Siang itu saya sedang menunggu seorang teman di ruang tunggu sebuah sekolah negeri di kota Medan (sederajat SLTA). Tidak berapa lama menunggu muncul seorang wanita muda berjilbab. Saya tersenyum menyapanya. Lalu dia juga duduk di ruang tunggu. Kami pun segera terlibat dalam obrolan ringan. Iseng saya bertanya apa tujuannya ke sekolah tersebut. Katanya akan memberi les tambahan. Ternyata dia juga sedang menunggu. Hanya saja jika saya menunggu teman selesai tugas, wanita muda tersebut menunggu waktu. Ya, ia menunggu waktu untuk memberikan les tambahan kepada siswa kelas XII sebagai persiapan UN. Yang menarik perhatian saya, wanita muda tersebut ternyata bukan guru di sekolah itu, melainkan utusan dari sebuah bingbel yang cukup dikenal di kota Medan dan sekitarnya. Hmm…’seru’ nih. Jika siswa mengikuti bingbel setelah pulang sekolah di lokasi bingbel tersebut mungkin hal biasa. Tetapi jika tutor-tutor bingbel dihadirkan ke sekolah menggantikan guru, aiiiih sungguh peran guru telah digusur bingbel di lingkungan sekolahnya sendiri. Ada apakah dibalik kebijakan ini?
Penasaran saya bertanya kepada guru di sekolah tersebut tentang kebijakan ini. Jawaban yang saya dapatkan sungguh membuat diri ini terkejut.
“Kami melakukan kerjasama dengan bingbel untuk persiapan siswa kelas XII dalam menghadapi UN. Untuk siswa regular tutornya dari bingbel X (risih jika menyebut nama bingbel-nya. He he heee), sedangkan untuk siswa unggulan tutornya dari bingbel Y”.
Demikian jawaban yang saya dapatkan dari guru tersebut.
Duhai, bingbel Y memang dikenal lebih bonafid dari pada bingbel X. Duh, kastanisasi pendidikan terjadi lagi. ‘Kerjasama’; betapa menariknya kata-kata ini. Lalu bagaimana peran guru dalam mempersiapkan siswanya menghadapi UN? Mengapa bukan gurunya sendiri yang memberikan les tambahan di sore hari jika memang itu diperlukan? Bukankah guru lebih mengenal karakteristik siswanya jika dibandingkan tutor-tutor dari bingbel tersebut? Mereka lebih memahami plus minus siswanya. Sehingga lebih memahami juga bagaimana cara me-recover-nya. Seorang guru kampung seperti saya rada sulit memahami konsep ‘kerjasama’ seperti ini. Apalagi ini dilakukan oleh sekolah berlabel NEGERI. Duuhh…miris euy…!!
Fenomena ini menunjukkan betapa UN telah menimbulkan pola pikir praktis yang sangat jauh dari falsafah belajar. Apalagi falsafah pendidikan. Siswa dengan keletihan yang sarat beban terus digiring untuk menjawab soal-soal yang terkadang dia sendiri tidak tahu apa manfaatnya bagi kehidupannya sehari-hari. UN juga telah menimbulkan pemikiran-pemikiran ‘kreatif’ yang lebih mendekati nilai-nilai ekonomi dari pada nilai-nilai pendidikan. Mulai dari pemerintah yang telah menganggarkan biaya UN dengan jumlah mencapai miliar-an (konon tahun 2013 anggaran UN mencapai 600M. Fantastis…! Apakah karena UN 2013 dengan 20 paket? Entahlah…!!) sampai munculnya kebijakan-kebijakan ‘unik’ yang sarat dengan jual beli jasa seperti ini. Selagi UN masih dijadikan exit exam, kondisi-kondisi seperti ini sulit diprediksi kapan terhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar 'Yes' but Spam...oh...'No'...!