Memberikan Hadiah Untuk Meningkatkan Motivasi
Setiap orang tentu akan merasa berarti dan melonjak semangatnya jika segala upayanya dihargai. Begitu juga dengan anak didik. Tentu belum hilang dibenak kita ketika kita masih berstatus murid. Bagaimana berbunganya hati ketika mendapat penghargaan dari Bapak/Ibu guru kita. Jangankan penghargaan, dipuji saja sudah sumringah. Tanpa kita pernah mengkaji-kaji harganya. Bagi kita pemberian/penghargaan itu lebih berharga dari apapun.
Para pendidik muslim hendaknya memberikan imbalan/penghargaan kepada siswa yang bersungguh-sungguh dan berprestasi dengan berbagai hadiah dan pemberian yang islami. Tentu saja pemberian tersebut dapat bermanfaat bagi mereka dengan seijin Allah (manfaat dunia akhirat)
Selain sebagai hadiah, pemberian itu juga dapat berdampak positif, misalnya hubungan menjadi lebih erat karena ada rasa saling menyayangi dan mengasihi karena Allah, serta dapat menghilangkan penyakit-penyakit hati.
Dalam sebuah hadits-nya yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah telah bersabda:
Jika seorang guru melihat ada siswanya yang komitmen terhadap Islam dan ia juga seorang siswa yang tekun belajar, maka tidak ada salahnya untuk memuji dan memberinya hadiah di depan teman-temannya. Hal ini bertujuan agar teman-temannya yang lain terdorong ingin mengikuti langkah siswa tersebut (Fastabiqul Khairat)
Allah SWT berfirman:
(Q.S 83; 26)
Nilai-nilai Pembelajaran dari Sejarah Rasulullah SAW
A. Menggembalakan Kambing
Pada usia lima tahun, Rasulullah mempunyai tugas untuk menggembala kambing. Menggembala kambing adalah profesi para Nabi dan Rasul. Nabi Ibrahim a.s, Nabi Musa, a.s dan Nabi Muhammad SAW adalah penggembala kambing.
Menggembala kambin yang dilakukan para Nabi sebelum diberi tugas risalah bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah scenario Allah yang harus dilakoni para Nabi. Kendati profesi tersebut tidak membutuhkan kecerdasan dan ketrampilan memimpin seperti layaknya memimpin umat atau bangsa, profesi tersebut menjadi keharusan dalam sejarah perjalanan hidup para Nabi karena beberapa hikmah Illahiah berikut:
1. Menggembala kambing adalah suatu fase pendidikan kejiwaan yang harus dilalui oleh para Nabi, agar dapat menyampaikan dakwahnya kepada seluruh manusia dengan santun.
2. Ketika calon Nabi keluar menggembalakan kambingnya di padang rumput, ia berhadapan langsung dengan alam raya yang luas. Ia dengan leluasa dapat memperhatikan langit dan bintang, menyaksikan pergantian siang dan malam, merenungi gerak alam, kehidupan dan manusia. Dari proses perenungan ini terbentuklah aqidah di dalam dirinya. Secara prikis ia siap menerima risalah ilahiah.
Dengan demikian, menggembalakan kambing adalah suatu fase pendidikan ideology, disamping pendidikan psikologi bagi para Nabi sebelum menerima risalah ilahiah
B. Berdagang ke Bushra.
Momen ini merupakan tarbiyah ilahiyah yang menuntun beliau memahami wawasan dan cakrawala luas tentang kondisi masyarakat yang serba plural. Saat itu kota Bushra adalah pusat perdagangan di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi. Pelajaran yang beliau dapatkan adalah Allah memberikan pengalaman hidup di Negara asing. Pengalaman hidup ini dapat dibandingkan dengan adat, tradisi, dan keadaan social dengan lingkungan tanah airnya sendiri. Beliau dapat mengetahui ilmu berdagang dan berbisnis yang menguntungkan, mempelajari watak dan prilaku masyarakat Negara asing beserta adat istiadatnya. Tarbiyah ilahiyah inilah yang mewujudkan sikap afektif beliau dalam memahami sikap sosial positif dengan orang lain.
Yang terpenting dari pengalaman tersebut adalah ketika beliau diangkat menjadi Nabi, maka beliau menetahui kondisi masyarakat yang harus digarap sebagai sasaran dakwahnya. Dengan pengalaman tersebut seakan-akan Allah menunjukkan beginilah kondisi masyarakat dunia yang sebenarnya, pelajari mereka, dan carilah cara yang tepat untuk mengajak mereka pada Islam kelak. Oleh karena itu, ketika diutus menjadi Nabi, beliau sudah mengetahui kondisi masyarakat, terutama akidahnya. Apalagi Bushra pada waktu itu menjadi dareah jajahan Romawi yang beragama Nasrani. Hal ini bisa menjadi PR beliau saat itu, bagaimana seharusnya beliau menghadapi orang Nasrani, Yahudi dan para penyembah berhala.
C. Ikut Perang Fijar Pada Usia 14 Tahun
Perang Fijar adalah peperangan antara Suku Quraish dan Suku Qais ‘Ailan. Beliau ikut membantu mempersiapkan alat-alat perang kawan-kawannya. Perang ini merupakan upaya untuk mempertahankan kesucian bulan-bulan haram (Dzulqa’idah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab) dan Tanah Suci Makkah yang berlangsung selama empat tahun.
Tarbiyah ilahiyah yang beliau peroleh adalah tentang pentingnya pendidikan psikomotorik, yaitu kemampuan menggunakan potensi fisik, tenaga, ketangkasan dan keberanian dalam menghadapi kondisi yang keras dan penuh tantangan. Dalam perang ini Allah mengajari beliau bagaimana menggunakan fisiknya untuk bisa lepas dari kondisi yang mendesak dan berbahaya. Ketrampilan dan ketangkasan beliau diuji dalam menghadapi musuh. Seakan-akan Allah mengajarkan untuk selalu menjadi seorang yang pemberani dalam menghadapi manusia, jangan berputus asa, selalu berjuang dan tabah dan menggunakan potensi fisik untuk hal-hal yang positif
Wallahu’alam bishawab
Referensi:
1. Dr. Abu Bakar Ahmad As Sayyid, Kepada Para Pendidik Muslim, Gema Insani Press, 1996
2. Nasiruddin, Cerdas Ala Rasulullah, A+Plus,2009
Selengkapnya...