MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

2 Juli 2010

Dibalik Kebijaksanaan UN 2010



Hasrat hati ingin mengulas Dwilogi Padang Bulan untuk buku kedua, yaitu Cinta di Dalam Gelas. Tetapi baru saja mendapat info by email yang sangat bermanfaat untuk dunia pendidikan. Ya pending dululah. Artikel ini sudah mendapat izin dari sumbernya untuk dishare. Sungguh ada rasa miris bercampur ‘geram’ membacanya. Tetapi inilah Indonesia-ku…!

===================================================================

UN Mau Dibawa Ke Mana?
Heru Widiatmo, Ph.D.
(Peneliti di American College Testing, USA)


Setiap tahun selalu ada berita kejutan dengan Ujian Nasional (UN). Tahun ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tertanggal 13 Oktober 2009 pelaksanaan UN untuk sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMA dan SMK) akan dilaksanakan pada bulan Maret 2010. Jadwal ini satu bulan lebih cepat ketimbang jadwal tahun-tahun sebelumnya. Alasan perubahan jadwal, karena UN akan diadakan dua kali yaitu UN utama dan ulangan. Ujian ulangan diberikan hanya bagi siswa yang tidak lulus pada ujian utama.

Kalau kita setuju dengan alasan ini dan menggunakan data tahun lalu sebagai acuan, maka sekitar 6%, 4%, dan 5% masing-masing siswa SMP, SMA, dan SMK akan mendapat keuntungan dengan adanya UN ulangan ini. Tetapi, melihat jadwal ujian utama dan ulangan hanya berselang 6 minggu dan dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya pengumuman kelulusan bisa lebih dari empat minggu setelah pelaksanaannya, kecil kemungkinan mereka dapat mempersiapkan diri lebih baik dan lulus pada UN ulangan jika UN dilaksanakan sesuai kaidah standar tes yang berkualitas. Jadi assumsi UN ulangan dapat memberikan manfaat bagi siswa masih tanda tanya besar.

Sedangkan mudarat perubahan jadwal dan kebijakan secara tiba-tiba ditengah-tengah tahun ajaran lebih banyak dan sudah pasti akan terjadi. Pertama, dengan memajukan jadwal UN memaksa sekolah mempercepat materi pembelajaran kelas III, agar sekolah dapat lebih cepat mempersiapkan siswanya menghadapi UN. Akibatnya, pembelajaran siswa kelas III menjadi tidak optimal. Kedua, pemerintah dan mereka yang terlibat akan menghabiskan tenaga, waktu, dan biaya lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya karena disibukkan pelaksanakan UN dua kali.

Ketiga, bagi mereka yang paham dengan ilmu testing tentu tidak sependapat dengan adanya ujian ulangan pada high stake exams yaitu tes skala besar yang menentukan kelulusan (seperti UN), karena akan menimbulkan ketidak adilan dan secara ilmiah tidak dapat diterima. Bagaimana, misanya, jika siswa ketika ikut UN ulangan mendapat nilai 9, apakah nilai ini akan dicantumkan di ijasah? Jika nilai ini digunakan, tentu tidak fair bagi siswa lain yang lulus pada UN utama tapi mendapat nilai lebih rendah dari 9. Sebaliknya, kalau nilai ini diabaikan tidak fair bagi siswa tersebut. Selain itu, penulis belum pernah memperoleh informasi adanya ujian ulangan pada high stake exams di negara lain. Model ujian ulangan seperti ini hanya mungkin diterapkan untuk classroom tests, tidak untuk tes seperti UN.

Ketidak pahaman bagaimana seharusnya UN diterapkan sesuai ilmu testing selama lima tahun terakhir ini tidak lepas dari peran BSNP yang mempunyai wewenang penuh dalam menentukan kebijakan, pelaksanakan, dan evaluasi UN. Latar belakang 14 dari 15 profesor anggota BSNP yang tidak dari bidang penilaian pendidikan menyebabkan kebijakan-kebijakan BSNP tentang UN setiap tahun selalu menuai kontroversi. Apalagi mereka bekerja di BSNP tidak fulltime, tetapi hanya satu atau dua hari dalam satu minggu, mengingat mereka juga bekerja sebagai tenaga pendidik di perguruan tinggi masing-masing.


Belajar dari Negara Lain

Kita perlu mengamati profesionalisme dan keseriusan negara lain menangani sistim ujiannya. Terlepas dari apakah mereka menerapkan sistim ujian akhir nasional (seperti Indonesia) atau tidak, yang pasti mereka memiliki suatu lembaga penilaian independen yang khusus melakukan penelitian, mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi sistim ujian yang tepat bagi negaranya. Lembaga ini beranggotakan dan memperkerjakan orang-orang yang memang pakar dibidangnya dan tentunya bekerja fulltime (bukan sambilan). Sebagai contoh Singapura dengan Singapore Examination and Assessment Board, Malaysia dengan Lembaga Peperiksaan Malaysia, di China ada National Education Examination Authority (NEEA), dan di United States of America (USA) ada dua lembaga testing yang terkenal di dunia testing yaitu Educational Testing Services (ETS) dan American College Testing (ACT).

UN di China dibawah kendali NEEA. Selain untuk menentukan kelulusan, nilai UN-nya digunakan untuk masuk ke perguruan tinggi. Badan ini memperkerjakan puluhan pegawai lulusan S3 dari bidang penilaian pendidikan, dan setiap tahun mengirim stafnya ke lembaga-lembaga testing lain yang lebih maju untuk memperdalam ilmu testing dan penerapannya. Sebagai contoh, bulan September dan Oktober kemarin sejumlah 7 orang pegawai NEEA magang di ACT selama sekitar satu bulan. Dan sebagai bukti bahwa NEEA bekerja professional, mereka diberi wewenang mengadministrasikan pelaksanaan semua international standardized tests milik negara lain; seperti tes-tes milik ETS dan ACT yaitu Test of English as a Foreign Language (TOEFL), dan Graduate Record Examinations (GRE).

Berbeda dengan Indonesia dan China, USA tidak mengenal UN. Kelulusan ditentukan oleh negara bagian (state) masing-masing. Banyak state memberlakukan kelulusan, tetapi ada juga yang tidak. Bagi state yang tidak menggunakan standar kelulusan, mereka tetap memberikan standardized tests pada tingkatan kelas-kelas tertentu hanya untuk mengukur perkembangan pendidikan siswa (tidak digunakan untuk menentukan kenaikan kelas atau kelulusan). Untuk state yang memberlakukan kebijakan kelulusan, kelulusan ini (lebih tepatnya disebut sertifikasi) hanya berlaku di tingkat SMA tidak untuk SMP apalagi SD. Yang menarik, ujian sertifikasi ini boleh diambil setelah siswa menyelesaikan pendidikannya di kelas 9 (Kelas 3 SMP). Bagi yang tidak lulus tetap dapat terus belajar di kelasnya masing-masing, dan dapat mengulang tes ini satu semester kemudian. Karena di USA ada 3 semester dalam satu tahun ajaran, siswa mendapat 9 kali kesempatan menempuh tes ini untuk memperoleh sertifikat kelulusannya.

Walaupun tidak semua state mengenal ujian kelulusan, Department of Education atau DOE (Depdiknas-nya USA) mempunyai mekanisme memonitor perkembangan pendidikannya paling tidak melalaui informasi dari dua testing. Pertama, setiap tiga tahun DOE dibantu ETS dan ACT mengadministrasikan National Assessment of Educational Progress (NAEP). Tes ini merupakan survey-test yang dibuat untuk memonitor perkembangan kemampuan siswa USA dalam Reading, Matematics, dan Science. Kedua, setiap siswa SMA yang akan melanjutkan ke universitas di USA diharuskan mengambil ACT Assessment; yaitu tes yang mengukur kemampuan siswa dalam Reading, Matematics, science, dan English. Karena identitas siswa lengkap (mencantumkan asal sekolah) pada saat mengikut tes ditambah informasi dari NAEP, kualitas pendidikan di setiap sekolah, district (kecamatan, kabupaten/kotamadya ), dan state di USA dapat dipetakan dan dibandingkan.

Lembaga Penilaian Profesional

Kembali ke masalah UN di Indonesia, penulis tidak pro atau kontra dengan adanya UN. Masalahnya adalah dengan segala keterbatasan yang ada pada BSNP, penulis tidak yakin hasil UN dapat menjadi alat ukur (measurement tool) yang reliable (handal) dan valid (dapat dipercaya) untuk melihat perkembangan pendidikan di Indonesia. Sulit (atau mungkin juga mustahil) kita dapat memperbaiki dan meningkatan kualitas pendidikan negara kita melalui model dan penyelenggaraan UN seperti apa yang kita kerjakan selama ini. Waktu, tenaga, dan biaya ratusan milyar rupiah yang kita keluarkan setiap tahun, tidak sepadan dengan apa yang kita dapatkan. Sebagai informasi, UN tahun lalu menghabiskan dana sekitar 900 milyar rupiah.

Belajar dari negara lain, pemerintah melalui Depdiknas harus segera membentuk suatu lembaga penilaian pendidikan yang bekerja secara professional dan fulltime untuk meneliti, mendisain, merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi sistim ujian yang tepat bagi bangsa Indonesia. Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) BSNP perlu diperbaiki dan dibatasi. Tupoksi mereka hendaknya dibatasi hanya memikirkan masalah kebijakan yang berhubungan dengan mutu dan standarisasi pendidikan nasional, dan mereka tidak lagi terlibat dalam masalah-masalah teknis penilaian pendidikan (seperti menentukan jadwal, jumlah paket, jumlah soal, dan skoring UN). Harapan penulis, Indonesia masa depan memiliki lembaga penilaian khusus yang dikelola secara professional dan memperkerjakan para pakar penilaian pendidikan yang dapat memperbaiki sistim pengujian di Indonesia. Semoga ……………………..

Iowa City, 29/11/2009

13 komentar:

  1. pendidikan harus jadi prioritas utama ke timbang pembangunan

    BalasHapus
  2. terkesan terLaLu terburu-buru dan sebuah fenomena di baLiknya yah buw. tapi mau di apakan Lagi memang sudah begono adanya, indonesia yah tetap indonesia tidak akan pernah berubah kaLo tidak dimuLai dari diri kita sendiri untuk menyikapinya.

    terLepas dari tuLisan di atas, sekedar untuk ngeshare aja berdasarkan pengaLaman pribadi. semoga bermanfaat bagi para orang tua siswa sebagai media pengingat.

    kiranya yang di cari di sekoLah adaLah iLmu pengetahuan, bukan niLai atau gengsi atau biaya murah atau sejenisnya.
    bagi si_om yang enggak pernah duduk dibangku sekoLah negeri, dari tingkat SD sampe perkuLiahan. si_om kira semua sekoLah sama aja yang penting tergantung dari keinginan siswa yang ingin tetap menggaLi iLmu pengetahuan.
    adapun mengenai biaya, toh banyak sekoLah-sekoLah swasta yang Lebih murah dari sekoLah negeri.
    begitupun dari kuaLitas siswanya, beLum tentu kwaLitas siswa sekoLah swasta Lebih rendah dari siswa sekoLah negeri. ini berdasarkan pengaLaman pribadi, tapi enggak bisa nyebutin contohnya karena tatut di anggap sombong. hihihi...
    tinggaL si orang tua menyikapi untuk menyikapi dan mengambiL strategi (positif) agar anak-anaknya bisa UN dan kaLopun mereka enggak bisa masuk ke sekoLah negeri atau para orang tua enggak bisa menyekoLahkannya di Luar negeri, toh tinggaL bagaimana caranya untuk mengarahkan anak-anak agar tetap menjadi seorang siswa yang berkuaLitas.

    BalasHapus
  3. @All: yang membuat saya rada 'geram' adalah teks yg saya 'hijau'-kan itu. Bayangkan saja, ternyata 'aturan main' yg ad slama ini adalah hasil dari kerja sampingan (satu atau dua hari dalam 1 minggu). Sementara dampak negatifnya begitu mengglobal d negri ini. Aiihh...berapa banyak anak bangsa yg sudah menjadi korban. Blm lagi berapa banyak 'idealisme' guru tergadai...!
    Ya Rabb....ampuni kami...!!

    BalasHapus
  4. Sebagai salah satu wujud dari standar penilaian, UN memang diperlukan, dengan catatan asumsi-asumsinya-- sebagaimana tertuang dalam 8 standar pendidikan-- dapat terpenuhi,
    Sayangnya asumsi-asumsi tersebut hingga saat ini tampaknya masih perlu dipertanyakan, sehingga UN terkesan selalu dipaksakan dan memaksakan diri.

    BalasHapus
  5. @Pak Akhmad Sudrajat: Setuju Pak.. UN masih diperlukan, tetapi jk d jadikan standar kelulusan sungguh tidak berprikemanusiaan...!
    Terkadang saya heran dgn para pengambil keputusan itu.... dimana logika mereka..? Tapi iyalah... mereka yg profesor...! Huufff...!! Profesor kadang suka aneh-aneh... he he he..!

    BalasHapus
  6. Baru pada tahun pelajaran 2009/2010 kebetulan saya tidak mendapat tugas mengajar di kelas IX, tapi cukup terhenyak dan bertanya-tanya bagaimana hasil UN siswa kami kalau jadwal dimajukan 6 minggu dari yang seharusnya. Sambil membayangkan dan mencoba berfikir keras ada tidak ya cara yg efektif dan efisien tuk menyiasati '6 minggu ' itu, agar siswa kami tetap siap dgn perolehan hasil yg prima . Hasilnya, walaupun siswa lulus 100% tapi nilai rata2nya anjlok dibandingkan tahun lalu.Jadi ternyata itu latar belakangnya ya ? makasih bu infonya..

    BalasHapus
  7. untuk sementara tanpa komentar duLu buw, Lagi buru-buru nih. cuma mau ngucapin seLamat berakhir pekan aja.

    BalasHapus
  8. Betul-betul-betul...
    Beginilah negeri "besar" yang kita cintai. Memang teori tentang penilaian (pendidikan) sudah banyak dikemukakan. Masing-masing punya lebih dan kurang, memang. Dan, di Indonesia, sesungguhnya banyak memiliki orang yang berkapabilitas untuk itu. TETAPI...???
    Hampir sama seperti pada sebagian besar kebijakan di Indonesia, bermasalah serius dengan: (1) keseriusan, (2) niat baik dan (3) keikhlasan.
    Pantaslah kalau kemudian (konon) orang-orang BSNP adalah orang "part time" atau (na'udzu billah) "sambilan".
    Masya Allah.....

    BalasHapus
  9. Wah...
    Bagus tuh photonya...

    Besitang ya??
    Kapan kesana???

    BalasHapus
  10. @Mursalin: itu poto di skul Q dewe teman. Bkn d besitang. Hmm... ini guru MAP Besitang ya..?

    BalasHapus

Komentar 'Yes' but Spam...oh...'No'...!