“Lucu kali lah Bapak itu. Waktu tampil nari disurunya buka jilbab. Eh pas tampil baca puisi disurunya pakek lagi jilbabnya. Nampak kali ‘topeng’-nya kan. Apa maksudnya tu kayak gitu”.
Kata-kata di atas meluncur dengan lancar dan dengan logat Medan yang kental. Diucapkan oleh seorang remaja putrid berjilbab yang mengenakan seragam salah satu SMP Negeri di kota Medan. Kelihatannya siswi tersebut bersama teman-temannya baru pulang dari sekolah. Mereka menumpang angkot yang sama dengan saya.
Mungkin bagi orang lain, kata-kata tersebut biasa saja. Tetapi tidak bagi saya yang cukup terperanjat dengan istilah TOPENG tersebut. Apalagi ketika ia mengucapkan itu rona kekesalan jelas terpancar di wajahnya. Mungkin yang disebutnya ‘Bapak’ itu adalah Bapak Gurunya. Karena pembicaraan mereka topiknya adalah kegiatan di sekolahnya. Apalagi kalimat itu diucapkan oleh seorang pelajar SMP yang berjilbab. Saya terpana…!
Kata topeng dapat dianalogikan sebagai sebuah kepura-puraan, tidak konsisten ataupun tidak punya komitmen. Karakter yang semestinya kita campakkan jauh-jauh bukan hanya dari diri kita, tetapi juga dari diri anak didik (anak-anak) kita. Namun apa jadinya jika justru mereka merasa kita lah yang menanamkan karakter tak terpuji itu. Bukankah kita telah ‘melukai’ sanubari mereka?
Terkadang tanpa sengaja kita menunjukkan prilaku kepada anak-anak yang bertentangan dengan konsep-konsep yang kita ajarkan. Kita sering lupa bahwa pendidikan tidak hanya sebatas kegiatan belajar mengajar di dalam kelas pada jam-jam belajar atau di sekitar lingkungan sekolah. Namun pendidikan mencakup seluruh gerak bahkan helaan nafas kita. Semua itu akan dirangkum oleh anak didik (anak-anak) kita. Kealpaan seperti ini tidak jarang membuat anak bingung, sehingga jangan heran jika sekarang bertaburan generasi galau.
Pertemuan tak disengaja dengan siswi-siswi berjilbab di atas angkot siang ini membuat saya introspeksi diri. Jangan-jangan saya juga pernah memberikan pola pendidikan ‘topeng’ kepada anak didik saya. Astaghfirullah. Ah, tidak ada pertemuan yang sia-sia. Begitu juga pertemuan dengan serombongan siswi SMP berjilbab siang ini. Sepanjang perjalanan bersama mereka saya asyik menyimak pembicaraan mereka tentang kegiatan sekolahnya plus dengan segala protesnya. Sungguh alam adalah sekolah yang maha luas terbentang, yang tidak akan cukup waktu untuk mempelajarinya, meskipun sepanjang hayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar 'Yes' but Spam...oh...'No'...!