSRkit32EXImRQ6BE0bdiI/s1600/Image0410.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5x2VomSUGp7Hsorytln8dCvFqhCUDVRXnswAC8V_q8nSm4equjqmd4T_aLfpEJl1_rQ0la-LNNbwryAteMSPI8k2yVySHCMfQe1PDMf47WISUFZIbmoO22rSRkit32EXImRQ6BE0bdiI/s200/Image0410.jpg" width="200" /></a></span></div>
<span class="fullpost">
Sebelum memasuki segmen shalawat dan zikir, salah seorang dari tim Majlis Zikir Al Firdaus memotivasi siswa-siswa untuk berbakti kepada orang tua dengan menampilkan visualisasi bagaimana janin di dalam kandungan ibu hingga genap 9 bulan dilahirkan. Juga bagaimana susahnya orang tua baik ayah maupun ibu dalam membesarkan dan membimbing anak-anaknya. Pada segmen ini pesan tersampaikan dengan baik. Pemandangan kekhusukan siswa begitu memasuki segmen doa-doa mohon pengampunan atas semua kesalahan yang telah dilakukan pada orang tua dan guru diiringi isakan tangis. Isak tangis siswa dan juga guru beradu. Dengan opening yang seperti ini maka begitu memasuki segmen shalawat dan zikir kekhusukan semakin nyata terasa. </span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="fullpost"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN5EQOFmeFYZ1v7hViGp19msV2lgBDfhbP1q6DGqUFiPq2WnctAsPEFq-M6HJhfXfkdIYKG2WfEHRq5P8IoDTTmkqJRjqdjb7mwjcJffhAlVDkKv67WGmynWy4ZCbTfXvxtfLApmbssD4/s1600/IMG_20130131_114410.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN5EQOFmeFYZ1v7hViGp19msV2lgBDfhbP1q6DGqUFiPq2WnctAsPEFq-M6HJhfXfkdIYKG2WfEHRq5P8IoDTTmkqJRjqdjb7mwjcJffhAlVDkKv67WGmynWy4ZCbTfXvxtfLApmbssD4/s320/IMG_20130131_114410.jpg" width="320" /></a></span></div>
<span class="fullpost">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggd19mQJuSH-pVnr7Aaxe1slffQpzNDTDkFvW8HrFtDj3HcCqW2T8hzKjcu1OWtFOYUJ21r5kcctrBt2Kd0F0xE4yAc_G0XfsOBztQJZPxHB5s-EcZy6fZD3fMw62tg4s4_ESqEcovxNw/s1600/IMG_20130131_114744.jpg" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="240" width="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggd19mQJuSH-pVnr7Aaxe1slffQpzNDTDkFvW8HrFtDj3HcCqW2T8hzKjcu1OWtFOYUJ21r5kcctrBt2Kd0F0xE4yAc_G0XfsOBztQJZPxHB5s-EcZy6fZD3fMw62tg4s4_ESqEcovxNw/s320/IMG_20130131_114744.jpg" /></a></div>
Selesai bershalawat dan zikir bersama, dilanjutkan dengan pengumuman pemenang perlombaan Azan, MTQ dan pidato dari siswa-siswi Tsanawiyah. Kegiatan perlombaan dilaksanakan dua hari sebelum hari H, tepatnya pada tanggal 29 Januari 2013. Kegembiraan siswa jelas tergambar ketika mereka menerima bingkisan. Bahkan siswa yang belum berhasil menjadi juara juga bergembira karena mereka menerima hadiah hiburan. Semoga kegiatan ini mendapat berkah dari Allah SWT dan menambah kecintaan kepada Rasulullah Muhammad SAW dengan menteladani akhlakul karimah-nya. Amin
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-64902374339543250292013-01-26T22:14:00.001+07:002013-01-26T22:18:31.841+07:00Madrasah ModelSekolah atau Madrasah di Negara kita memang kaya akan label. Ada sekolah berlabel reguler, SSN, RSBI (upss yang ini baru saja dibubarkan sesuai fatwa MK) ada juga SBI. Padahal apa salahnya membuat sekolah/madrasah bermutu tanpa dibarengi label-label ‘unik’ seperti itu. Demikian juga dengan madrasah. Salah satu label pada madrasah adalah Model. Sayangnya terkadang guru (bahkan Kepala sekolah-nya) tidak memahami ada apa di balik label-label tersebut.<br />
<span class="fullpost">
Istilah Madrasah Model muncul seiring hadirnya SK Ditjen Binbaga No. E IV/PP.066/17-A/98. Madrasah Model ini digagas sebagai bentuk madrasah percontohan dari berbagai madrasah yang telah ada sebagai program peningkatan kualitas madrasah. </span><br />
<span class="fullpost">Madrasah Model mempunyai karakteristik yang tentunya agak berbeda dengan Madrasah Terpadu.
Tujuan Madrasah Model adalah: </span><br />
<ol>
<li><span class="fullpost"> Sebagai pusat percontohan bagi madrasah di sekelilingnya dalam bidang kurikulum, mutu kelembagaan, proses dan output pembelajaran yang optimal. </span></li>
<li><span class="fullpost">Sebagai pusat kegiatan belajar mengajar atau pusat sumber belajar yang inovatif, sarana prasarana pendidikan yang lengkap dan memadai, serta memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, Islami, dan populis, yang dapat memberikan kesempatan bagi madrasah lain untuk memanfaatkan fasilitas yang tersedia bagi peningkatan mutu madrasah di lingkungannya, yang tergabung dalam kelompok kerja madrasah. </span></li>
<li><span class="fullpost">Sebagai pusat pemberdayaan yang menumbuhkan sikap mandiri bagi madrasah dan masyarakat di lingkungannya sehingga memiliki sumber daya, dana, dan prasarana yang setara dengan madrasah dan lingkungan masyarakat lain. <br /><br />Secara garis besar, struktur program dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pada MI Model, MTs Model dan MA Model tidak jauh berbeda dengan madrasah lainnya. Hanya saja pada beberapa segi terdapat perbedaan tingkat urgensi program. <br />Pada pokoknya, ada tiga hal utama yang menjadi program Madrasah Model: </span><ul>
<li><span class="fullpost">Menjadi pusat sumber belajar bersama. Melalui program ini, Madrasah Model menyelenggarakan berbagai kegiatan, di antaranya meningkatkan kualitas professional guru, program peningkatan kualitas pendidikan formal bagi guru-guru yang berpendidikan di bawah standar, pelatihan bagi pengelola madrasah, serta program pelayanan bagi masyarakat. </span></li>
<li><span class="fullpost">Sebagai pusat pelatihan bagi madrasah sekitarnya. Dengan demikian, dengan berbagai kelengkapan fasilitasnya, seperti laboratorium fisika, kimia, bahasa, computer, dan sebagainya, selain digunakan untuk kegiatan madrasahnya sendiri, berbagai fasilitas tersebut dapat juga dimanfaatkan oleh madrasah lainnya.</span></li>
<li><span class="fullpost">Menjadikan madrasah model sebagai agen pencerahan bagi madrasah lain di sekitarnya. Dengan keberadaan madrasah model melalui berbagai programnya diharapkan dapat menjadi inspirasi dan memacu semangat madrasah di sekelilingnya untuk terus meningkatkan kualitas pendidikannya. <br /><br />Jika kita mencermati sekeliling, adakah Madrasah yang berlabel Model, baik itu untuk tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah ataupun Aliyah yang telah mengaplikasikan konsep-konsep tersebut? (PR untuk yang membaca artikel ini. Xi xi xiiiiii…!) <br /><br />Referensi: <br />1. Farhatin Ladia, Madrasah Model Meraih Prestasi Mendongkrak Citra, Jakarta: Bagian Proyek EMIS perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001. <br />2. Ahmad Ali Riyadi, Politik Pendidikan; Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2006
</span></li>
</ul>
</li>
</ol>
Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-87814909904716291242013-01-24T21:40:00.000+07:002013-01-25T15:00:26.463+07:00Demi UN Peran Guru Digusur Bingbel<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjM28AWYBzQ8BKjbpnCOdz7tdUZHyCrpvqVXhevPHDN8uIwsD78uGRfneCmBBcNQwzeN31mKCZ-W6iIhC_tTCvixesh4fxZJHxVjRiV79QhVk-EKAOf8uut38mxCDVs3sJVWdyvuljfkvw/s1600/UN+2013.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="194" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjM28AWYBzQ8BKjbpnCOdz7tdUZHyCrpvqVXhevPHDN8uIwsD78uGRfneCmBBcNQwzeN31mKCZ-W6iIhC_tTCvixesh4fxZJHxVjRiV79QhVk-EKAOf8uut38mxCDVs3sJVWdyvuljfkvw/s400/UN+2013.jpg" width="259" /></a></div>
Siang itu saya sedang menunggu seorang teman di ruang tunggu sebuah sekolah negeri di kota Medan (sederajat SLTA). Tidak berapa lama menunggu muncul seorang wanita muda berjilbab. Saya tersenyum menyapanya. Lalu dia juga duduk di ruang tunggu. Kami pun segera terlibat dalam obrolan ringan. Iseng saya bertanya apa tujuannya ke sekolah tersebut. Katanya akan memberi les tambahan. Ternyata dia juga sedang menunggu. Hanya saja jika saya menunggu teman selesai tugas, wanita muda tersebut menunggu waktu. Ya, ia menunggu waktu untuk memberikan les tambahan kepada siswa kelas XII sebagai persiapan UN. Yang menarik perhatian saya, wanita muda tersebut ternyata bukan guru di sekolah itu, melainkan utusan dari sebuah bingbel yang cukup dikenal di kota Medan dan sekitarnya. Hmm…’seru’ nih. Jika siswa mengikuti bingbel setelah pulang sekolah di lokasi bingbel tersebut mungkin hal biasa. Tetapi jika tutor-tutor bingbel dihadirkan ke sekolah menggantikan guru, aiiiih sungguh peran guru telah digusur bingbel di lingkungan sekolahnya sendiri. Ada apakah dibalik kebijakan ini?
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Penasaran saya bertanya kepada guru di sekolah tersebut tentang kebijakan ini. Jawaban yang saya dapatkan sungguh membuat diri ini terkejut.
“Kami melakukan kerjasama dengan bingbel untuk persiapan siswa kelas XII dalam menghadapi UN. Untuk siswa regular tutornya dari bingbel X (risih jika menyebut nama bingbel-nya. He he heee), sedangkan untuk siswa unggulan tutornya dari bingbel Y”.
Demikian jawaban yang saya dapatkan dari guru tersebut. </span><br />
<span class="fullpost">Duhai, bingbel Y memang dikenal lebih bonafid dari pada bingbel X. Duh, kastanisasi pendidikan terjadi lagi. ‘Kerjasama’; betapa menariknya kata-kata ini. Lalu bagaimana peran guru dalam mempersiapkan siswanya menghadapi UN? Mengapa bukan gurunya sendiri yang memberikan les tambahan di sore hari jika memang itu diperlukan? Bukankah guru lebih mengenal karakteristik siswanya jika dibandingkan tutor-tutor dari bingbel tersebut? Mereka lebih memahami plus minus siswanya. Sehingga lebih memahami juga bagaimana cara me-recover-nya. Seorang guru kampung seperti saya rada sulit memahami konsep ‘kerjasama’ seperti ini. Apalagi ini dilakukan oleh sekolah berlabel NEGERI. Duuhh…miris euy…!! </span><br />
<span class="fullpost">Fenomena ini menunjukkan betapa UN telah menimbulkan pola pikir praktis yang sangat jauh dari falsafah belajar. Apalagi falsafah pendidikan. Siswa dengan keletihan yang sarat beban terus digiring untuk menjawab soal-soal yang terkadang dia sendiri tidak tahu apa manfaatnya bagi kehidupannya sehari-hari. UN juga telah menimbulkan pemikiran-pemikiran ‘kreatif’ yang lebih mendekati nilai-nilai ekonomi dari pada nilai-nilai pendidikan. Mulai dari pemerintah yang telah menganggarkan biaya UN dengan jumlah mencapai miliar-an (konon tahun 2013 anggaran UN mencapai 600M. Fantastis…! Apakah karena UN 2013 dengan 20 paket? Entahlah…!!) sampai munculnya kebijakan-kebijakan ‘unik’ yang sarat dengan jual beli jasa seperti ini. Selagi UN masih dijadikan exit exam, kondisi-kondisi seperti ini sulit diprediksi kapan terhenti.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-48591632420404157812013-01-20T21:27:00.000+07:002013-01-20T21:27:54.800+07:00Tak Serapuh Rumah Kartu<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-jGjYviHRBHWzv4MVkSFEd7suVVnjJxI-mffLlkkvpe8pRYUglJfdjeTtSGij9vlocycgZiDl8awjBOrlR0metvXpWjDJ54Oir7jMtpxHns9g7d-j6c0THS0ALVxdQB79_i9JBGJkbT0/s1600/cover-rumah-kartu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="299" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh-jGjYviHRBHWzv4MVkSFEd7suVVnjJxI-mffLlkkvpe8pRYUglJfdjeTtSGij9vlocycgZiDl8awjBOrlR0metvXpWjDJ54Oir7jMtpxHns9g7d-j6c0THS0ALVxdQB79_i9JBGJkbT0/s320/cover-rumah-kartu.jpg" width="211" /></a>Rumah Kartu; terkesan kokoh namun rapuh. Sekali sentuh, rawan runtuh. Demikianlah image Rumah Kartu. Akan tetapi tidak demikian dengan kumpulan puisi-puisi Eko Prasetio dalam Rumah Kartu. Rumah Kartu merupakan kumpulan puisi yang didominasi oleh puisi-puisi minimalis dari segi kosa kata, namun sarat makna. Membaca Rumah Kartu seperti terhipnotis. Enggan berhenti di satu puisi. Ingin terus membaca berikutnya dan berikutnya lagi. Jika pun harus tertunda, ada hasrat yang tak ingin lari, untuk melanjutkan lagi.
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost"></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<span class="fullpost">Baru kali ini saya membaca buku puisi dengan perasaan campur aduk. Kadang senyum sendiri, kadang jidat berkerut, tetapi juga kadang termehek-mehek. Pemilihan kosa kata yang terangkum dalam kalimat menjalin bait-bait yang tidak begitu panjang, terkesan minimalis. Tetapi makna di baliknya sungguh sarat, hingga menggetarkan hati. Membuat puisi-puisi ini sungguh ‘bernyawa’. Mengungkapkan kecintaan pada Sang Khalik, Kecintaan pada sang Istri yang selalu disebutnya Jeng Ratih-ku Sayang, juga Kecintaannya pada sesama dengan kritik-kritik sosialnya. </span></div>
<br />
<br />
<span class="fullpost">Mahabah adalah salah satu puisi yang mengungkapkan kecintaan pada Sang Khalik. </span><br />
<br />
<i><span class="fullpost">dekap tarikan nafasku setiap saat </span></i><br />
<i><span class="fullpost">buat aku faham akan artimu di kehidupanku </span></i><br />
<i><span class="fullpost">agar aku tak mudah menyakitimu </span></i><br />
<i><br /></i>
<i><span class="fullpost">bersihkan jiwa ini dari lumuran kedengkian </span></i><br />
<i><span class="fullpost">buat aku faham akan pentingnya kesabaran </span></i><br />
<i><span class="fullpost">agar aku tak mudah menyombongkan diri </span></i><br />
<i><br /></i>
<i><span class="fullpost">perdengarkan padaku ayat-ayat Tuhan </span></i><br />
<i><span class="fullpost">buat aku faham akan indahnya kerinduan </span></i><br />
<i><span class="fullpost">agar aku tak pernah lupa siapa pemilik ruhku </span></i><br />
<i><br /></i>
<i><span class="fullpost">bilamana kau datang untukku </span></i><br />
<i><span class="fullpost">janjikan kedamaian yang takkan berpudar </span></i><br />
<i><span class="fullpost">untukku dan Dia </span></i><br />
<i><span class="fullpost">agar bisa kujemput kebahagiaan </span></i><br />
<i><span class="fullpost">sampai akhir kelak. </span></i><br />
<br />
<span class="fullpost">(Mahabah, h. 2)</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Selain Mahabah, masih ada beberapa puisi lagi yang mengungkapkan kecintaan pada Sang Khalik. Seperti Sujud dan Rindu Makkah. Pemilihan kosa kata yang cerdas mampu menghanyutkan hati dan tanpa sadar membuat mata basah. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Sementara itu ungkapan cinta untuk Istri terkasih ditunjukkan begitu jelas dan mendominasi isi buku ini. Barisan-barisan puisi yang selalu diawali dengan pernyataan Jeng Ratih-ku sayang. Sungguh kado ulang tahun yang sangat manis untuk Istri tercinta. Yang membuat gemas hati, ungkapan cinta itu dinyatakan dalam bait kata yang begitu minimalis; </span><br />
<br />
<i><span class="fullpost">:Jeng Ratih-ku sayang </span></i><br />
<i><br /></i>
<i><span class="fullpost">kuhimpun pelepah kata yang terbuang </span></i><br />
<i><span class="fullpost">kubersihkan sebagiannya </span></i><br />
<i><span class="fullpost">kutata kembali hingga membentuk apa yang biasa kau sebut
rindu </span></i><br />
<br />
<span class="fullpost">(Serenade, h. 34) </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Sungguh menggemaskan. Hati wanita tentu ‘penasaran’ dengan ‘pelit’-nya kosa kata ini. He he heee. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Begitu juga kepedulian seorang Eko Prasetio terhadap kehidupan sosial. Simak saja barisan-barisan puisi berikut ini: </span><br />
<br />
<i><span class="fullpost">dan perdu, pohon-pohon liar, rawa-rawa bisu memasang wajah masam </span></i><br />
<i><span class="fullpost">menatap bocah-bocah dari lorong waktu yang tak lagi betah tinggal di sudut kota </span></i><br />
<i><span class="fullpost">sebab, tanah lapang kini semakin sulit dicari </span></i><br />
<br />
<span class="fullpost">(Pledoi Senja, h. 3) </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Naluri humor nan cerdas Eko Prasetio jelas terlihat dalam puisi kritik sosial berikut ini: </span><br />
<br />
<i><span class="fullpost">aku kejar kau sebelum jarum panjangmu di angka 12 </span></i><br />
<i><span class="fullpost">kau tertawa terkekeh mengejek penuh kemenangan </span></i><br />
<i><span class="fullpost">jelang sepuluh menit aku harus bersabar di antrean
panjang malam jahanam </span></i><br />
<i><span class="fullpost">jelang lima menit aku mulai ragu </span></i><br />
<i><span class="fullpost">saat tiba giliranku </span></i><br />
<i><span class="fullpost">harga bensin sudah enam ribu </span></i><br />
<br />
<span class="fullpost">(00.00, 24 Mei 2008, h. 11) </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Eko Prasetyo selalu mencantumkan tanggal penulisan puisi-puisinya. Seolah-oleh mengajak pembaca untuk mencermati jejak langkahnya. Jejak perjalanan batinnya. Jejak pemikirannya. Hingga jejak perasaannya. Semua terangkum menjadi satu. Berbagai ‘rasa’ ada di sini. Sungguh buku kumpulan puisi yang memiliki karakter tersendiri.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-69609828071033046802012-12-13T19:59:00.000+07:002012-12-13T19:59:51.280+07:00Membaca Adalah Langkah Awal Sebuah Penelitian<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPajFGCcz5Wf4h4atY_7Lb3G1vzpTeq82H4C0C5zFicdpY3WWMYwJxKUlUkhko0r9zycLJs3w3_-L0KwhdEznYEMlJb-NyuHE3Ds7VFTPW0EbbP3sJuVqcviS5jZptgeA_q3Pnr4uBHTU/s1600/baca+di+genteng.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="93" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPajFGCcz5Wf4h4atY_7Lb3G1vzpTeq82H4C0C5zFicdpY3WWMYwJxKUlUkhko0r9zycLJs3w3_-L0KwhdEznYEMlJb-NyuHE3Ds7VFTPW0EbbP3sJuVqcviS5jZptgeA_q3Pnr4uBHTU/s400/baca+di+genteng.jpg" width="124" /></a></div>
Skripsi, Tesis dan Disertasi adalah tugas akhir yang harus diselesaikan seorang mahasiswa dalam proses pendidikannya di Perguruan Tinggi. Tugas ini merupakan puncak ‘uji nyali’ alias akan menunjukkan karakter kita yang sesungguhnya. Setangguh apa diri kita dalam menghadapi berbagai masalah. Karena dalam proses penyelesaian tugas akhir yang berupa penelitian ini seluruh kompetensi akan terkuras. Pisik maupun psikis. Moril maupun materil. Sehingga tidak jarang banyak pihak yang semula mengaku sebagai penakluk akhirnya bertekuk lutut karena ditaklukkan oleh keadaan (baca: memilih jalur pragmatis).<br />
<span class="fullpost">
Beberapa mahasiswa yang pernah saya jumpai, baik itu mahasiswa S1, S2 atau S3, cenderung merasa kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhir mereka. Pada umumnya kendala mereka dalam dua hal, yaitu menentukan judul dan referensi. Ada yang judulnya telah disetujui tetapi bingung mencari referensi. (Problem seperti ini yang sering curhat ke saya). Keadaan ini menunjukkan betapa rendahnya perhatian mahasiswa terhadap permasalahan di sekitarnya (identifikasi masalah) dan rendahnya minat membaca mahasiswa (walaupun tidak semuanya). </span><br />
<span class="fullpost"> Dua problem di atas tidak akan terjadi apabila sejak awal kuliah mahasiswa telah jeli dalam mengidentifikasi permasalahan di sekitarnya yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang digelutinya. Judul akan didapat setelah melakukan identifikasi masalah. Begitu identifikasi masalah telah ditemukan maka hunting referensi pun bisa dimulai. Jika ini telah dilakukan sejak masa-masa awal kuliah, tentu aliran ide tak dapat dibendung lagi. Selain itu kondisi ini sangat erat hubungannya dengan minat membaca mahasiswa. Membaca merupakan langkah awal menulis. Karena untuk dapat menulis bisa dimulai dari membaca. Ketertarikan menulis akan muncul ketika selesai membaca. Ingin menuangkan bagaimana apresiasi terhadap apa yang baru saja dibaca.</span><br />
<span class="fullpost">Ketika naluri membaca sudah merasuk di jiwa, maka membeli buku bukanlah suatu masalah. Terkadang apa pun rela dikorbankan agar dapat membeli buku yang diidam-idamkan. Jika buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang ingin kita teliti sudah di tangan, maka tidak ada lagi kendala referensi. Tidak perlu lagi stress mencari-cari referensi ketika judul disetujui. Karena sungguh konyol mengajukan judul yang referensinya tidak dimiliki satu pun. Apalagi referensinya termasuk yang sulit dicari. Sudah selayaknya seorang mahasiswa memiliki koleksi buku sendiri. Jika referensi yang tersedia belum mencukupi, paling tidak persiapan telah ada. Dengan mengacu kepada berbagai konsep yang telah dikumpulkan maka draft penelitianpun dapat segera dirancang, dan strategi riset ke lapangan pun dapat direalisasikan. </span><br />
<span class="fullpost">Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi tips bagi mahasiswa-mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir. Memang harus disadari membangun budaya membaca setelah menjadi mahasiswa repot juga, tetapi bukan berarti terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-38609128101193130012012-05-30T11:05:00.000+07:002012-05-30T11:05:09.116+07:00Menumbuhkan Hasrat Belajar Siswa<div style="text-align: center;">
<b>Oleh: Iwan Pranoto ; Guru Besar Institut Teknologi Bandung <span style="font-size: x-small;"></span></b></div>
<div style="text-align: center;">
<b>SUMBER : MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2012 </b></div>
<br />
SUNGGUH mengejutkan pernyataan beberapa pejabat tinggi Kemendikbud yang berisi pengakuan penggunaan ujian nasional (UN) dalam memaksa siswa belajar. Yang terakhir, berita `Kemendikbud Berkukuh Lanjutkan UN', Media Indonesia, 19 Mei 2012, yang menuliskan argumen, `Tanpa ada UN mereka (siswa) akan santai saja'. Senada dengan itu, dalam sebuah berita online di sebuah portal disampaikan sebuah pernyataan, “Percayalah, kalau tidak diberi ujian, yakin saya sekolah itu tidak akan menerapkan proses belajar.“<br />
<br />
Jika disampaikan orang awam, kalimat itu mungkin wajar. Namun jika keluar dari pejabat tinggi di kementerian yang bertanggung jawab dalam kebijakan pendidikan di tingkat nasional, pernyataan itu sungguh mengejutkan sekaligus menyedihkan. Secara implisit, pernyataanpernyataan tersebut membenarkan bahwa petinggi Kemendikbud mendukung upaya memaksa anak belajar dengan cara ditakuti `tak lulus'. Secara implisit pula itu mengakui bahwa dirinya gagal menumbuhkan sikap sukacita belajar pada siswa.<br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Hasrat Belajar</b> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dari sudut teori belajar, pernyataan tersebut sangat bertentangan dengan prinsip belajar, yang mensyaratkan kondisi emosi siswa yang tak cemas sebagai prasyarat terjadinya proses belajar yang efektif. Selain itu, memaksa siswa belajar memanfaatkan ancaman kegagalan lulus UN itu juga melahirkan pertanyaan yang lebih mendasar, “Apa jaminannya siswa kita nanti 20 tahun dari sekarang tetap mau belajar pada saat sudah tidak ada kita dan tidak ada ancaman tak lulus UN?” Kalau siswa belajar hanya saat ini, tetapi tidak belajar lagi selepas sekolah, lalu apa gunanya sekolah? Pendidikan yang baik tidak hanya membuat siswa belajar sekarang saja, tetapi justru menjamin bahwa siswa tetap berhasrat belajar di kemudian hari. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Tanda sekolah dan guru yang berhasil ialah saat siswa telah lulus dan telah tidak ada yang mengharuskan mereka belajar, tetapi mereka tetap berhasrat dan cakap belajar hal-hal baru. Si bijak akan belajar pada saat tak perlu, tetapi si pandir akan belajar saat terpaksa. Tentu pendidikan yang diangan-angankan dalam Pembukaan UUD ‘45 kita adalah yang pertama, bukan belajar karena terpaksa. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Secara umum, tugas guru ialah membelajarkan tiga hal: pengetahuan, skill, sikap. Yang paling penting ialah sikap. Salah satu sikap utama yang ditumbuhkan pendidik ialah suka belajar. Apa gunanya menguasai pengetahuan dari ribuan buku jika tak punya gairah atau hasrat belajar? Ilmu pengetahuan di dunia industri berkembang terlalu cepat untuk dikejar institusi pendidikan. Oleh karena itu, pendidik masa sekarang justru perlu menyiapkan lulusannya untuk siap belajar hal-hal baru. Sikap suka belajar justru menjadi sangat vital dalam karakter siswa zaman sekarang. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Pendidikan telah menyadari hal tersebut. Dalam teori belajar modern seperti teori otak yang didasari ilmu saraf, motivasi intrinsik untuk belajar menjadi syarat mutlak agar belajar efektif. Hanya dengan memiliki motivasi intrinsik atau hasrat belajar dari diri sendiri seorang siswa dapat belajar efektif. Sebaliknya, pemaksaan apalagi kecemasan tidak mampu membuat anak belajar efektif. Hasrat belajar itulah yang kami--guru--tumbuhkan di murid kami melalui kegiatan sehari-hari. </span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Ancaman</b> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Argumen bahwa UN dapat memaksa siswa belajar itu memang betul, tak ada yang dapat membantahnya. Akan tetapi, hal tersebut sangat berbahaya bagi ka berbahaya bagi karakter siswa kita terhadap budaya belajar. Tanpa kesukaan dan hasrat belajar, anakanak kita tak mungkin akan punya inisiatif serta kemampuan belajar untuk mengembangkan dirinya di kemudian hari. Padahal, kecakapan dan hasrat belajarlah satu satunya bekal yang dapat disiapkan bagi anak cucu kita untuk berlaga di masa depan yang penuh ketakpastian. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Pendidik yang baik tidak akan menakuti siswa menggunakan kecemasan tak lulus ujian sebagai motivasi agar siswanya belajar. Pelatih atau pengajar keterampilan-keterampilan teknis sederhana mungkin memang menggunakan ancaman untuk memaksa anak latihnya supaya berlatih. Itu efektif untuk segala bentuk keterampilan yang membutuhkan low order of thinking (LOT) semata atau berpikir tingkat rendah. Namun, pendidikan bukan pelatihan. Guru pendidik tidak berfungsi menciptakan atlet, tetapi justru menyadarkan siswanya untuk menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat, manusia yang cakap dan suka belajar selama hidupnya. Oleh karena itu, pada masa sekarang guru bertugas mengajak anak didiknya untuk merasakan nikmatnya belajar. Kenikmatan harus dirasakan siswa saat belajar setiap saat, bukan saat kelulusan saja.</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Ketakutan tak lulus UN yang menimbulkan kecemasan pada anak memang merupakan senjata pamungkas ampuh untuk memaksa siswa belajar, tetapi belajar seperti apa? Jika didasari kecemasan atau ketakutan, siswa akan learning for the test (menghafal), bukan learning for understanding (belajar untuk memahami). Akibatnya jika menggunakan kecemasan sebagai alat pemaksa siswa belajar, kita tentunya tidak dapat berharap anak-anak kita akan berpikir tingkat tinggi atau high order of thinking (HOT). </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Di samping akan mendorong LOT bukan HOT, kecemasan sebagai pemaksa siswa belajar sangat berbahaya. Pengambil kebijakan pendidikan di Republik ini dan semua pendidik perlu ingat bahwa jumlah pengidap math anxiety, atau siswa yang cemas terhadap matematika, di Indonesia adalah salah satu yang paling tinggi di dunia. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Menurut beberapa riset tentang math anxiety, penggunaan ancaman dalam pembelajaran merupakan sebabnya. Jika itu rupakan salah satu penyebabnya. Jika itu berkelanjutan, pengidap math anxiety akan menjadi math phobia yang akan sangat sulit diobati. Malah menurut Prof Daniel Mohammad Rosyid, jika keadaan itu diteruskan akan menjadi thinking disorder, atau ketidakberesan berpikir. Hal itu sangat serius. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Secara biologis, dalam kondisi tertekan atau cemas, bagian utama otak yang domi nan adalah batang otak. Itu merupakan bagian otak yang menangani survival, cari selamat. Otak tersebut akan berupaya total untuk menyelamatkan diri. Fokusnya satu, yakni selamat. Akibatnya fokusnya juga hanya pada berpikir tingkat sangat rendah, tak akan berpikir tingkat tinggi. Pertimbangan moral dan integritas pun akan dinomorduakan pada saat kita terancam dan pada saat menghadapi situasi hidup-mati. Memang untuk melatih binatang di sirkus digunakan ancaman pakai pecut dan sangat berhasil. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kuda, macan, gajah, dsb patuh mempertontonkan keterampilan yang diminta pelatih di sirkus. Inikah yang ingin kita terapkan ke anak-anak kita? Ancaman berbeda dengan tantangan. Itu harus dibedakan. Pembelajaran yang dibutuhkan sekarang ialah yang menyampaikan ilmu baru atau cara baru, memberikan tantangan yang sesuai dengan jenjang kecakapan anak, dan dukungan. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Lalu, apakah kita tak boleh mengancam sedikit pun agar siswa belajar? Idealnya tidak. Namun jika dilakukan dalam waktu yang pendek, serta tidak melibatkan vonis ‘mati-hidup’ atau ‘lulus-tidak’, itu masih diperbolehkan. Selain sangat berbahaya bagi karakter siswa, ancaman itu melanggar kenyataan bahwa belajar merupakan kegiatan intelektual di taraf mental. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Jika, katakanlah, kita memaksa anak belajar dan memang berhasil membuat mereka duduk membaca buku, lalu yakinkah kita bahwa mereka sungguh-sungguh belajar? Apakah semua anak sudah punya hasrat belajar sekarang? Sayangnya tidak. Jika ya, tugas guru akan sangat mudah. Namun, walau tak punya hasrat belajar secara alami, anak punya rasa keingintahuan. Itu tertanam atau built in di benaknya. Guru yang baik akan memanfaatkan keingintahuan siswa tersebut untuk memicu hasrat belajarnya. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Idealisme Pendidik </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Tentunya tugas guru dalam menyadarkan siswa agar menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat bukan tugas mudah. Bila saat ini di masyarakat berkembang perilaku belajar karena terpaksa dan menunggu diancam, itu benar.
Namun, pendidikan dan terutama Kemendikbud sepatutnya menggagas keadaan yang seharusnya terjadi, bukan menguatkan perilaku buruk yang sedang terjadi. Pendidikan yang diamanatkan melalui UUD'45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seharusnya menggagas keadaan ideal yang diimpikan seharusnya terjadi, yakni anak-anak kita berhasrat belajar. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Sangat menyedihkan jika pendidik yang sadar akan sebuah perilaku buruk yang sedang terjadi di masyarakat justru mengalah dan membenarkan kemudian melembagakan perilaku buruk itu. Pendidik di mana pun yakin tentang harapan kehidupan yang lebih baik di hari esok. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Pendidikan merupakan sebuah rekayasa sosial berdasarkan idealisme dan dengan kepercayaan total pada harapan. Guru secara filosofis seharusnya yakin pada harapan kebaikan. Guru itu seperti petani sinting yang tetap menanam benih walaupun sudah diberi tahu bahwa ada peluang 90% akan terjadi banjir. Kami - guru - percaya terhadap harapan keberhasilan 10%.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-37828489834062895882012-05-26T20:37:00.001+07:002012-05-26T20:37:29.635+07:00'Topeng'<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYM6HYWVArdYdCZa2gN51hRzzIWxbqJYrD34JGPlN0pLqX_qPk3uX5qpxoeiiuEA6DOgXXFovvfKIwyax6zzsdZtGLEXLYMN2jChYLjsn9ryfXDGloWbUmyAIGlBTDQanQCzTsCeqBS1s/s1600/topeng1.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="131" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYM6HYWVArdYdCZa2gN51hRzzIWxbqJYrD34JGPlN0pLqX_qPk3uX5qpxoeiiuEA6DOgXXFovvfKIwyax6zzsdZtGLEXLYMN2jChYLjsn9ryfXDGloWbUmyAIGlBTDQanQCzTsCeqBS1s/s400/topeng1.jpg" width="198" /></a></div>
<div style="background-color: #f3f3f3; color: blue;">
<b><i>“Lucu kali lah Bapak itu. Waktu tampil nari disurunya buka jilbab. Eh pas tampil baca puisi disurunya pakek lagi jilbabnya. Nampak kali ‘topeng’-nya kan. Apa maksudnya tu kayak gitu”</i></b><span style="background-color: blue;"></span>.</div>
<br />
Kata-kata di atas meluncur dengan lancar dan dengan logat Medan yang kental. Diucapkan oleh seorang remaja putrid berjilbab yang mengenakan seragam salah satu SMP Negeri di kota Medan. Kelihatannya siswi tersebut bersama teman-temannya baru pulang dari sekolah. Mereka menumpang angkot yang sama dengan saya.<br />
<br />
Mungkin bagi orang lain, kata-kata tersebut biasa saja. Tetapi tidak bagi saya yang cukup terperanjat dengan istilah TOPENG tersebut. Apalagi ketika ia mengucapkan itu rona kekesalan jelas terpancar di wajahnya. Mungkin yang disebutnya ‘Bapak’ itu adalah Bapak Gurunya. Karena pembicaraan mereka topiknya adalah kegiatan di sekolahnya. Apalagi kalimat itu diucapkan oleh seorang pelajar SMP yang berjilbab. Saya terpana…!<br />
<br />
<span class="fullpost">
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span class="fullpost"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMD5qZKD_6LOKAP5er00hhQhsmh5Fm6jH-Le1CMB81CM_jiSBL4rttAXl2AclLSXzqe0pmglKVeygZB7lhjqOFMU0xzkScBdyRxMoUI-Y1fY1KS7e80h_luCfz4gIko-Ig00kldtv1BMk/s1600/topeng2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="157" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMD5qZKD_6LOKAP5er00hhQhsmh5Fm6jH-Le1CMB81CM_jiSBL4rttAXl2AclLSXzqe0pmglKVeygZB7lhjqOFMU0xzkScBdyRxMoUI-Y1fY1KS7e80h_luCfz4gIko-Ig00kldtv1BMk/s400/topeng2.jpg" width="124" /></a></span></div>
<span class="fullpost">
Kata topeng dapat dianalogikan sebagai sebuah kepura-puraan, tidak konsisten ataupun tidak punya komitmen. Karakter yang semestinya kita campakkan jauh-jauh bukan hanya dari diri kita, tetapi juga dari diri anak didik (anak-anak) kita. Namun apa jadinya jika justru mereka merasa kita lah yang menanamkan karakter tak terpuji itu. Bukankah kita telah ‘melukai’ sanubari mereka? </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Terkadang tanpa sengaja kita menunjukkan prilaku kepada anak-anak yang bertentangan dengan konsep-konsep yang kita ajarkan. Kita sering lupa bahwa pendidikan tidak hanya sebatas kegiatan belajar mengajar di dalam kelas pada jam-jam belajar atau di sekitar lingkungan sekolah. Namun pendidikan mencakup seluruh gerak bahkan helaan nafas kita. Semua itu akan dirangkum oleh anak didik (anak-anak) kita. Kealpaan seperti ini tidak jarang membuat anak bingung, sehingga jangan heran jika sekarang bertaburan generasi galau. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Pertemuan tak disengaja dengan siswi-siswi berjilbab di atas angkot siang ini membuat saya introspeksi diri. Jangan-jangan saya juga pernah memberikan pola pendidikan ‘topeng’ kepada anak didik saya. Astaghfirullah. Ah, tidak ada pertemuan yang sia-sia. Begitu juga pertemuan dengan serombongan siswi SMP berjilbab siang ini. Sepanjang perjalanan bersama mereka saya asyik menyimak pembicaraan mereka tentang kegiatan sekolahnya plus dengan segala protesnya. Sungguh alam adalah sekolah yang maha luas terbentang, yang tidak akan cukup waktu untuk mempelajarinya, meskipun sepanjang hayat.
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-20582917185725026352012-05-02T09:45:00.002+07:002012-05-26T20:21:43.524+07:00Bangkitnya Generasi Emas (Yang Mana...?)<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoIxfxgwLyRyL_yQyJDhc7Hb9lhcGv17BZ5MAfMXYdmx0FuZxVL8Yc9EX4YZkgzPERctdSauCEnq4-ZOeHRG6eHHnBQT43wO9PkGKREaE9RhY4nxp1IWh3cS5xV36YsUM_bY7Cjwvp85k/s1600/hardiknas.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="131" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoIxfxgwLyRyL_yQyJDhc7Hb9lhcGv17BZ5MAfMXYdmx0FuZxVL8Yc9EX4YZkgzPERctdSauCEnq4-ZOeHRG6eHHnBQT43wO9PkGKREaE9RhY4nxp1IWh3cS5xV36YsUM_bY7Cjwvp85k/s320/hardiknas.jpg" width="197" /></a>
<b><i style="color: blue;">“Tema Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 ini adalah Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro, yang pada hari ini kita peringati hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.”</i></b><br />
Demikian penggalan sambutan Mendikbud pada hari pendidikan nasional 2 Mei 2012 di bagian awal. Generasi Emas, sebuah istilah yang ‘menakjubkan’. Saking menakjubkannya, nalarku tak mampu mencerna maksud ungkapan Generasi Emas itu. Generasi yang manakah itu? Apalagi merelevansikannya dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri, sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia.<br />
Kemudian dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu sistem pengajaran dan pendidikan yang harus bersinergi satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Mencermati sistem pendidikan kita hingga detik ini adakah yang telah ‘bersinggungan’ dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara seperti diuraikan di atas? Gonjang-ganjing UN yang tiada akhir. Pembangkangan dan arogansi pengambil kebijakan yang tetap mempertahankan Ujian Nasional sebagai exit exam, meskipun ‘cacat’ hukum, karena telah ‘kalah telak’ di Mahkamah Agung maupun di Pengadilan Negeri Jakarta. Maka sungguh tepat jika Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia menyatakan bahwa UN adalah <b><a href="http://satriadharma.com/2012/04/24/ujian-nasional-illegal-testing/">illegal testing</a></b>. Antara kebijakan pendidikan dengan kebijakan politik. Belum lagi hadirnya kastanisasi pendidikan seperti sekolah regular, Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan sebagainya. Sebuah kebijakan yang mengantarkan tunas bangsa pada gerbang kapitalisasi pendidikan. Andaikan Ki Hajar Dewantara masih hidup, mungkin ia akan ‘mencak-mencak’ dengan semua fenomena ini. </span><br />
<br />
<div style="color: blue;">
<span class="fullpost"><b><i>“Kita semua harus bersyukur bahwa pada periode tahun 2010 sampai 2035, bangsa kita dikarunai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut dapat kita kelola dan manfaatkan dengan baik, populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa tersebut insya Allah akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) yang sangat berharga".</i></b> </span></div>
<div style="color: blue;">
<br /></div>
<div style="color: blue;">
<span class="fullpost"><b><i>Di sinilah peran strategis pembangunan bidang pendidikan untuk mewujudkan hal itu menjadi sangat penting. Akan tetapi, sebaliknya, bukan mustahil kesempatan emas tersebut menjadi bencana demografi (demographic disaster) bila kita tidak dapat mengelolanya dengan baik. Sudah tentu hal ini tidak kita inginkan.”</i></b> </span></div>
<br />
<span class="fullpost">Begitulah isi pidato Mendikbud pada bagian inti. Demographic dividen, aha…sungguh menarik istilah ini. Bonus demografi ini jugakah yang telah melatarbelakangi munculnya angka-angka 600 milyar untuk gawean UN tahun 2012 ini? Atau juga melatarbelakangi kebijakan melegalkan menyedot uang rakyat untuk promo RSBI atau SBI yang hanya bisa dinikmati segelintir anak bangsa Indonesia? Ah, entahlah. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Lalu demographic disaster yang tidak diinginkan itu, namun mengapa telah ‘dirintis’ dari sekarang? Berapa banyak tunas bangsa yang memiliki talenta unik telah menjadi ‘korban’ UN? Berapa banyak tunas bangsa tidak bisa menikmati ‘indahnya’ fasilitas RSBI hanya karena orang tuanya terpuruk dalam kemiskinan, sementara jatah mereka hanya 20%. Pendidikan masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar anak bangsa. Baik pendidikan dasar, menengah apalagi pendidikan tinggi. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Duh, bukan maksud hati mencari-cari sisi negatif dan menafikan yang positif. Tetapi berawal dari pernyataan “…Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro”, telah membuat diriku membongkar ‘harta karun’ berupa wejangan dari Ki Hajar Dewantara dan berusaha menemukan relevansinya dengan fenomena yang ada saat ini. Hasilnya…mentok! Lalu kebangkitan generasi emas itu? Generasi emas manakah yang dituju? Apakah generasi yang lulus UN dengan nilai abrakadabra dan kompetensi olalaaaaa? </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Ah, sudahlah. Aku tak perduli dengan UN. Aku hanya perduli menemukan solusi bagaimana cara agar siswa betah di sekolah dan menjalani aktifitas dengan rasa ingin tahu dan menemukan kegembiraan dalam belajar. Menanamkan rasa betapa asyiknya belajar. Belajar untuk menyalurkan aspirasi dan memanusiakan diri, bukan semata-mata demi UN. Memang gampang menemukan cara ini? Hmmm…hidup seribu tahun lagi belum tentu ku temukan cara yang pasti. Hi hi hi…</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita dapat menempatkan diri sebagai solusi bukan sebagai sumber masalah. Semoga juga yang Maha Kuasa menjaga hati kita untuk tetap istiqomah mencerdaskan anak bangsa demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat, bukan demi lulus UN…!</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-59315021505277914852012-04-02T20:26:00.000+07:002012-05-26T20:20:34.973+07:00"Buk, Tolong Dirajia HP Anak Saya"<i>“Buk, Saya minta tolong dirajia HP anak saya. Di sekolah tidak boleh membawa HP. Tolong ya Buk”. </i><br />
<br />
Pesan ini saya terima via SMS dari seorang wali murid. Ya, lagi-lagi saya menerima <i>request</i> seperti ini dari wali murid. Ada yang melalui SMS, ada juga yang langsung disampaikan kepada saya. Ada juga wali murid yang curhat betapa sulitnya minta tolong pada anaknya untuk membantu pekerjaan rumah jika mereka sudah memegang HP. Bahkan ada yang mengeluh, ke WC pun membawa HP. Oh My God…!!
<span class="fullpost"> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Khusus pesan di atas, terkadang rada kesal juga membacanya karena seolah-olah sekolah ‘meridhoi’ siswanya membawa HP. Lagian kenapa tidak dirajia sendiri anaknya sebelum berangkat ke sekolah ya? Terus yang membelikan HP untuk anaknya siapa? Memangnya guru? Aiiihh...! </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kondisi ini menunjukkan betapa orang tua sudah tidak mampu menghadapi masalah kesenjangan teknologi, khususnya Handphone. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">HP atau handphone memang fenomena yang unik. Di satu sisi ia adalah bahagian dari teknologi informasi yang harus kita perkenalkan kepada anak, tetapi di sisi lain jika kita tidak mampu mengenalkannya dengan bijak justru dapat berbalik menjadi bumerang yang akan mencelakakan anak. Begitulah teknologi, bagaikan belati bermata ganda. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Jika kita mau merenungkan, ada pembelajaran dari kasus ini. Pada dasarnya anak selalu meniru tingkah orang dewasa. Jadi ketika kita merasa ada yang salah pada prilaku anak kita dalam menggunakan handphone, bisa jadi itu karena dia meniru prilaku kita. Misalnya kita menggunakan handphone untuk hal-hal yang tidak penting, maka anak pun akan menganggap seperti itulah penggunaannya. Apalagi saat ini banyak juga orang tua yang waktunya habis hanya karena ber-BB-ria hanya untuk <i>just say hello</i> pada teman lama dan <i>posting</i> foto-foto bernuansa narsis plus <i>up</i> <i>date</i> status yang…ups..kadang nyaris tidak berbeda dengan status ABG. Galau mode on. He he he. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Melarang anak menggunakan HP tanpa alasan yang jelas juga bukanlah solusi. Semakin dilarang tentu semakin meradang. Kita juga tidak mungkin menjauhkan mereka dari perkembangan IT.
Jadi salah satu kewajiban kita adalah mengajarkan kepada anak bagaimana semestinya menggunakan HP yang sehat. Bukan hanya HP barangkali, tetapi juga perangkat IT lainnya beserta segala fasilitasnya. Kemudian jangan mau kalah <i>up date</i> informasi sehat dengan mereka tentunya. Akan tetapi yang paling penting sebelum membelikan HP untuk anak, perlu adanya komitmen. Ini penting, paling tidak untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada mereka. Jika HP diberikan tanpa komitmen, siap-siaplah mengalami berbagai kekesalan karena prilaku mereka yang sudah tidak terkendali lagi dalam ber-HP-ria. Maka jika dikaji-kaji, sumber masalah dan sumber solusi ada di kita juga kan?
</span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-45451925633801161452012-02-09T20:56:00.001+07:002012-02-12T15:36:50.517+07:00For the Love of Reading and Writing by Satria Darma<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmARnoorknA0v3C257X9YGLsNxCcQDuJ1IMdCWSjfoQTm-N8zSH46klvXU8GOeGrwuhcQ8Ogz2WRrQNG4VgkMOiywOFHkjOFZj2ypL86PGmKlMxqJ_AEp-hp2cY3X1TmmrQtRFKibZiS8/s1600/Image0027.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmARnoorknA0v3C257X9YGLsNxCcQDuJ1IMdCWSjfoQTm-N8zSH46klvXU8GOeGrwuhcQ8Ogz2WRrQNG4VgkMOiywOFHkjOFZj2ypL86PGmKlMxqJ_AEp-hp2cY3X1TmmrQtRFKibZiS8/s320/Image0027.jpg" width="240" /></a></div>
<div style="background: #ffff; font-size: 120%; text-align: justify;">
<i>For the Love of Reading and Writing</i>. Demikian judul buku yang ditulis oleh Bapak <a href="http://satriadharma.com/">Satria Darma</a>. Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia. Sebuah judul yang menyanjung pembacanya. Lebih tersanjung lagi karena buku ini khusus dicetak Pak Satria pada peringatan Hari Ulang Tahunnya yang ke-52. Tidak diperjual belikan. Jika lazimnya seseorang yang berulang tahun menerima kado, maka hal ini justru tidak berlaku pada Pak Satria. Ia yang berulang tahun, dirinya juga yang membagi-bagi kado kepada beberapa kerabat dan sahabat yang dikenalnya. Salah satunya adalah saya. Aih sungguh saya merasa seperti mendapat durian runtuh.
<span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost">Memiliki catatan kehidupan adalah sesuatu yang menakjubkan dalam hidup. Tidak semua orang mampu menulis momen-momen kehidupannya seunik yang dilakukan Pak Satria. Buku ini telah menunjukkan betapa beliau seorang penulis yang begitu cermat menangkap jejak pembelajaran dalam kehidupannya. Mulai dari kenangannya akan pola pendidikan orang tuanya hingga <i>special moment with his children.</i> Misalnya saja ketika anaknya sunat, perdebatan dengan putranya dan peristiwa-peristiwa manis dalam keluarga. Pak Satria telah merangkai event-event tersebut menjadi jalinan yang manis dan sarat pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa Pak Satria adalah pembelajar kehidupan sejati. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">
Membaca buku ini, membuat saya lebih mengenal Bapak <a href="http://satriadharma.wordpress.com/">Satria Darma</a>. Setidaknya mengenal pemikiran dan gagasannya. Terutama gagasan yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Jika dewasa ini banyak orang terobsesi untuk menjadi PNS, beliau justru meninggalkan status ini hanya demi memerdekakan hatinya. Tidak jadi PNS, saya tetap bisa menjadi guru yang baik. Begitu katanya (halaman 41). Mental yang sangat langka di era hedonisme saat ini. I love it…! </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Sebagai seorang pendidik sejati yang menentang diskriminatif, kritik tajamnya tentang RSBI sering membuat saya tercengang. Membuka cakrawala berpikir saya. Begitu juga respon beliau terhadap pelaksanaan kebijakan UN. Masih banyak lagi pemikiran beliau tentang pendidikan tertuang di buku ini. Dengan jumlah halaman yang cukup fantastis, nyaris 500 halaman (481 halaman), buku ini mampu menghipnotis saya untuk terus menelusuri halaman demi halaman. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">
Pemikiran beliau tentang fenomena dinamika beragama juga menunjukkan bahwa beliau adalah seorang <i>religiou</i>s modern. Buku ini telah mengisaratkan bahwa Pak Satria merupakan seorang muslim yang mampu mengaplikasikan makna Iqra’ yang termaktub dalam surat al-Alaq. Namun pemikirannya yang begitu ‘merdeka’, terkadang bisa membuat orang menafsirkan bahwa beliau seorang liberal. Tapi bukan Pak Satria namanya jika dia tidak mampu mengajukan argument kritis terhadap sesuatu yang dikomentarinya. Beliau memang seorang pendebat ulung yang pernah saya kenal melalui tulisan-tulisannya. Baik di media cetak, media elektronik maupun milist. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Semua tulisan yang terangkum dalam buku ini adalah dari tulisan-tulisan Pak Satria di beberapa blog-nya. Intinya beliau ingin memotivasi semua orang (terutama para pendidik/guru) bahwa menulis itu mudah. Bisa dimulai dari catatan-catatan pribadi atau pemikiran-pemikiran pribadi akan kejadian di sekitar kita. Apa yang dilakukan Pak Satria salah satu bentuk <i>self education</i> sebagaimana yang selalu dilakukan Rasulullah Muhammad SAW. Pak Satria sebelum memotivasi guru-guru untuk menulis, ia telah memberi contoh terlebih dahulu.
Masih saya ingat ketika saya mengirimkan email sebagai ucapan terimakasih atas kado di hari ulang tahunnya, beliau membalas email saya seperti ini:
<i> </i></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><i>“Saya berharap Bu Ayuk bisa menulis bukunya juga suatu saat dan saya dikirimi juga sebagai balasnya. Amin!”</i> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">
Amin Ya Robb </span><br />
<br />
<span class="fullpost">
Duh, Pak Satria tahu saja obsesi saya. Insya Allah Pak, suatu hari nanti jika mimpi ini terwujud maka Bapak adalah salah satu target yang dikirimkan buku tersebut. Hmmm…kira-kira terwujud ketika ulang tahun ke berapa ya..? ha ha ha… Semoga..<i>one day…I hope my dream come true</i>…! </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Terimakasih Pak Satria untuk perhatian dan <i>support</i> selama ini. Semoga Bapak dikaruniakan Allah usia yang barokah dan semakin bermanfaat bagi umat. Khususnya bagi dunia pendidikan negeri tercinta, Indonesia.
</span><br />
<div>
</div>
</div>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-32226334833589605082011-07-26T20:32:00.002+07:002011-07-26T20:43:38.317+07:00Konsep Pendidikan Ala James Marcus Bach<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwIFf-TSxE4HpD6F7r0wufW0Z0SSdmdFWqqKG9wcHcHbpmwHKO6dGpat-fInmjsMFlToprnD2zsoFwQ5moUd1XXmOzSOD-oNm99f_tGjwyqPK4ZpZgaheCNTNxt20v6WildyOMCKVyPFc/s1600/Tinggalkan+sekolah.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 204px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwIFf-TSxE4HpD6F7r0wufW0Z0SSdmdFWqqKG9wcHcHbpmwHKO6dGpat-fInmjsMFlToprnD2zsoFwQ5moUd1XXmOzSOD-oNm99f_tGjwyqPK4ZpZgaheCNTNxt20v6WildyOMCKVyPFc/s320/Tinggalkan+sekolah.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5633656018145985906" /></a><br /><div style="background:#fffff; text-align:justify; font-size:120%"> <br />James Marcus Bach adalah seorang manajer di Apple Computer, pembicara dan pengajar di bidang pengujian perangkat lunak di sejumlah laboratorium dan universitas top di berbagai Negara. Sebagai seseorang yang pernah mengambil keputusan ‘bijak’ drop out dari SMA, reputasinya itu tentu mencengangkan, setidaknya bagi orang-orang yang begitu mengagungkan selembar kertas yang disebut ijazah. Dalam bukunya yang diberi judul cukup ‘nakal’ yaitu Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat; Belajar Cerdas Mandiri dan Meraih Sukses dengan Metode Bajak Laut, James Marcus Bach mengungkapkan banyak hal yang berhubungan dengan pendidikan, walaupun menurut beliau ‘Buku Ini Bukan Tentang Sekolah’. Salah satu yang diungkapkannya adalah konsep tentang pendidikan.<br /><span class="fullpost"><br />Pendidikan bukanlah setumpuk fakta. Bukan pula jam-jam yang kita habiskan di ruang-ruang kelas, atau bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian. Pendidikan bukan indoktrinasi, atau memuja para leluhur, atau patuh pada wewenang, bukan juga mempercayai begitu saja kata-kata siapa pun tentang apa yang benar, yang salah, yang penting, dan yang lazim. <br />“Pendidikan adalah “Anda” yang muncul melalui pembelajaran yang Anda lakukan.” (hal. 19)<br /><br />Kata-kata di atas sungguh ‘berenergi’. Menunjukkan betapa pendidikan itu tidak dapat dikotak-kotakkan. Mengisaratkan juga betapa pendidikan itu universal. Pendidikan sejatinya tidak mengenal istilah formal, non formal dan informal. Pengkotak-kotakan ini hanya member kesan betapa ketiga unsur tersebut tidak terintegrasi. <br /><br />Selanjutnya James menguraikan bahwa semua orang di dunia ini, karenanya, sudah dididik dengan cara tertentu. Kita, umat manusia, membangun pikiran-pikiran kita sendiri, menganalisis, dan kemudian merekonstruksi pikiran-pikiran itu sepanjang hidup kita. Anda sedang melakukannya saat ini, ketika Anda membaca. Anda sedang bertanya-tanya, “Apa maksudnya mengatakan itu?”; dan barangkali ketika Anda membaca kata “membangun” dan “menganalisis”, Anda membayangkan potongan-potongan kayu, palang-palang baja, mesin, dan kekacauan. Gambar-gambar itu adalah bagian dari pemecahan puzzle, proses membuat model yang terbentuk sendiri. Ketika gambar-gambar dan gagasan-gagasan itu secara tiba-tiba Anda pahami dan membuat anda berfikir “oh, jadi begitu cara kerjanya,” Anda menambahkan sesuatu yang baru terhadap diri Anda. (hal. 20)<br /><br />Kalimat-kalimat di atas menunjukkan betapa radikal dan merdekanya jalan pemikiran James. Pemikiran-pemikiran yang tidak mungkin bisa ‘dikurung’ di dalam sebuah kelas. He he he. Ya, seorang guru bisa saja menjaga 40 siswa untuk tetap duduk di dalam kelas, tetapi ia tidak dapat menjaga pikiran seorang anak pun untuk tetap di dalam kelas.<br /><br />Dalam hal pengetahuan, James memiliki persepsi sendiri. Pengetahuan adalah bagian dari pendidikan saya, hanya jika dia mengubah saya. Pengetahuan tidak meningkatkan pendidikan saya, kecuali dia mengubah saya menjadi lebih baik. Pendidikan mungkin membuat saya lebih berkuasa, lebih berwawasan, lebih terlibat dengan kehidupan. Namun, saya harus menjadi lebih tertarik atau berguna bagi diri saya sendiri dengan cara tertentu, jika tidak maka peningkatan tidak terjadi. (hal. 21)<br /><br />Rasulullah SAW pernah berpesan bahwa ilmu yang baik adalah ilmu yang memperbaiki akhlak kita. Pernyataan ini relevan dengan ungkapan James di atas. James juga menitik beratkan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat memperbaiki keadaan di sekelilingnya, minimal memperbaiki diri sendiri. Oleh karena itu, banyak orang-orang di sekitar kita, terkenal atau tidak terkenal telah mengukir ‘kisah’ yang membuat Negara ini semakin terpuruk. Namun di depan dan di belakang namanya tertera embel-embel atau gelar yang fantastis. Konon gelar-gelar tersebut didapat setelah melewati berbagai jenjang pendidikan. Apakah yang seperti ini layak disebut orang yang berpendidikan?<br /><br />Untuk menjawab pertanyaan tersebut, James menjawab dengan bahasa yang rada berfilsafat: “Tidak seorangpun di dunia ini yang bisa memilih apakah dia perlu dididik atau tidak. Akan tetapi, kita bisa memilih bentuk pendidikan kita. Itu adalah tugas kehidupan. <br /><br />Masih banyak lagi pemikiran-pemikiran menarik yang ditulisa James Marcus Bach dalam bukunya ini. Pemikiran-pemikiran yang dapat kita jadikan refleksi untuk memperbaiki diri. Salah satu pemikirannya yang menarik adalah tentang belajar mandiri atau belajar secara otodidak dengan metode Bajak Laut. Bagaimanakah metode bajak laut ala James Marcua Bach? Insya Allah akan menyusul pada postingan berikutnya. <br /></div> <br /></span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-28580938702831211512011-07-19T20:38:00.004+07:002011-07-23T23:16:34.336+07:00Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum (Kedudukan, Problem dan Prospeknya)<div size="120%" style="background:#fffff; text-align:justify; "><div style="text-align: center;"> M A K A L A H<br /><br />Oleh: Sri Rahayu<br /></div><br />A. PENDAHULUAN<br /><br />Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, fleksibel dan nilai-nilai ajarannya selalu dapat diterima seperti apa pun dinamika perkembangan zaman. Tidak ada ajaran agama yang setolerir ajaran Islam. Sehingga sungguh bijak jika pemerintah menjadikan pendidikan agama Islam menjadi salah satu komponen yang dipelajari secara kontinyu dalam dunia pendidikan formal kita. Bahkan menjadi mata pelajaran wajib di tingkat pendidikan dasar, menengah, dan mata kuliah wajib pada perguruan tinggi. Sekalipun pada perguruan tinggi umum.<br /><span class="fullpost"><br />Pada dasarnya pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan agama yang dilaksanakan pada jenjang pendidikan sebelumnya. Yaitu mulai dari jenjang TK dilanjutkan ke SD, lalu ke SMP kemudian ke SMA. Dari SMA dilanjutkan ke perguruan tinggi.<br />Dinamika Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum telah terukir dalam sejarah pendidikan di tanah air sejak awal hadirnya perguruan tinggi di negri ini. Bermula dari sebagai mata kuliah yang dianggap kehadirannya tidak diperlukan hingga eksistensinya ‘dihadirkan’ sebagai mata kuliah wajib.<br />Makalah ini akan membahas tentang Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Bagaimana kedudukan, problem dan prospek Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, itu lah yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.<br /><br />B. PEMBAHASAN<br /><br />1. Kedudukan Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.<br /><br />Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia telah mencatat bahwa pada tahun 1910 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia belum matang untuk suatu perguruan tinggi, karena belum mempunyai sekolah menengah sebagai sumber murid yang potensial dapat menjadi calon mahasiswa dan lebih penting lagi Indonesia belum mempunyai suasana intelektual tempat ilmu dapat bersemi. Namun ada suara-suara yang menyatakan bahwa pada suatu saat Indonesia tak dapat tidak harus mempunyai perguruan tinggi untuk melatih para ahli dan pekerja untuk kedudukan tinggi. Sebaliknya ada pula pendapat bahwa pendidikan tinggi bagi orang Indonesia akan merusak pribadinya karena ia akan tidak sesuai lagi dengan lingkungannya dan akan mengalami konflik untuk mengasimilasikan dirinya dengan masyarakat Belanda. Ada pula keragu-raguan apakah orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat, sekalipun orang Indonesia telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai gelar akademik.<br />Secara historis sosial politik, pada saat itu Indonesia adalah Negara jajahan Belanda. Salah satu ciri Belanda dalam menjajah ialah melakukan pembodohan terhadap Negara jajahannya. Jadi tidaklah mengherankan jika situasi seperti ini yang muncul pada saat itu. Cara Belanda menjajah sangat berbeda dengan cara Inggris. Kalau Inggris justru mencerdaskan Negara jajahannya. Apabila Negara jajahannya mulai ‘cerdas’ mereka memberi kemerdekaan.<br />Waktu terus berjalan dan dukungan terhadap perguruan tinggi di Indonesia bertambah kuat. Perang Dunia I yang menghalangi banyak lulusan HBS melanjutkan pelajarannya di negeri Belanda membuat perguruan tinggi di Indonesia sangat urgen. Sebagai tindakan darurat suatu lembaga untuk Pendidikan Tinggi mengumpulkan dana di Nederland untuk membuka kursus persiapan dua tahun. Pada tahun 1919 dimulai pembangunan gedung perguruan tinggi teknik di Bandung yang secara resmi dibuka pada tahun 1920. Dengan ini lengkaplah sistem pendidikan di Indonesia yang memungkinkan seorang anak menempuh pendidikan dari sekolah rendah sampai pendidikan tertinggi melalui suatu rangkaian sekolah yang saling bertalian. Bagi anak Indonesia jalan ini masih sempit, akan tetapi jalan itu telah ada.<br />Dalam tahun akademis 1920-1921 Technische Hogeschool atau Sekolah Teknik Tinggi (yang kemudian menjelma menjadi ITB) mempunyai 28 mahasiswa di antara 22 orang Belanda, 4 Cina dan 2 orang Indonesia. Sekolah ini menghasilkan lulusannya pertama pada tahun 1923-1924 yakni 9 Belanda 3 Cina dan tak seorang pun orang Indonesia. Orang Indonesia pertama lulus pada tahun akademis 1925-1926, yakni sekaligus 4 orang di antaranya Ir.Soekarno yang kemudian menjadi Presiden pertama Republik Indonesia.<br />Pembelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa ini adalah jangan pernah menyerah sebelum mencoba. Karena Allah sendiri telah mengingatkan kita bahwa Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali oleh kaum itu sendiri (Q.S;13;11). Keep spirit and never give up.<br />Kemudian dalam perjalan sejarah pendidikan di Indonesia, pada tanggal 2 April 1950 tepatnya di Yogyakarta muncullah UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh Indonesia. Jika kita tinjau dari segi politik pada saat itu bentuk Negara Indonesia adalah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan ibukota Negara berada di Yogyakarta (RIS berdiri 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950). Undang-Undang ini seluruhnya terdiri dari 17 bab dan 30 pasal. Uniknya Undang-Undang ini tidak begitu dikenal, sehingga sulit menemukannya dalam referensi Undang-Undang pendidikan.<br />Kedudukan pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dalam UU No. 4 tahun 1950 belum dibicarakan secara spesifik. Baik itu dalam tujuan umum pendidikan maupun dalam tujuan pendidikan tinggi. Berikut kutipan bunyi pasal 3, pasal 7 ayat 4 dan pasal 20 yang menunjukkan hal tersebut:<br />Pasal 3.<br />Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.<br />Pasal 7<br />4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk menjadi orang yang dapat memberi pimpinan di dalam masyarakat dan yang dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.<br />Pasal 20.<br />1. Dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.<br />2. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah Negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.<br />Dari rumusan pasal-pasal di atas, dapat dinyatakan bahwa tidak tercermin adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spiritual dan keagamaan secara terus menerus melalui proses pendidikan. Dengan kata lain kedudukan pendidikan agama Islam dalam Undang-Undang ini masih sangat lemah. Kondisi ini bisa dipahami jika kita meninjau perjalanan hadirnya Undang-Undang ini, bahwa Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tidak lahir dengan begitu saja, tapi melalui proses panjang seperti halnya pembentukan UU Sisdiknas tahun 2003 yang sulit untuk disahkan karena banyak kepentingan, baik secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment) keagamaan turut ikut serta di dalamnya (terutama jika mengingat tahun 1950-an Partai Komunis Indonesia masih ‘berkuku’ di parlemen).<br />Selanjutnya Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi baru dimulai sejak tahun 1960 dengan adanya ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960 yang berarti pendidikan agama sebelum itu secara formalnya baru diberikan di Sekolah Rakyat sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat atas saja. Adapun dasar operasionalnya, pelaksanaan pendidikan Agama di Perguruan Tinggi tersebut ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. Dalam BAB III Pasal 9 ayat 2 sub b, terdapat ketentuan sebagai berikut: ”Pada Perguruan Tinggi Negeri diberikan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatan”.<br />Jika merujuk pada sejarah, dapat dipahami bahwa sebelum tahun 1965 salah satu organisasi politik yang berpengaruh di parlemen adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Maka tidak heran jika dalam mengambil kebijakan tentang pendidikan di parlemen, mereka tentu berusaha memasukkan missi-nya. Agar segala sesuatunya tetap terlihat ‘bijak’, unsur pendidikan agama tetap dimasukkan dalam mata kuliah, namun diberi kebebasan jika tidak berkenan untuk mengikutinya.<br />Kemudian setelah meletusnya G.30.S.PKI pada tahun 1965, diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966, maka mulai saat itu status pendidikan agama di sekolah-sekolah berubah dan bertambah kuat. Dengan adanya ketetapan MPRS XXVII/ MPRS/1966 Bab I pasal 1 berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai dengan Universitas-Universitas Negeri.”<br />Peristiwa G.30.S.PKI memang rajutan sejarah yang telah memberikan luka mendalam serta pelajaran mahal bagi bangsa Indonesia. Terlepas dari beberapa fakta yang memunculkan ada skenario apa sebenarnya di balik peristiwa G.30.S.PKI, yang jelas peristiwa tersebut telah membuka mata bangsa Indonesia untuk lebih waspada akan menyelusupnya paham-paham yang menjauhkan bangsa ini dari kehidupan beragama.<br />Berikutnya pada tanggal 27 Maret 1989 hadirlah UU No. 2 tahun 1989. Kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi dalam Undang-Undang ini secara umum tertuang dalam tujuan Pendidikan Nasional tercantum dalam Bab II pasal 4 yang berbunyi:<br />Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan<br />Kemudian dari segi kurikulum, telah dinyatakan dalam pasal 39 ayat 2, yaitu:<br />Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikah wajib memuat:<br />a. pendidikan Pancasila;<br />b. pendidikan agama; dan<br />c. pendidikan kewarganegaraan.<br />Kemudian diperjelas dalam PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi tanggal 10 Juli 1990. Dalam PP ini tepatnya pada Bab II pasal 2 tentang Tujuan Pendidikan Tinggi dinyatakan:<br />(1) Tujuan pendidikan tinggi adalah:<br />1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;<br />2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.<br />(2) Penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada:<br />1. tujuan pendidikan nasional;<br />2. kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan;<br />(3) Kepentingan masyarakat; serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa pribadi.<br />Dari kutipan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa walaupun tujuan Pendidikan Tinggi menekankan pada nilai-nilai akademik dan professional namun tetap berpedoman pada tujuan pendidikan nasional. Maka dapat dinyatakan ada ‘benang merah’ antara UU No. 2 tahun 1989 dengan PP No. 30 tahun 1990, yang semuanya menunjukkan kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi umum semakin diperhitungkan.<br />Begitu juga dalam UU No. 20 tahun 2003, dalam Bab II pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kemudian dalam pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum dinyatakan:<br />(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:<br />a. pendidikan agama;<br />b. pendidikan kewarganegaraan; dan<br />c. bahasa.<br />Mengacu pada kutipan di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dalam UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 20 tahun 2003 menempati posisi yang diperhitungkan, yaitu sebagai mata kuliah wajib. Ataupun dengan kata lain pendidikan agama islam telah menjadi bagian dalam sistem pendidikan nasional. Namun sayangnya masih ada Perguruan Tinggi Umum yang belum melaksanakannya, terutama Perguruan Tinggi Umum swasta yang tidak memiliki political will yang jelas.<br />Mata kuliah Pendidikan Agama pada perguruan tinggi dalam proses belajarnya menggunakan sistem kredit semester yang masing-masing perguruan tinggi menggunakan jumlah dan besar SKS yang bervariasi. Rata-rata pendidikan agama Islam di perguruan tinggi hanya mendapat 2 SKS dalam satu semester awal yang dimasukkan dalam komponen mata kulian MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum).<br />Kemudian muncul SK Mendiknas No.232/U/2000 pada tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, pada Bab I; Ketentuan Umum, yaitu pada pasal 1 ayat 7 dinyatakan bahwa Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.<br />Selanjutnya PAI di perguruan tinggi umum, menurut Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi menjelaskan Visi dan Misi Mata kuliah Pengembangan Kepribadian serta Kompetensi MPK sebagai berikut:<br />Pasal 1<br />Visi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)<br />Visi kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.<br />Pasal 2<br />Misi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)<br />Misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudyaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab.<br />Pasal 3<br />Kompetensi Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)<br />(1) Standar kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasai mahasiswa meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis; bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang berkeadaban.<br />(2) Kompetensi dasar untuk masing-masing mata kuliah dirumuskan sebagai berikut :<br />a. Pendidikan Agama<br />Menjadi ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.<br />Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa kedudukan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum secara yuridis telah mengalami restrukturisasi yang cukup signifikan. Eksistensinya semakin diakui dan dibutuhkan dalam mengembangkan potensi sumber daya generasi muda (mahasiswa) di masa depan. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari para pengambil kebijakan di parlemen yang pasca reformasi makin kelihatan upaya ‘cerdas’-nya, walaupun masih ada kebijakan dalam segmen lain yang mengecewakan.<br />Sementara itu Aminuddin dalam Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum memaparkan bahwa untuk mewujudkan visi dan misi PAI di perguruan tinggi seperti yang diuraikan di atas maka diberikan pokok-pokok ajaran Islam dengan materi-materi ajar antara lain sebagai berikut:<br />1. Konsep Ketuhanan, alam, dan manusia.<br />2. Sumber-sumber kebenaran.<br />3. Sumber-sumber ajaran Islam.<br />4. Akidah.<br />5. Syariah.<br />6. Khilafah.<br />7. Akhlak.<br />8. Akhlak dalam bidang ekonomi.<br />9. Islam, Pengetahuan, dan teknologi.<br />10. Keadilan, kepemimpinan, dan kerukunan.<br />Kesepuluh poin tersebut pada umumnya direalisasikan dengan alokasi waktu 2 SKS. Maka dapat dinyatakan betapa perguruan tinggi umum membutuhkan tenaga pendidik (dosen) yang memiliki skill yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Bayangkan hanya dengan 2 SKS tujuan tersebut harus tercapai. Hanya tenaga pendidik (dosen) yang memiliki ketrampilan mumpuni yang mampu menjalani tugas ini dengan baik.<br /><br />3. Problem Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.<br /><br />Berdasarkan uraian kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum di atas, maka ditemukan beberapa problem yang masih menjadi batu sandungan. Bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan tersebut seefektif mungkin.<br />Beberapa problem tersebut antara lain:<br /><br />a. Beban SKS yang Minimalis (hanya 2 SKS)<br />Frekuensi perkuliahan agama yang hanya 2 (dua) SKS dirasa kurang memadai mengingat harapan yang demikian besar kepada pendidikan agama. Oleh karena itu bobotnya dipandang perlu untuk ditingkatkan menjadi 4 (empat) SKS. Kecuali tenaga pendidik (dosen) di perguruan tinggi umum mampu mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam mata kuliah lain. Begitu juga dosen untuk mata kuliah pendidikan agama Islam. Namun skill ini masih sulit didapat.<br /><br />b. Pola Pembelajaran Yang Berkelanjutan<br />Perlunya menjabarkan pendidikan agama di perguruan tinggi, sebagai kelanjutan dari materi pendidikan agama dari TK sampai dengan SLTA. Apabila pada tingkat TK materi pendidikan agama tekanannya kepada akhlak, tingkat SD kepada ibadah, tingkat SLTP kepada muamalat, tingkat SLTA kepada munakahat, maka pada perguruan tinggi materi pendidikan agama diarahkan kepada pengenalan terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam. Penyusunan program seperti ini secara berkelanjutan dapat pula disusun pada mata kuliah agama lain.<br />Namun pola ini lah yang belum muncul, bahkan terkadang kita jumpai ada tenaga pendidik yang menganggap pembelajaran pendidikan agama islam itu ya itu-itu saja dari SD sampai perguruan tinggi. Paradigma tenaga pendidik yang seperti ini menunjukkan betapa PAI cenderung dinilai dari segi simbolis-kuantitatif, dan bukan substansial-kualitatif. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidiknya pun belum mampu menumbuhkan kesinambungan pendidikan itu.<br /><br />c. Pola Pengembangan Pendidikan Agama Islam<br />Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah atau Perguruan Tinggi Umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal lateral (independent), yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan dan berinteraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non agama) dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertical linier, mendudukkan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi dari berbagai bidang studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki komitmen, kemampuan, atau political will dalam mewujudkan relasi/hubungan lateral-sekuensial dan vertical linier.<br />Dari kutipan di atas dapat dinyatakan bahwa masih banyak perguruan tinggi umum yang menjadikan PAI sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Tidak terintegrasi dengan mata kuliah yang lain. Ibarat syair lagu “Kau di sana, dan aku di sini”.<br /><br />d. Tenaga Pendidik/dosen Agama Islam.<br />Faktor inilah yang memegang central core (intinya) pelaksanaan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi. Bagaimanapun dosen yang mengajar di Perguruan Tinggi harus sarjana dari suatu Perguruan Tinggi. Hal ini menyangkut gezaag di mata mahasiswa. Akan ada persoalan : apakah dosen tersebut harus sarjana agama Islam ataukah sarjana umum yang beragama Islam? Bilamana kedua-duanya dapat dipandang qualified sudah tentu harus mendapat upgrading dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan : sarjana agama di-upgrade dalam pengetahuan umum menurut corak dasar fakultas dimana ia mengajar, sedangkan sarjana umum yang beragama Islam juga harus di-upgrade dalam pengetahuan agama Islam yang secara luas. Kedua-duanya mungkin dapat dipakai dengan persyaratan-persyaratan antara lain punya kepribadian yang dapat jadi suri tauladan mahasiswa serta masyarakat sekitarnya, memahami metode-metode penyajian yang menarik minat mahasiswa, punya sikap sosio-kultural yang baik, dan sebagainya.<br />Selain dari itu, kesediaan dari para pengasuh pendidik agama di perguruan tinggi untuk mengembangkan kemampuan penalaran akademisnya. Misalnya, untuk mengikuti program S-2 dan S-3 merupakan hal yang sangat dianjurkan. Karena dengan demikianlah diharapkan munculnya kemampuan untuk mengembangkan memahami ajaran-ajaran agama secara komprehensif, dan atas dasar itu tumbuhlah rasa kebanggaan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Karena mengikuti kuliah agama diharapkan tidak hanya bagi mahasiswa sekedar mengejar target 2 (dua) SKS, tetapi yang lebih penting lagi semakin meyakini akan kebenaran ajaran agama yang dianutnya.<br />Namun kebijakan ini terkadang ditanggapi sebagai suatu pemaksaan. Sehingga tidak jarang, banyak dosen yang melanjutkan jenjang pendidikannya, tetapi tidak mengikuti proses pembelajaran yang semestinya. Dosen-dosen seperti ini cenderung beranggapan ijazah lebih penting daripada proses tersebut. Inilah yang menyebabkan banyak sarjana-sarjana ‘mandul’ di Indonesia. Sarjana-sarjana yang motivasi belajarnya telah mati, namun masih tergiur dengan iming-iming tahta. Mereka tak ubahnya sebagai penyembah berhala di era digital ini. Maka jika kita sekarang meributkan tentang pendidikan karakter, muncullah suatu pertanyaan; dari manakah pendidikan karakter itu harus dimulai? Fenomena ini tak ubahnya bagaikan lingkaran setan.<br />Kemudian seiring perkembangan Teknologi Informasi saat ini, maka tenaga pendidik untuk Pendidikan Agama di perguruan tinggi umum juga harus berperan aktif. Karena dunia IT telah merambah ke berbagai disiplin ilmu. Salah satu cara untuk mengantisipasi dampak negatif IT adalah dengan memperkenalkan IT dari segi positif-nya. Tenaga pendidik PAI adalah salah satu personil yang tepat untuk memperkenalkan ini kepada peserta didik (mahasiswa).<br /><br />e. Perilaku mahasiswa yang menyimpang dari nilai-nilai akademik.<br />Melalui media cetak atau pun media elektronik kita selalu mendapati berita yang menunjukkan berbagai perilaku mahasiswa yang jauh dari nilai-nilai akademik. Misalnya saja banyak mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa amoral, seperti kasus VCD porno, aksi tawuran, perkelahian, tindak kriminalitas yang tinggi (seperti pembunuhan yang dilakukan mahasiswa terhadap pacarnya yang sedang hamil), dan lain-lain.<br />Fenomena di atas menunjukkan betapa pendidikan agama di perguruan tinggi nyaris ‘tidak tepat sasaran’. Problem pendidikan agama ini tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah mensyaratkan pendidikan agama sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum. Guru agama/dosen merasa puas sudah mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum. Peserta didik merasa sudah beragama dengan menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor atau nilai mata kuliah, namun jauh dari implementasinya.<br />Perlu juga kita cermati, semata-mata menyalahkan (menganggap gagal) pendidikan agama untuk kasus seperti ini adalah tidak bijak. Tetapi itulah image yang terkadang hadir di masyarakat.<br /><br />f. Lingkungan Kampus.<br />Lingkungan perguruan tinggi berada harus juga dijadikan perhatian pendidik yang bersangkutan dalam arti lingkungan sosio-kulturilnya; yang menjadi persoalan dalam hubungan ini ialah : apakah dosen dan mahasiswa harus menyesuaikan diri secara alloplastis atau secara autoplastis ?<br />Juga masih dalam masalah lingkungan yaitu yang langsung berpengaruh pada mahasiswa dalam kampus, atau bahkan dalam kelas perlu diciptakan religious environment seperti adanya musholla dalam kampus, peringatan-peringatan hari besar Islam, tatasusila dalam pergaulan, berpakaian, bertingkah laku sopan, dan sebagainya.<br />Sehubungan dengan hal ini Azyumardi Azra juga mengemukakan bahwa pendidikan memberikan kepada anak didik dorongan dan rasa berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan sebaik-baiknya. Prestasi akademis yang mereka capai, pada gilirannya, juga mendorong munculnya rasa elitisme, yang kemudian memunculkan sikap dan gaya hidup tersendiri, termasuk dalam kehidupan politik. Semakin terpisah lingkungan sekolah dari lingkungan masyarakat pada umumnya, maka semakin tinggi pula sikap elitisme tersebut. Elitisme yang bersumber dari sekolah ini kemudian memunculkan elitisme “terpisah” dari masyarakat; tetapi pada saat yang bersamaan, mereka memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan priveleges yang mereka miliki, mereka mempunyai “hak” alamiah untuk memerintah masyarakat.<br />Mengacu pada beberapa kutipan di atas, lingkungan kampus juga mendukung keberhasilan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum. Lingkunga yang dimaksud bukan hanya dari segi hardware, tetapi juga software.<br />Beberapa problem yang dipaparkan di atas hanyalah segelintir dari berbagai problem kompleks yang hadir di sekitar kita. H.M. Ridwan Lubis mengemukakan kekhawatirannya akan fenomena problem tersebut yang nantinya berujung pada kegagalan pendidikan agama di perguruan tinggi. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan problem yang serius bagi jalannya pembangunan di masa depan karena dikhawatirkan munculnya ilmuan yang disatu sisi memiliki tingkat keahlian yang tinggi dalam disiplin ilmu yang ditekuninya tetapi mengalami kekosongan batin yaitu landasan etik, moral dan dari ketinggian profesionalisme itu membawa dampak negatif yaitu tidak diimbanginya penemuan itu dengan kokohnya prinsip-prinsip moral. Padahal tujuan pendidikan itu sesungguhnya adalah memanusiakan manusia.<br />Kemudian jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, sebagaimana yang dinyatakan Alhaji A.D. Ajijola dalam Restructure of Islamic Education, yaitu “Islamic education is an education which trains the sensibility of pupils in such a manner that in their attitude to life, their actions, decisions and approach to all kinds of knowledge, they are governed by the spiritual and deeply felt ethical values of Islam. They are trained, and mentally disciplined, so that they want to acquire knowledge not merely to satisfy an intellectual curiosity or just for material worldly benefit, but to develop as rational, righteous beings and bring about the spiritual, moral and physical welfare of their families, their people, their country and mankind”.<br />Terjemahan bebasnya adalah Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih kepekaan murid sedemikian rupa dalam menyikapi kehidupan, tindakan mereka, keputusan dan pendekatan untuk semua jenis pengetahuan, mereka dibangun secara spiritual dan sangat merasakan nilai-nilai etika Islam. Mereka dilatih, secara mental disiplin, sehingga mereka ingin memperoleh pengetahuan bukan hanya untuk memuaskan keingintahuan intelektual atau hanya untuk keuntungan materi duniawi, melainkan untuk berkembang secara rasional, makhluk sebenarnya dan bermental spiritual, moral dan sumber kesejahteraan bagi keluarga mereka, masyarakat disekitar mereka, negara mereka dan umat manusia.<br />Berdasarkan kutipan tujuan pendidikan Islam di atas, maka dapat dinyatakan betapa pentingnya solusi guna menyelesaikan beberapa problem tersebut. Karena problem-problem tersebut jika dibiarkan bisa ber-transformasi menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.<br /><br />4. Prospek Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.<br />Beranjak dari beberapa problem yang telah dipaparkan di atas maka kenyataan tersebut telah mendorong pihak-pihak yang perduli akan pendidikan untuk melakukan terobosan baru yang dapat mencerahkan prospek pendidikan agama di perguruan tinggi umum. Beberapa terobosan tersebut antara lain:<br /><br />a. Paradigma Baru Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama.<br />Muhaimin dalam Rekonstruksi Pendidikan Islam memaparkan tentang perbedaan model-model pengembangan PAI di perguruan tinggi umum. Perbedaan model ini muncul karena adanya perbedaan pemikiran dalam memahami aspek-aspek kehidupan. Apakah agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri? Maka dalam konteks ini muncullah model dikotomis, model mekanisme dan model organism/sistemik.<br />Model dikotomis memandang segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non agama, demikian seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.<br />Sedangkan model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri dari beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.<br />Model organism/sistemik dalam konteks pendidikan Islam bertolak dari pandangan bahwa aktifitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.<br />Pandangan semacam itu menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental value yang tertuang dan terkandung dalam Al Qur’an dan al-sunnah ash-shahihah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insan yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Illahi/agama.<br />Dari ketiga model tersebut maka model organism/sistemik yang paling ideal jika disandingkan dengan Visi dan Misi PAI di perguruan tinggi umum. Hal ini sudah tergambar dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 43/DIKTI/Kep/2006. Jika hal ini dapat terealisasi, maka PAI di perguruan tinggi umum akan cerah prospeknya di masa yang akan datang.<br /><br />b. Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam.<br />Dadan Muttaqien dalam Prospek Pendidikan Agama Islam di Tengah Perubahan Zaman menawarkan paradigm yang hampir senada dengan yang telah diuraikan di bagian ‘a’. Paradigma tersebut dalam bentuk Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam. Pemaparannya dalam hal ini yaitu :<br />Jika masih ingin eksis dan survive, semangat inklusivitas ajaran Islam harus benar-benar integral dalam materi ajar dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Namun yang perlu menjadi catatan jangan sampai terjebak oleh inklusivitas menurut retorika Barat dalam hal-hal teori tentang pluralisme, HAM dan lain-lainnya karena semua itu harus dikembalikan kepada sumbernya yang asli yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah meskipun tetap dengan semangat yang mengkritisi setiap interpretasi terhadap kedua sumber tersebut.<br />Sikap Islam terhadap pluralitas misalnya, merupakan sikap pertengahan di antara dua kutub ekstrim pandangan manusia terhadap pluralitas: yang menolak pluralitas mentah-mentah dan yang menerima pluralitas mentah-mentah. Pandangan manusia yang menolak pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bencana yang membawa pada perpecahan sehingga pluralitas harus dihilangkan dan keseragaman mutlak harus dimunculkan. Hal tersebut dapat dilihat pada “totaliterisme Barat” yang diwakili oleh Uni Soviet saat itu. Pandangan manusia yang menerima pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bentuk kebebasan individu yang tidak ada keseragaman sedikit pun. Hal ini terlihat pada model “liberalisme Barat” di banyak negara. Sikap Islam yang moderat, yang menerima pluralitas sekaligus menerima keseragaman, dapat dilihat dari penerimaan Islam terhadap beragam mazhab fikih, tetapi tetap dalam kerangka kesatuan atau keseragaman syariat Islam.<br />Pernyataan di atas juga relevan dalam upaya memprotek mahasiswa yang cenderung ‘darah muda’ yang gampang berapi-api dan labil. Terutama dalam menerima paham-paham dengan atas nama agama, seperti paham-paham Negara Islam Indonesia (NII) yang marak akhir-akhir ini. Disamping itu konsep integrasi inklusivitas ini sangat tepat jika diterapkan pada Perguruan Tinggi Umum yang masih menyajikan Pendidikan Agama Islam hanya 2 SKS. Karena ada juga beberapa perguruan tinggi umum yang menyajikan mata kuliah Pendidikan Agama lebih dari 2 SKS.<br /><br />C. Kesimpulan<br /><br />Dalam studi agama Islam tidak ada pemisahan antara pengajaran dengan pendidikan. Jika dapat dibedakan hanya sebatas maknanya saja. Pengajaran merupakan strategi untuk mengaktualkan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan suatu nilai (value) yang terus berjalan agar dapat diwujudkan. Namun dalam prosesnya pengajaran dan pendidikan merupakan sebuah proses yang integral.<br />Perjalanan panjang kebijakan yang menunjukkan eksistensi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum bukanlah hal yang mudah. Mulai dari kehadiran UU Pendidikan No. 4 tahun 1950 hingga kehadiran SK Mendiknas No.23/U/2000 pada tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, kemudian Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI No. 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, telah menempatkan Pendidikan Agama sebagai Mata Kuliah Pengembangan. Ini berarti PAI di perguruan tinggi umum telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Ada nuansa integrasi antara mata kuliah Pendidikan Agama dengan mata kuliah lainnya. Dinamika ini telah melalui pergolakan berbagai kepentingan, baik kepentingan secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan emosi (sentiment) keagamaan turut ikut serta di dalamnya.<br />Jika proses pengajaran dan pendidikan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum terintegrasi secara kontekstual maka akan menghadirkan cendekiawan muda yang bukan hanya memiliki value, tetapi juga bermental spiritual yang dapat diandalkan untuk pembangunan masyarakat bahkan pembangunan peradaban manusia di masa yang akan datang.<br /> <br />DAFTAR BACAAN<br /><br />Ahmad Ali Riyadi, Politik Pendidikan; Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 179-180S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)<br />Alhaji A.D. Ajijola, Restructure of Islamic Education (Delhi: Adam publisher & Distributors, 1999)<br />Aminuddin, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005)<br />Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)<br />H.M.Arifin, Kapita Selecta Pendidikan (Semarang: Toha Putra, 1981)<br />M.Ridwan Lubis, Aktualisasi Nilai-nilai Keislaman Terhadap Pembangunan Masyarakat (Medan: Media Persada, 2000)<br />Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja GRafindo Persada, 2009)<br />Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2009)<br />Salinan UU No. 4 Tahun 1950 Tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran<br />Salinan UU No. 22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi<br />Salinan UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas<br />Salinan PP No. 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi<br />Salinan SK Mendiknas No.232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa<br />Salinan UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas<br />Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia No : 43/DIKTI/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi<br />S.Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001)<br />Sumardi, Muljanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, (Jakarta: LPIAK Balitbang Agama Depag, 1977)<br />Dadan Muttaqien, Prospek Pendidikan Agama Islam di Tengah Perubahan Zaman, http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid=57, diakses tanggal 25 April 2011, pukul: 21.39 WIB<br /></span></div>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-21562467690890154082011-05-20T08:02:00.003+07:002011-05-20T08:18:55.444+07:00Salam Kebangkitan Nasional Ke-103<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj54KOfkZCR7-Be1-xPVlZjsx3dELUqXW3nPlDIrtBmUsOqYme3l2w7u34JC8A5sY6r9qrmuCML_XsXly4_x2lmkXmjYsmM3e4xcQnfL_1BDGfxSO1-M5IdKc2afqybE7O7T_F1kKC3yuY/s1600/Logo_103_Tahun.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 232px; height: 232px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj54KOfkZCR7-Be1-xPVlZjsx3dELUqXW3nPlDIrtBmUsOqYme3l2w7u34JC8A5sY6r9qrmuCML_XsXly4_x2lmkXmjYsmM3e4xcQnfL_1BDGfxSO1-M5IdKc2afqybE7O7T_F1kKC3yuY/s400/Logo_103_Tahun.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5608598764480978370" /></a><br /><div size="3" style="background:#fffff; text-align:justify; "><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;">Bangun pemudi pemuda Indonesia</span><br /><span style="font-style: italic;">Tangan bajumu singsingkan untuk negara</span><br /><span style="font-style: italic;">Masa yang akan datang kewajibanmu lah</span><br /><span style="font-style: italic;">Menjadi tanggunganmu terhadap nusa</span><br /><span style="font-style: italic;">Menjadi tanggunganmu terhadap nusa</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas</span><br /><span style="font-style: italic;">Tak usah banyak bicara trus kerja keras</span><br /><span style="font-style: italic;">Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih</span><br /><span style="font-style: italic;">Bertingkah laku halus hai putra negri</span><br /><span style="font-style: italic;">Bertingkah laku halus hai putra negri</span><br /></div><br />Bait-bait lagu di atas mengingatkan saya pada masa-masa SMA. Bangun pemudi-pemuda karangan C. Simanjuntak ini termasuk lagu favorit saya jika latihan paduan suara. Dengan hentakan stakato-nya, aura spirit terasa hingga ke relung jiwa. Lagu-lagu nasional kita memang sungguh ‘bernyawa’.<br /><span class="fullpost"><br />Apalagi waktu itu guru kesenian kami Ibu Dra. Yoyok Juriah, guru cerdas yang begitu menguasai bidangnya. Bagi beliau membagi-bagi suara sopran, alto, tenor dan bas, seperti bagi-bagi snack saja. Ingat masa-masa itu, aiihhh…ingin rasanya mengulang kembali.<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC_keFfTK4OfZO51JXDhZoOGbfzNDmIbYmfOY-gLuURkh5LU5wb4GqqDik0DiuSnPvFILkKqUqA85vPUqo3TZ6SIJiknso2Mo_OZfbZCPLP1-36qv70uacu1z76PA8Lbu4D9FWUfVn5ZQ/s1600/paduan+suara.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 277px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhC_keFfTK4OfZO51JXDhZoOGbfzNDmIbYmfOY-gLuURkh5LU5wb4GqqDik0DiuSnPvFILkKqUqA85vPUqo3TZ6SIJiknso2Mo_OZfbZCPLP1-36qv70uacu1z76PA8Lbu4D9FWUfVn5ZQ/s400/paduan+suara.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5608601395707559282" /></a><br />Tetapi akhir-akhir ini ada yang mengusik di hati. Banyak murid-murid saya yang tidak mengenal lagu-lagu nasional. Bahkan ada yang tidak hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ketika hal ini saya bicarakan dengan beberapa teman yang mengajar di sekolah lain, bahkan di sekolah yang berstatus SSN (Sekolah Standar Nasional), mereka juga menyampaikan hal yang sama. Seketika jadi mikir, adakah yang keliru…? Sehingga semua jadi begini? Apakah ini juga akibat dari pendidikan? (Semoga ini hanya kasuistik, teman). <br /><br />Memang kita tidak dapat mengukur jiwa nasionalis seseorang hanya dari sebuah lagu. Tetapi melalui lagu kita dapat membangkitkan semangat nasional seseorang. Betapa inginnya membangkitkan semangat nasionalis itu untuk melawan gaya hidup hedonisme yang mulai menggerogoti anak negeri. Melawan kemusykilan kenyataan dinamika pendidikan yang sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya. UN sebagai exit exam… Terperdaya dengan persentase keberhasilan UN yang mencapai 99,xxx%. Sudah kredibel katanya. Oh angka-angka… ternyata semuanya bisa dipuaskan sebatas angka-angka. Lalu bagaimana sarana dan prasarana yang masih serba minimalis? Tenaga pendidik yang masih perlu di up grade? Belum lagi melawan carut-marut dunia olah raga, sehingga ajang PSSI-pun harus dipolitisasi. Ah..terlalu banyak sebenarnya yang ingin dilawan. Kalau sudah begini kembali hati ingin mendendangkan lagu di atas. Sungguh bernyawa…!<br /><br />Semoga di 20 Mei 2011 ini, masih bisa diri ini menemukan kobaran-kobaran nyali kebangkitan nasional. Seperti gemuruh kobaran semangat kebangkitan yang dicetuskan bung Tomo seratus tiga tahun yang lalu, seperti dinamika retorika Soekarna di masa lalu. Seperti denyut nadi Sudirman yang enggan terhenti hanya karena rongrongan penyakit dan desingan peluru. Yang pasti seperti bangsa yang tidak pernah melupakan jasa-jasa para pahlawannya. Bangsa yang menghargai sejarah. Kita pun akan menjadi bagian dari sejarah. Oleh karena itu tugas kita adalah untuk mengukir sejarah yang lebih indah. Sebagai warisan untuk generasi mendatang. Semoga yang Maha Memberi Petunjuk selalu memberi kemudahan kepada kita untuk B..A..N..G..K..I..T …!! Bangkit mengganyang kebodohan dan ke-naif-an…!<br /><br />Salam Kebangkitan Nasional ke-103,..!!<br /></span></div>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-73216982199529723582011-05-02T16:09:00.003+07:002011-05-02T16:52:28.864+07:00Sebuah Catatan di Hardiknas 2011<div style="text-align: center; font-style: italic;">Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa<br />dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,<br />yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa<br />terhadap Tuhan Yang Maha Esa<br />dan berbudi pekerti luhur,<br />memiliki pengetahuan dan keterampilan,<br />kesehatan jasmani dan rohani,<br />kepribadian yang mantap dan mandiri<br />serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.<br /></div><br />Demikianlah isi Bab II Pasal 4 dari UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sungguh indah kalimat-kalimat itu.<br />Sungguh bijak yang telah merangkai kata tersebut.<br />Amboii…<br /><span class="fullpost"><br />Tetapi entah mengapa indahnya kalimat-kalimat<br />Sarat maknanya yang tersirat maupun tersurat<br />Tidak mampu menghalau kegalauan yang sarat<br /><br />Oh anak negeri…<br />Inilah kenyataan yang harus dihadapi<br />Ketika aku mendengar <span style="color: rgb(0, 0, 153); font-style: italic;font-size:130%;" ><a href="http://edukasi.kompas.com/read/2011/04/19/14072880/Memberantas.Penyakit.Examen.Cultus">berita ini</a></span><br />Ketika aku membaca <span style="color: rgb(0, 51, 0);font-size:130%;" ><a style="font-style: italic;" href="http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/nurdin-halid-dan-ujian-nasional/">berita itu</a></span><br />Ketika aku menyaksikan <span style="color: rgb(255, 0, 0);font-size:130%;" ><a style="font-style: italic; font-weight: bold;" href="http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/1599">kenyataan</a></span> di depan mata<br />Haruskah missi itu hanya terukir di dalam kitab<br />Yang disebut Undang-Undang…??<br /><br />Jika fakta dan Undang-Undang tak seirama<br />Yang satu di Selatan, yang satu di Utara<br />Kepada siapakah harus berbagi cerita…?<br />Haruskah kutunggu hadirnya<br />Ki Hajar Dewantara jilid ke-dua…??<br /><br />Nelangsa…?? Putus Asa…??<br />Ku coba halau semua<br />Karena ‘Rajawali’ Bang Iwan Fals masih menggema<br />Begini katanya…..<br /><br /><span style="font-style: italic;">“…Jiwa anggun teman sepi</span><br /><span style="font-style: italic;">Jiwa gagah pasti diri</span><br /><span style="font-style: italic;">Sejati</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Bertahan pada godaan</span><br /><span style="font-style: italic;">Prahara atau topan</span><br /><span style="font-style: italic;">Keberanian</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Setia kepada budi</span><br /><span style="font-style: italic;">Setia pada janji</span><br /><span style="font-style: italic;">Kegagahan</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Menembus kabut malam</span><br /><span style="font-style: italic;">Menguak cadar fajar</span><br /><span style="font-style: italic;">Mendatangi matahari</span><br /><span style="font-style: italic;">Memberi inspirasi…”</span><br /><br />Ya…semoga hati ini masih terinspirasi<br />Untuk menjadikan missi indah itu bukan hanya sekedar prasasti<br />Walau tak ada ‘sistem’ yang mengakui..<br /><br /><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL…!!</span><br /></span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-22416127104676426362011-03-12T20:03:00.010+07:002011-03-30T21:26:00.136+07:00Daftar Nama Siswa Kelas IX MTs Al Washliyah yang Laporan Tugas via Email-nya Diterima<div style="background:#fffff; text-align:justify; font-size:120%"><br />Kepada seluruh ananda siswa/i MTs Al Washliyah Pangkalan Brandan, berikut ini adalah nama-nama siswa kelas IX T.P 2010-2011 yang telah mengirimkan laporan via email dan laporan diterima sebagai ujian praktek TIK. <br />Berikut nama-nama siswa yang laporannya diterima (up date 30 Maret 2011, pukul 21.30 WIB)<br /><span class="fullpost"><br />1 Rizqa Kahirunnisa (IX B)<br />2 Dina Marini (IX A)<br />3 Delima Siani Bancin (IX B)<br />4 Putri Annisa (IX B)<br />5 Putri Herdiana (IX A)<br />6 Ramadani Yanti (IX A)<br />7 Ziar Nadila (IX A)<br />8 Ami Rizki (IX A)<br />9 Rahmad Ariansyah (IX B)<br />10 Dian Utami (IX A)<br />11 Nurmala Sari.A (IX B)<br />12 Iin Santana (IX B)<br />13 Dina Al Husna (IX B)<br />14 Anju Brutu (IX B)<br />15 Parman Manik (IX C)<br />16 M. Joni Bancin (IX A)<br />17 Mukhsin Bancin (IX A)<br />18 Rahma Widya Sari (IX A)<br />19 Ari Pangestu (IX A)<br />20 M. Fauzan. Nst (IX A)<br />21 Rika Ulandari (IX B)<br />22 Trisna Sekar Tias (IX B)<br />23 Putri Hartati (IX B)<br />24 Yoga Prastiadiputra (IX B)<br />25 Rahayu Anggraini (IX B)<br />26 Abdurahman Qosim (IX B)<br />27 Rizki Pratama (IX C)<br />28 Taufik Abdillah (IX A)<br />29 Tri Kumala Dewa (IX C)<br />30 Irma Wati (IX A)<br />31 Ina Kirana (IX A)<br />32 Surya Handika Pratama (IX C)<br />33 Putri Herdiana (IX A)<br />34 Sumiati (IX C)<br />35 Ummi Atiyah (IX A)<br />36 Awaliani Husna (IX A)<br />37 Dina Supratika (IX C)<br />38 Siti Nurbaiti (IX C)<br />39 Haswindu (IX A)<br />40 Edi Sudrajat (IX A)<br />41 Ali Mukdin (IX B)<br />42 Mutia Dewi (IX B)<br />43 Dinda Lestari (IX A)<br />44 Heri Suseno (IX A)<br />45 Oktafia Umami (IX C)<br />46 Walila Oktari (IX C)<br />47 Desi Reni Harahap (IX C)<br />48 Sri Ramadhani (IX C)<br />49 Risma Risdianti (IX C)<br />50 Nurmalasari. C (IX B)<br />51 Rahmayana (IX A)<br />52 Joko Suprianto (IX B)<br />53 Alia Maliani Lbs (IX C)<br />54 Guruh Pratama (IX B)<br />55 Andani Simorangkir (IX B)<br />56 M. Amrizal Hafis (IX A)<br />57 Sumarni (IX A)<br />58 Bahya Ibnu Mulkan (IX A)<br />59 Rika Wulandari (IX A)<br />60 Rismal Berutu (IX A)<br />61 Susi Susanti (IX B)<br />62 Sumartik (IX B)<br />63 Rajak Priadi (IX A)<br />64 Helmi Pramuja (IX C)<br />65 Ely Erviana (IX A)<br />66 Mhd Sholeh (IX B)<br />67 M. Amar Adli (IX C)<br />68 Panca Akbar (IX B)<br />69 Dewi Nursiam (IX A)<br />70 Rahmat Fauzi (IX C)<br />71 Muhammad Syahputra (IX C)<br />72 Muhammad Yusuf (IX C)<br />73 Heru Herdiansyah (IX C)<br />74 Irfan Suhendra (IX C)<br />75 Purwanty (IX C)<br />76 Ayu Riski (IX B)<br />77 Fitria Ningsih (IX C)<br />78 Hernita Wahdini (IX B)<br />79 Rina Afriani (IX B)<br />80 Fitria Erviana (IX B)<br /><br />Siswa yang merasa telah mengirim email tetapi namanya tidak terdaftar pada daftar di atas, diharapkan segera menjumpai guru TIK. Karena ada 2 siswa yang laporannya tidak diterima, dengan alasan:<br /><br />1. Mengirim melalui jejaring social<br />2. Menggunakan identitas yang tidak jelas.<br /><br />Kepada siswa/i yang belum mengirimkan laporannya diharap segera menyelesaikan tugasnya.<br /></div><br /></span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-77835807149423870752011-02-25T20:00:00.002+07:002011-02-25T20:04:06.034+07:00Anecdote; The Story of Nasruddin<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3wdRAalRCmQ4gErWnfa6MtlnCdgiv57SUzvTVtbEIowuR1heAloV7wFCYzITX_TKuRAv29xDxli2OuayXQXReJHC5gUGRWeWjTT622kRH3Tc2_3bcagRcKERST2PFwYPj9AhDSG8eg4g/s1600/Nasruddin.jpeg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 116px; height: 128px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3wdRAalRCmQ4gErWnfa6MtlnCdgiv57SUzvTVtbEIowuR1heAloV7wFCYzITX_TKuRAv29xDxli2OuayXQXReJHC5gUGRWeWjTT622kRH3Tc2_3bcagRcKERST2PFwYPj9AhDSG8eg4g/s400/Nasruddin.jpeg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5577612111683560594" /></a><br /><div style="background:#fffff; text-align:justify; font-size:120%"><br />Anecdotes is to tell an unusual and funny event. Anecdote is similar with Recount intended to show views of an event or events of the past. The main difference is that Anecdote usually tells an unusual occurrence for the purpose of entertaining or amusing. Because of these differences, so the structure of the Anecdote generic is so different with structure of the Recount generic. <br /><br />This text is an important part in daily life because it can be easily found in various mass media, electronic and print, in the language learning books (textbook), etc.. Therefore, mastering this kind of text can also be used as the benchmark level of literacy. Learning of this type will not only influential the affect of the development of literacy skills in English, but also in Indonesian, and even though the mother tongue. <br /><br />The story of Nasruddin is one of Anecdote. Here is his story:<br /><span class="fullpost"><br />Nasruddin put two big baskets of grapes on his donkey and went to market. At midday it was very hot, so he stopped in the shade of a big tree. <br /><br />There were several other men there, and all of them had donkeys and baskets of grapes too. After their lunch they went to sleep. <br /><br />After some time, Nasruddin began to take grapes out of the other men’s baskets and put them in his.<br /><br />Suddenly one of the men woke up and saw him. “What are you doing ?” he said angrily.<br /><br />“Oh,” said Nasruddin. “Don’t worry about me. I am half mad, and I do a lot of strange things”.<br /><br />“Oh, really?” said the other man. “Then why don’t you sometimes take grapes out of your baskets and put them in somebody else’s baskets?”<br /><br />“You did not understand me,” said Nasruddin. “I said that I was half mad, not quite mad”<br /></div><br /></span>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-40216241733958155682011-02-11T17:29:00.004+07:002011-02-18T18:23:27.826+07:00Menguak Sejarah Mencari 'Ibrah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXlACFDEwyToeFU3als27PXGIr7Ddud0XQODzB4v_o7oN4JLh8ayCwdgYyPhKmoyoPIuskJef41SiMvMiurz_XbcrHVG_aB3vJstkNEfswIFQMHDHWzRktYfKlckDw3evfsrUFYrVdRI4/s1600/Hasan.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 150px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXlACFDEwyToeFU3als27PXGIr7Ddud0XQODzB4v_o7oN4JLh8ayCwdgYyPhKmoyoPIuskJef41SiMvMiurz_XbcrHVG_aB3vJstkNEfswIFQMHDHWzRktYfKlckDw3evfsrUFYrVdRI4/s200/Hasan.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5572379207594066658" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;font-size:120%;"><br />Judul Buku : Menguak Sejarah Mencari ‘<span style="font-style: italic;">Ibrah</span><br />Penulis : Dr. Hasan Asari, MA (sekarang sudah Profesor)<br />Penerbit : Cita Pustaka Media Bandung, 2006<br /><br />Mengulas dunia pendidikan adalah sebuah topik yang tidak akan ada habis-habisnya. Seluruh aktifitas kehidupan manusia tidak lepas dari unsur pendidikan. Sebagaimana yang dinyatakan Andrea Hirata dalam novelnya Cinta Di Dalam Gelas bahwa <span style="font-style: italic;">"Tata cara bertutur kata, bergaul pria wanita, berbaju, menggaruk kalau gatal, atau berjoget dangdut, semuanya akibat dari pendidikan"</span>.<br /><br />Menguak Sejarah Mencari ‘<span style="font-style: italic;">Ibrah</span> merupakan salah satu buku yang mengulas dunia pendidikan dengan pendekatan history (Sejarah). Dalam buku ini kita akan menjumpai bagaimana pendekatan dan metodologi dalam pengkajian pendidikan Islam dalam perpsektif sejarah. Bagaimana kita dapat menemukan ‘Ibrah (pelajaran) dari sebuah catatan sejarah.<br /><span class="fullpost"><br />Sejarah ibarat sebuah celah yang dipakai oleh sebuah komunitas untuk ‘mengintip’ dan mengail pelajaran (<span style="font-style: italic;">‘ibrah</span>) dari masa lalunya. Keinginan melihat dimensi yang lebih luas dari masa lalu itu mendorong orang untuk terus menerus membuka celah baru, atau setidaknya menguak lebih lebar celah historis yang sudah ada.<br /><br />Dalam hal ini penulis menyatakan bahwa <span style="font-style: italic;">“Dibandingkan dengan model penulisan sejarah konvensional, model sejarah sosial-dengan ciri lebih menyeluruh dan menekankan pemberian makna terhadap fakta-fakta sejarah-membuka kemungkinan yang lebih besar bagi kita untuk memperoleh pesan sejarah (‘ibrah). Sesungguhnya, pencarian ‘ibrah dan kemudian menjadikannya sebagai bahan pelajaran dalam memahami masa kini dan merencanakan masa mendatang adalah merupakan inti terpenting dari kegiatan pengkajian sejarah. Karenanya, semakin detail pengetahuan kita tentang sejarah pendidikan Islam, semakin besar kemungkinan kita memberinya penafsiran yang komprehensif, dan pada waktu yang sama, semakin besar pula kemungkinan kita memperoleh pelajaran berharga daripadanya guna menyusun perencanaan masa depan yang lebih baik”</span>.<br /><br />Pada buku ini kita juga dihadapkan dengan pemikiran-pemikiran pendidikan Al Ghazali. Diantara pemikiran-pemikiran pendidikan Al Ghazali yang dibahas dalam buku ini adalah:<br /><br />1. Mekanisme Psikologis Proses Belajar<br />2. Hambatan-hambatan Belajar<br />3. ‘Cara Lain’ Untuk Mengetahui (topik ini sangat menarik)<br />4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan<br />5. Murid dan Kewajibannya<br />6. Guru dan Kewajibannya (wajib diketahui oleh pendidik)<br /><br />Selain itu bagaimana dinamika Intelektual Muslim Klasik dan Muslim Dalam Kontak Peradaban juga dihadirkan dalam buku ini dengan pengolahan yang menarik. Apalagi didukung dengan berbagai referensi dari Bahasa arab. Sungguh membuka paradigma pemikiran pendidikan kita menjadi <span style="font-style: italic;">open minded</span>. <br /><br />Yang merasa pendidik, perlu lo baca buku ini.<br /></span></div>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5517227847812031783.post-80567156380058949202011-01-13T15:11:00.012+07:002011-02-19T18:18:41.955+07:00Buku Bergizi; La Tahzan for Teacher<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4nlhvKpeVposQR5nWWzaK9lj9S4BCy1we9G0qHVgI12Sz6vmf2cf_IXhX-rTCAWD8t-qWjpGaasy-zxOSCZE8z4HI1ml7zSxxos7hTJixMKSeHkuw4tsDLaQR57HJcROrlZF9BzNxf6Y/s1600/La+Tahzan.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4nlhvKpeVposQR5nWWzaK9lj9S4BCy1we9G0qHVgI12Sz6vmf2cf_IXhX-rTCAWD8t-qWjpGaasy-zxOSCZE8z4HI1ml7zSxxos7hTJixMKSeHkuw4tsDLaQR57HJcROrlZF9BzNxf6Y/s200/La+Tahzan.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5561584195596508706" /></a><br /><span style="color:#000099;"><br /></span><div style="text-align: justify;font-size:120%;"><span style="color:#000099;"><br /></span><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 153);"><span style="color:#000000;">Bagi anak berkebutuhan khusus, model pendidikan inklusif memberikan rasa hormat dan kebanggaan pada diri sendiri, sedang bagi anak normal, pendidikan inklusif mengajarkan mereka bersyukur dan menerima perbedaan. Semua siswa, termasuk juga gurunya, jadi memiliki kesempatan memperkaya hati, tentu bila guru dapat mengarahkannya dengan baik.</span></span><span style="color:#000099;"><br /></span><span style="color:#000099;"><br /></span>Kalimat diatas dikutip dari buku La Tahzan for Teacher pada halaman 6 yang ditulis oleh dua orang guru muda yaitu Ibu Irmayanti dan Gita Lovusa. Saya merasa ‘tertampar’ dengan pernyataan <span style="font-style: italic;">“…memiliki kesempatan memperkaya hati…” </span><br /><span class="fullpost"><br />Kalimat-kalimat tersebut mengingatkan saya pada sebuah kelas di madrasah tempat saya tugas. Di kelas ini siswanya beraneka ‘warna’. Ada seorang siswa perempuan yang perkembangan kognitif dan afektifnya jauh tertinggal dibandingkan dengan perkembangan seks-nya (gaya bicaranya pun seperti anak autis). Ada siswa yang emosinya cenderung tidak terkendali gampang merampang (marah membabi buta tidak perduli siapa dihdapannya). Ada juga siswa yang banyak bicara tetapi tidak mampu ‘mendengar’ dengan baik, sehingga sering menimbulkan salah paham tidak hanya dengan teman-temannya, tetapi juga dengan guru, tentu saja semuanya akan berakhir dengan keributan. Huufff…itu baru sebahagian. Jadi jangan heran jika guru yang masuk di kelas ini bakal mendendangkan ‘lagu’ complain yang berkepanjangan. Mungkin kondisi-kondisi seperti inilah yang tidak pernah didiskusikan di Perguruan Tinggi tempat calon tenaga pendidik dipersiapkan, sehingga begitu ‘turun gunung’, banyak tenaga pendidik yang jadi stress dalam menghadapi keaneka ragaman ‘warna’ tersebut.<br /><br />La Tahzan for Teacher merupakan salah satu buku ‘bergizi’ yang perlu ‘dikonsumsi’bukan saja oleh guru tetapi juga oleh orang tua. Karena pada dasarnya guru adalah orang tua siswa di sekolah (walaupun terkadang banyak guru yang tidak dapat menganggap murid sebagai anaknya di sekolah), apalagi yang memang orang tua yang telah diamanahkan anak. Selain itu problem yang dimunculkan dalam buku ini berdasarkan kisah nyata yang dialami penulis.<br /><br />Beberapa ‘keunikan’ anak dan fenomena kelas/sekolah yang kadang terabaikan yang dimunculkan dalam buku ini antara lain:<br />1. Doni, siswa dengan kondisi emosi yang tidak stabil, terkadang mengamuk di kelas tanpa sebab yang jelas.<br />2. Rahmi, siswa yang tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua, sehingga cenderung sering menyakiti diri sendiri dengan menyilet bagian tubuhnya.<br />3. Ferro, siswa yang harus ‘bertekuk lutut’ dengan ambisi orang tua.<br />4. Herman, siswa yang ‘biasa-biasa’ saja dari segi kognitif, tetapi memiliki kecerdasan interpersonal yang patut diperhitungkan (inilah kecerdasan anak yang kadang diabaikan guru)<br />5. Arlan Soebarna, siswa yang memiliki kecerdasan verbal (banyak omong dan jago berbalas pantun), tetapi banyak guru yang dibuatnya BT karena sering nyeletuk ketika guru mengajar.<br />6. Siswa-siswa yang telah terlibat dengan seks bebas<br />7. Menumbuhkan jiwa kepemimpinan pada anak<br />8. Kepercayaan yang jarang diberikan guru kepada siswa.<br /><br />Khusus poin ke delapan, saya sempat terpaku membaca bagian ini. Yaitu pada kutipan-kutipan kalimat yang diambil dari film Kungfu Panda, seperti:<br /><br /></span> <div style="text-align: center; font-weight: bold; color: rgb(0, 0, 153);"><span style="color:#000000;"><span style="font-style: italic;" class="fullpost">You’re not my teacher. You don’t even believe me</span><br /><span style="font-style: italic;" class="fullpost">To make something special, you just have to believe that it is special</span></span><br /></div> <span class="fullpost"><br />Sebelumnya saya sudah menonton film ini. Ketika itu saya sempat senyum-senyum dan manggut-manggut menyadari betapa film ini sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Namun manggut-manggut saya ketika itu semakin menemukan ‘klik’-nya setelah membaca buku ini. Ya…trust… kepercayaan itu adalah salah satu modal membangkitkan kreatifitas siswa. Bagaimana mungkin mereka ‘nyaman’ melakukan sesuatu jika kita tidak mempercayainya…?<br /><br />Masih banyak lagi problem-problem yang sering kita jumpai di lingkungan sekolah, dimana problem itu terkadang kita selesaikan dengan cara yang tidak bijak (termasuk saya sendiri, pengakuan dari lubuk hati terdalam. Hiikkss) yang dihadirkan dalam buku ini. Problem yang terkadang sekolah tidak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikannya. Seperti yang dinyatakan penulis pada halaman 16:<br /><br /></span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic; font-weight: bold; color: rgb(0, 0, 153);"><span style="color:#000000;">Sayangnya, sekolah bukanlah tempat yang terlalu ramah pada anak. Kurikulum padat, dan guru harus berkejaran dengan waktu karena semua harus selesai untuk Ujian Nasional. Tak banyak waktu tersisa untuk memperhatikan anak didik, mencari akar masalah mereka, mengobati luka yang menganga. Padahal anak-anak ini manusia.</span></span></span><span class="fullpost"><br /><br />Pada halaman 147 penulis selaku guru ‘muda’ memaparkan apresiasinya terhadap guru ‘tua’. Pada bahagian ini saya senyum-senyum membacanya, terutama pada pernyataan:<br /><br /></span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 153); font-weight: bold;"><span style="color:#000000;">Jadi ingat heboh sertifikasi guru kemarin. Lama mengajar merupakan komponen kedua yang dinilai setelah gelar sarjana. Makin lama mengajar, makin besar poinnya. Tentu kesempatan jadi certified teacher yang (katanya) mumpuni dan sejahtera juga makin lebar. Kenapa begitu, ya? Hmm…, mungkin karena makin lama mengajar, kualitas guru jadi makin bagus.</span></span></span><span style="color:#000000;"><span class="fullpost"><br /><br /></span></span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 153); font-weight: bold;"><span style="color:#000000;">Begitukah?</span></span></span><span style="color:#000000;"><span class="fullpost"><br /><br /></span></span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 153); font-weight: bold;"><span style="color:#000000;">Mungkin saja sih. Tapi ingatkah kita pada sosok guru yang makin sulit didebat, makin sok tau, dan makin membosankan saja setiap dia masuk kelas? Bukankah biasanya guru demikian adalah guru yang ‘lama’ mengajar, yang dibilang banyak pengalaman?</span></span></span><span style="color:#000000;"><span class="fullpost"><br /><br /></span></span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 153); font-weight: bold;"><span style="color:#000000;">Tentu saja usia muda tak berarti selalu baik. Kadang ‘muda’berarti mentah, emosional, dan mengedepankan ego. Kadang juga bertindak serampangan dan kurang pertimbangan. Sementara, kita banyak menemui guru tua yang makin lama makin berisi, setidaknya mereka mendukung perubahan dan angin baru di dunia pendidikan tanpa kecurigaan dan apatisme.</span></span></span><span style="color:#000000;"><span class="fullpost"><br /><br /></span></span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 153); font-weight: bold;"><span style="color:#000000;">Ah, usia.</span></span></span><span style="color:#000000;"><span class="fullpost"><br /><br /></span></span><span class="fullpost"><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 153); font-weight: bold;"><span style="color:#000000;">Usia yang bertambah memang bisa menunjukkan kematangan dan kebijaksanaan. Tapi, usia yang bertambah juga bisa mengikis idealism, mematikan antusiasme, dan menghilangkan kreatifitas. Ah, akankah hal itu terjadi pada saya, pada Chaerul, dan banyak guru lainnya? Akankah?</span></span></span><span class="fullpost"><br /><br />Setelah membaca bagian ini, tiba-tiba saja saya teringat pada diri sendiri. Walaupun saya tidak pernah merasa ‘tua’ (aih…gejala tidak tau diri kah ini..? ‘Ntahlah… he he he), tetapi setidaknya saya lebih tua dari penulis buku ini. Berdasarkan apa yang mereka paparkan, kok saya merasa mereka lebih bijaksana dari saya. Apakah saya termasuk orang yang merugi (Q.S Al-‘Ashr) ? Ya Robb, jangan biarkan aku menjadi hambaMu yang merugi.<br /><br />Pada halaman 163 penulis juga mengajak guru untuk berlapang dada jika apa yang sudah diupayakannya tidak bersambut dengan baik. Untuk kasus ini penulis mengangkat kejadian-kejadian sederhana yang sering kali muncul di kelas dan sesering itu juga menjadi akar ‘konflik’ antara guru dan murid hanya karena guru tidak mampu berlapang dada. Topik ini sangat menarik, karena saya sendiri terkadang terlibat dalam ‘konflik’ tersebut. Misalnya saja ketika guru mengajar ada siswa yang keluar kelas dan makan di kantin. Tidak hadir dengan alasan yang tidak layak, seperti membantu orang tua menyuci. Kejadian-kejadian ini menunjukkan betapa guru tidak mampu ‘bersaing’ dengan ‘keadaan-keadaan’ seperti itu.<br />Untuk kasus ini saya jadi teringat dengan soal ujian semester ganjil kemarin. Untuk menguji kompetensi siswa dalam mengeluarkan pendapat saya membuat soal dengan redaksi:<br /><br /><span style="font-style: italic;">What do you think of your school ?</span><br /><br />Ketika mengoreksi lembar jawaban, salah seorang siswa saya menjawab begini:<br /><br /><span style="font-style: italic;">Bad. If rain banjir. Sorry my teacher but it is my opinion.</span><br /><br />Waktu itu saya tertawa sendiri membacanya (saat mengetik kalimat ini pun saya senyam-senyum). Inggris-nya itu lo. Perasaan tidak pernah mengajarkan struktur kalimat seperti itu, tetapi itulah ‘struktur kejujuran’. Ha ha ha… dan saya harus berlapang dada. Saya beri anak ini nilai sempurna untuk poin soal tersebut.<br /><br />Yang paling menarik dari buku ini adalah penulis memberikan ulasan psikologi dalam menghadapi kasus-kasus yang disajikan. Jadi benar-benar menambah wawasan pedagogik seorang guru dalam menghadapi dinamika di lingkungan sekolah. Sangat bermanfaat bagi guru BP.<br /><br />Hanya saja karena buku ini diangkat dari kisah nyata yang dialami penulisnya, walaupun dibarengi dengan tinjauan psikologis, tetapi tidak menyajikan bagaimana ‘hasil terapi’ yang telah mereka lakukan pada berbagai ‘kejadian-kejadian unik’ yang mereka alami itu. Sehingga terkesan ‘kedahsyatan’ kajian psikologis tersebut baru sebatas level ‘teoritis’ belum menyentuh level ‘praktis’. Bisa jadi saya yang keliru menafsirkan, karena setelah membaca buku ini, hati kecil saya berteriak…. I’M A BAD TEACHER…!<br /><br />Namun secara keseluruhan, seperti yang saya nyatakan di bagian awal tulisan ini, La Tahzan for Teacher merupakan salah satu buku ‘bergizi’ yang perlu dibaca oleh tenaga pendidik dan orang tua. Salam hormat buat kedua penulis buku ini. Tenaga Pendidik muda tetapi memiliki aura ‘pencerah’.<br /></span></div>Sriayuhttp://www.blogger.com/profile/06305172152055129269noreply@blogger.com21