Istilah ‘Profesional’ begitu akrab ditelinga para pendidik seiring dengan digulirkannya program Sertifikasi Guru pada tahun 2006 yang lalu. Sebagai indikator ke-profesional-an tersebut ditentukan oleh dua kompetensi. Yaitu Kompetensi Kepribadian dan Kompetensi Sosial.
Adapun indikator Kompetensi Kepribadian adalah:
1. Kedisiplinan
2. Penampilan
3. Komitmen
4. Keteladanan
5. Semangat
6. Tanggung Jawab
Sedangkan indikator Kompetensi Sosial adalah:
1. Kesantunan Berprilaku
2. Kemampuan Bekerja Sama
3. Kemampuan Berkomunikasi
4. Empati
Sungguh indikator-indikator yang sangat ‘indah’ terdengar. Namun sayang, semua tuntutan kompetensi tersebut diuji hanya melalui lembaran-lembaran kertas yang disebut Sertifikat/dokumen (termasuk ijazah). Lembaran-lembaran tersebut termaktub dalam kumpulan yang kita sebut Porto Folio.
Sejauh mana efektifitas Porto Folio dapat kita lihat dari berbagai fenomena yang muncul ke permukaan. Ada yang menawarkan penyusunan porto folio lengkap dengan sertifikat/dokumen dengan biaya sekian juta. Belum lagi transaksi jual beli sertifikat seminar tanpa harus mengikuti kegiatannya. Status S1 yang merupakan akses utama menuju istilah ‘profesional’ ini pun menjadi ajang bisnis yang luar biasa.
Dengan hadirnya ‘kenyataan’ ini, dari manakah kita harus memulai Pendidikan Karakter ? Dua kata yang akhir-akhir ini ‘didendangkan’ para pengambil kebijakan pendidikan negri ini? (Bukankah sejak jaman Ki Hajar Dewantara Pendidikan Karakter telah ditanamkan dalam pola pendidikan Indonesia tanpa harus meributkan istilah dari ‘Pendidikan Karakter’ itu sendiri ?). Sistem dari sebuah program yang salah atau memang mental hedonisme yang begitu melekat di diri kita ? (Wallahu’alam bishawab). Karena program sertifikasi lebih condong ditargetkan pada Tunjangan Profesi dari pada peningkatan kompetensi diri. Sehingga jangan heran, lebih banyak tenaga pendidik yang ‘berupaya’ sedemikian rupa menge-set porto folio-nya agar tidak masuk PLPG. Padahal justru PLPG adalah ajang yang paling tepat untuk mengasah kompetensi diri.
Selain itu tuntutan untuk meningkatkan tingkat pendidikan di kalangan para pendidik, maka dianjurkan untuk melanjutkan studinya. Program ini pun bertujuan positif. Tetapi sayangnya, hanya segelintir yang memang benar-benar melanjutkan studi karena ingin meningkatkan kompetensi diri. Kebanyakan hanya untuk berupaya meningkatkan tingkat golongan kepegawaian karena smakin tinggi tingkat golongan semakin tinggi juga pendapatan setiap bulan. Sungguh sesuatu yang mubazir (gelar ‘melimpah’ tetapi kompetensi ‘payah’). Bahkan terkadang semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tidak terkendali juga budaya copast. Namun hal ini tidak akan terjadi jika lagi-lagi Sertifikat/dokumen bukanlah acuan mutlak untuk menguji semua itu.
Dari berbagai kenyataan yang muncul tersebut, pendidikan karakter tak ubahnya seperti missing link, yang membingungkan…dari mana harus dimulai ? Apakah ini kesalahan sebuah system atau mental bangsa yang benar-benar perlu di-up grade ? Jika ya…dari manakah harus dimulai ?
Silahkan sahabat yang membaca artikel ini untuk mengungkapkan komentarnya di kotak komentar.
Artikel sangat menarik,bu.Saya tidak ada pengetahuan tentang guru di Indonesia sama sekali...jadi"no comment"!Thanks,sharingnya ya...
BalasHapusNo problem lah. Syukron sdh berkunjung. Sukses slalu
BalasHapusKalo diramu lagi antara Kompetensi kepribadian sama sosial jadinya apa Bu?
BalasHapusya jd 'PROFESIONAL' dong. Gt sih katanya. ha ha ha.
BalasHapusThanks y Zool sdh berkunjung
thanks buat sharingnya ,, ... !!
BalasHapusPendidikan karakter memang hrs digalakkan ,, agar etika maupun estetika kita terlatih untuk pembetukkan pribadi qt ,, .. :) good job
yang sangat perlu itu menurutku empati ya mbak, masih jarang guru yg bisa berempati dgn murid2nya :)
BalasHapus@Om-Digit: benar Om. Cuma pertanyaannya dari mana harus dimulai jk kenyataan bertentangan dengan konsep...?
BalasHapus@Waroeng coffee: yap benul. Jk d skul negeri yg diopenin hanya siswa kelas unggulan. Yg dibawah unggulan...dicuekin deh. Miris euy..!
hm, suatu kekeliruan yg telah mensistem,
BalasHapus*like this article very much mb', sip bgt, ^_^d
yap...mensistem...menggurita...menganakonda...!
BalasHapusHalaahhh 'ntah apa lagi lah namanya. ha ha ha.
Dampak dari semua ini bakal menghadirkan 'Gayus-Gayus' baru...!
Huff... Ya Tuhan.. Sungguh aku malu..!
hm, iya y mb,
BalasHapusmesti ada perbaikan, at least dari diri kita masing2, =)
Bangeett..! Cuma strategi menyebarkan 'virus'-nya yang masih mikir. xi xi xi.
BalasHapusThank Cita utk komen-nya.
Memang para pendidik adalah salah satu ujung tombak yang utama dalam memajukan negeri ini. Peran mereka cukup menentukan dalam mendidik para siswa. Karena itu program sertifikasi tentunya disambut gembira oleh para orang tua/wali murid. Para pendidik yang telah mengantongi sertifikat tersebut tentunya orang yang terpilih dan memenuhi standar yang telah ditentukan. Disisi lain tingkat kesejahteraan mereka juga meningkat karena mendapatkan tunjangan yang cukup besar. Namun bagaimana kenyataan di 'lapangan' ? Karena itu perlu terus dilakukan evaluasi dan perbaikan terus menerus sehingga menjadi semakin baik dan sempurna. Perlu komitmen, kesungguhan, dan keteladanan untuk mempersembahkan yang terbaik bagi negeri ini. Mencetak dan mendidik para siswa sehingga berprestasi, mempunyai budi pekerti luhur dan bermanfaat bagi keluarganya, lingkungannya, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
BalasHapusAkan tampak indah dalam hidup, bila pendidik negeri ini tak tercampuri oleh paham materialisme..karena TuhanNya sudah menjanjikan tanggungan penuh bagi mereka yg bersungguh-sungguh dalam berjuang menjalankan aturannya, termasuk menjadi pendidik yang amanat, jujur, sederhana dalam hidupnya,karena indikator kompetensi kepribadian dan sosial itu hanya bahan mentah yang harus dimetabolisme, sehingga energinya tersalurkan dalam diri pendidik itu sendiri sehingga generasi penerus bangsa ini tak semakin carut marut laksana cuaca yang diakibatkan oleh kerakusan manusia yang seharusnya menjadi khalifa TuhanNya..Insya Allah, dengan menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam pendidikan itu sendiri karakter siswa dan kekurangan yang ada lambat-laun, akan bisa teratasi asalkan kometmen pendidik tak berorientasi UPAH DOANG..Lihatlah pejuang pendidikan zaman dulu (KH. Dewan Toro) dg 3 pesannya????(Guru tak tahu keterlaluan deee).
BalasHapusRENUNGAN BERSAMA???