Padang Bulan
Tetralogi Laskar Pelangi karya Andea Hirata, yang terdiri dari Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov telah dibaca oleh jutaan orang di negri ini, bahkan telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris (sekarang juga sedang dipersiapkan dalam bahasa Jerman). Selain itu dua diantaranya telah naik ke layar lebar, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Tetralogi Laskar Pelangi bukanlah novel biasa. Novel ini juga telah dipergunakan sebagai referensi tesis dan tulisan ilmiah lainnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika Tetralogi Laskar Pelangi mampu go international. Setelah sukses dengan Tetralogi Laskar Pelangi, kini Andrea Hirata kembali menggebrak khasanah sastra kita dengan Dwilogi Padang Bulan-nya. Dwilogi Padang Bulan, yaitu dua karya yang terdiri dari Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, dengan Padang Bulan sebagai urutan pertamanya. Dua novel dalam satu buku yang saling berhimpitan secara terbalik. Sehingga membuat novel ini menjadi 500-an halaman. Akankah novel ini mampu mengulang kesuksesan yang sama ?
Yang pasti Dwilogi Padang Bulan semakin menguatkan eksistensi serta kapasitas seorang Andrea Hirata sebagai Cultural Novelist, sebagai periset sosial dan budaya. Watak manusia yang penuh kejutan, sifat-sifat unik sebuah komunitas, parody, dan cinta, ditulis dengan cara membuka pintu-pintu baru bagi pembaca untuk melihat budaya, melihat diri sendiri, dan memahami cinta, hubungan keluarga, dan religi dengan cara yang tak biasa. Ya…tak biasa. Karena Andrea Hirata bukanlah novelist biasa. Sungguh…tak biasa…! Sebagaimana cinta Ikal pada A Ling yang bukan cinta biasa…!
Pada novel pertama, yaitu Padang Bulan dibuka dengan mengisahkan tentang perjuangan seorang anak manusia yang bernama Enong. Enong yang begitu gigih mewujudkan keinginannya untuk belajar bahasa Inggris. Demi sebuah obsesi untuk menjadi “guru dari sebuah bahasa yang asing dari Barat”. Begitu Andrea Hirata mengungkapkannya dalam novel ini. Sebuah gaya bahasa yang menunjukkan kedalaman intelektualitas dan humor yang…lagi-lagi tak biasa.
Namun Enong harus berhadapan dengan pusaran nasib yang menggiringnya menjadi tulang punggung keluarga karena ayahnya meninggal ketika ia masih bocah. Sugesti dari sang ayah sebelum meninggal berupa “Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata” menjadi spirit yang tak pernah mematikan semangatnya. Walaupun badai kehidupan terus menerpa, tetapi semangat Enong untuk menjadi “guru dari sebuah bahasa yang asing dari Barat” tak pernah padam. Semangat Enong ini telah menjadi spirit bagi Ikal dalam meraih cinta A Ling yang harus kandas sesaat karena tiada restu dari lelaki yang tak banyak bicara, lelaki juara satu sedunia, itulah ayahnya.
Selain kisah Enong, Andrea juga memoles Padang Bulan dengan kisah cintanya pada A Ling. Tentu saja sebagai kelanjutan Tetralogi Laskar Pelangi. Karena pada Maryamah Karpov sangat jelas tergambar betapa novel ini belum usai. Jika pada Laskar Pelangi Ikal mulai mengenal cinta, maka pada Padang Bulan Ikal mulai mengenal cemburu. Cemburunya pada Zinar yang dipicu hanya karena informasi keliru dari sang detektif kampung nan kontet, Detektif M. Nuh yang berpartner dengan Jose Rizal (nama merpati pos-nya). Jose Rizal telah menjadi media komunikasi antara Ikal dan Detektif M. Nuh yang akan membuat pembaca tak dapat mengendalikan diri untuk tidak tertawa tebahak-bahak. Bahkan bisa dianggap orang sinting jika membaca buku ini di tempat sepi. Belum lagi teori-teori ‘penyakit gila-nya. Hi hi hi…!
Banyak novelist mengapresiasikan ‘Cemburu’ dengan bahasa metafora yang itu-itu saja. Tetapi hal ini tidak dilakukan Andrea. Salah satu hal yang membuat saya pertama kali ‘jatuh cinta’ dengan karya Andrea adalah gaya bahasa ilmiahnya yang begitu sarat. Bahasa yang menunjukkan intelektual religius yang tinggi dari seorang penulis. Berikut adalah bagaimana Andrea Hirata menganalogikan kata ‘Cemburu’:
“Cemburu adalah perahu Nabi Nuh yang tergenang di dalam hati yang karam. Lalu, naiklah ke geladak perahu itu, binatang yang berpasang-pasangan yakni perasaan tak berdaya-ingin mengalahkan, rencana-rencana jahat-penyesalan, kesedihan-gengsi, kemarahan-keputusasaan, dan ketidakadilan-mengasihani diri.”
“Cemburu, adalah salah satu perasaan yang paling aneh yang pernah diciptakan Tuhan untuk manusia”
“Lalu, sisa malam yang tak kunjung khatam itu, kulewatkan dengan satu bentuk siksaan lain, yaitu membenci Zinar dan A Ling, namun sekaligus pula menghormati kelebihan lelaki itu dan merindukan perempuan itu. Ah, repot sekali. Dalam keadaan itu, jika aku sempat tertidur, datanglah mimpi-mimpi. Ternyata, mimpi dalam bayang-bayang cemburu amat janggal dan canggih.”
(Padang Bulan, hlm. 127)
Sungguh sebuah ungkapan ‘cemburu’ dengan bahasa kedewasaan tingkat tinggi, yang membuat pembaca jadi tersenyum dan tetap semangat dalam menghadapi hidup. Padang Bulan memang sangat cocok dibaca oleh mereka-mereka yang sedang dilanda cemburu. Bagaimana menyikapi rasa cemburu dengan arif. Supaya cemburunya dapat terkendali, tidak bablas menjadi cemburu buta. Ha ha ha..!
Sebagaimana novel-novel-nya yang lalu, Padang Bulan juga dikemas dalam Mozaik-mozaik yang menggelitik. Namun ada sedikit perbedaan dengan Tetralogi Laskar Pelangi. Jika pada Tetralogi Laskar Pelangi setiap Mozaik dalam kemasan yang cukup panjang, maka pada Padang Bulan dikemas dengan Mozaik yang lebih singkat, namun ‘pesan’ penulis tetap sarat makna.
Salah satunya adalah pada Mozaik 16; Waktu Yang Hakikat:
Bagi para pesakitan, waktu adalah musuh yang mereka tipu saban hari dengan harapan. Namun, di sana, di balik jeruji yang dingin itu, waktu menjadi paduka raja, tak pernah terkalahkan. Bagi para politisi dan olahragawan, waktu adalah kesempatan yang singkat, brutal, dan mahal.
Para seniman kadang kala melihat waktu sebagai angin, hantu, bahan kimia, seorang putri, payung, seuntai tasbih, atau sebuah rezim. Salvador Dali telah melihat waktu dapat meleleh. Bagi para ilmuwan, waktu umpama garis yang ingin mereka lipat dan putar-putar. Atau lorong, yang dapat melemparkan manusia dari masa ke masa, maju atau mundur. Bagi mereka yang terbaring sakit, tergolek lemah tanpa harapan, waktu mereka panggil-panggil, tak datang-datang.
Bagi para petani, waktu menjadi tiran. Padanya mereka tunduk patuh. Kapan menanam, kapan menyiram, dan kapan memanen adalah titah dari sang waktu yang sombong. Tak bisa diajak berunding. Tak mempan disogok. Bagi yang tengah jatuh cinta, waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan, sekaligus kecemasan. Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjelma menjadi jerat. Semakin cinta melekat, semakin kuat waktu menjerat. Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik.
(Padang Bulan, hlm. 83-84)
Keindahan kisah, kedalaman intelektualitas, humor dan histeria kadang-kadang, serta kehati-hatian sekaligus kesembronoan yang disengaja telah menjadi ciri gaya penulisan Andrea Hirata. Kemampuannya bereksperimen dalam bentuk ide tulisan yang kuat serta kemampuan menyeimbangkan mutu dan penerimaan yang luas dari masyarakat adalah daya tarik sekaligus misteri terbesar Andrea Hirata. Sehingga walaupun pada Padang Bulan terurai kisah cinta Ikal dan A Ling, namun kita tidak perlu khawatir jika buku ini dalam genggaman bocah-bocah usia 7 – 13 tahun. Mungkin inilah stu-satunya novel cinta edukatif yang tidak akan kita temukan kalimat-kalimat bernuansa ‘vulgar’ di dalamnya. Kenapa…? Karena ini bukan novel cinta biasa. Novel ini ditulis oleh seorang penulis yang memiliki cinta yang tak biasa…! Gak percaya..?? Baca aja deh bukunya, setelah itu kita bisa diskusi di kotak komentar. OK…??