MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

29 Mei 2010

Sekolah...Oh...Sekolah...!



Setiap orang memiliki kenangan tersendiri ketika ia sekolah. Kenangan yang terkadang justru membentuk paradigma seseorang tentang dunia pendidikan. Masih jelas dalam benak saya bagaimana perasaan saya ketika didaftarkan pada sebuah SD swasta, yaitu SD Muhammadiyah di kota kecil Pangkalan Brandan (Hmm…mirip Laskar Pelangi kan ? he he he). Hati berbunga-bunga, sumringah, dan penuh dengan sejuta angan-angan. Seperti apa aktifitas yang dijalani sudah menari-nari di depan mata. Padahal itu baru didaftarin lo, duh lebay memang.

Ketika itu saya belum mengerti bagaimana guru yang mengajar secara konvensional dan bagaimana pula yang professional. Yang saya tahu guru-guru saya menyenangkan. Orang yang tidak pernah berkeluh kesah sekalipun mereka bukan guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Sehingga jangan harap saya rela diminta libur satu hari saja pada hari-hari sekolah. Jika pun harus libur, ya tentu saja karena sakit. Itu pun di rumah pikiran tetap menuju sekolah. Hati selalu bertanya-tanya.. Duh..lagi ngapain ini teman-temanku di sekolah. Mereka dapet tugas apa? Seru gak ya? Dengan kata lain Sekolah adalah sumber kebahagiaan saya.

Keadaan ini terus berlanjut hingga ke Perguruan Tinggi. Hanya saja ketika memasuki jenjang SMP dan SMA, mulai lah saya menemui guru yang ‘beraneka warna’. Tidak seperti guru-guru saya di SD lagi. Apakah karena mereka berstatus Pegawai Negeri Sipil (karena SMP dan SMA saya lalui di sekolah negeri), ntahlah. Tetapi justru di sinilah saya jadi lebih banyak belajar tentang hidup. Bahwa hidup itu memang full colour. Saya jadi mulai memilah-milah,mana guru yang patut saya gugu dan tiru, dan yang mana pula yang tidak patut digugu dan tiru, akan tetapi saya tetap mempunyai kewajiban menghormati mereka sebagai orang yang pernah mendidik saya, walaupun dengan style yang kadang membuat saya geleng kepala.

Namun dalam perjalanan itu, sedikitpun saya tidak pernah merasa bahwa sekolah adalah sebuah penjara. Tidak juga pernah rela libur untuk hal-hal yang gak penting pada hari-hari sekolah. Walaupun di SMP dan SMA guru-guru saya menerapkan disiplin ala militer (beberapa guru lo, tidak semuanya), saya selalu kangen ke sekolah. Bahkan hari Minggu pun doyan ke sekolah untuk mengikuti kegiatan PMR (Palang Merah Remaja). Jika pun ada yang sering saya keluhkan tentang sekolah akhir-akhir ini adalah system kelulusan ala UN. Seperti apa pemikiran saya tentang hal ini, silahkan baca di sini dan di sini.

Istilah bolos mulai dilakukan di Perguruan Tinggi. Karena membagi waktu antara tugas mengajar dan kuliah bukanlah hal mudah. Jika tugas sekolah sudah menumpuk (karena pada saat itu selain mengajar saya juga terlibat dalam team managemen madrasah), terpaksalah bolos. Berangkat jam 7 pagi, dan pulang jam 18.30 menjelang maghrib. Seperti apa wajah kampung di siang hari nyaris saya tidak tahu. Hu hu hu. Tetapi entahlah, semua itu tetap dijalani dengan happy. Bahkan Insya Allah, rencana hari senin nanti 31 Mei 2010 saya akan mendaftar sekolah lagi. Semoga Allah mengizinkan, karena segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa izinNYA. Apakah saya termasuk orang yang maniak sekolah? Atau ‘gila’ belajar? Ntahlah…. Whatever…!

Tetapi temans, dua hari lalu saya menerima email dari Mas Yudhistira Massardi yang tergabung dalam milis IGI (Ikatan Guru Indonesia), beliau memposting note putranya. Igamassardi (nama putranya) menumpahkan apa yang dirasanya ketika ia sekolah. Saya sangat tertarik dengan isi note itu (karena sangat bertolak belakang dengan apa yang saya rasa), lalu minta izin untuk dishare di sini. Alhamdulillah Mas Yudhistira mengizinkan. Banyak pembelajaran yang bisa kita peroleh dari note ini:

=======================================================

January 26, 2010 by igamassardi | Edit

Saya adalah anak yang tidak pernah menyukai sekolah.


Orang tua saya, khususnya Ibu saya. Selalu kewalahan menghadapi masa-masa sekolah saya. Dari SD sampai SMA, saya bukanlah anak yang bisa diharapkan untuk mengerjakan PR atau menyelesaikan tugas tugas sekolah sendiri tanpa paksaan dari pihak sekolah dan orang tua. Saya sempet dibawa ke psikolog untuk memastikan bahwa tidak ada kelainan yang berlebihan dalam perilaku saya sebagai anak kelas 5 SD.
Bukan tanpa alasan saya nggak suka yang namanya sekolah.

Pertama, mereka (sekolah) nggak pernah memberikan ruang agar kreatifitas saya dijadikan sesuatu yang berharga secara akademis. Saya sadar bahwa saya emang nggak pandai berhitung dan menghafal pasal pasal UUD yang menurut saya sampai sekarang nggak ada gunanya (paling tidak buat saya pribadi). Tapi saya yakin bahwa saya bisa berkesenian dengan baik dalam hal musik. Tapi alih alih mendukung bidang yang menjadi keunggulan saya, mereka justru memaksa setiap muridnya untuk pandai matematika dan ekonomi. Lalu kemudian diadakan olimpiade untuk kedua hal tersebut. Pemenangnya mendapat gelar murid teladan. Klise.

Bukankah tidak ada satu bidang untuk semua orang? Semua orang adalah unik dan memiliki ketertarikan pada hal yang berbeda beda. Standarisasi akademis sering memaksa kita sebagai murid menjadi tidak memiliki pilihan lain untuk menuangkan prestasi. Semua dipukul rata. Dan kita harus melakukannya.

Masa SMA saya adalah masa dimana pembelajaran menjadi tidak penting. Kenapa? Karena saya saat itu sudah tau apa yang saya ingin lakukan dalam hidup saya. Saya ingin jadi seorang musisi. Titik.

Namun justru di masa itu, masa yang menurut saya adalah saat yang sangat krusial untuk memilih kemana kita akan berjalan dan melangkah, justru sering di sesatkan ke arah yang sama sekali lain dan bertolak belakang dengan keinginan kita. Beruntung saya adalah anak yang keras kepala dan nggak suka diatur kalo menurut saya anjurannya nggak logis. Jadi ini membuat saya bergelut untuk tetap melakukan apa yang saya mau. Apapun taruhannya saat itu.

Kepala sekolah saya saat itu adalah orang yang memiliki apresiasi seni yang tinggi. Saya senang sama beliau. Namanya Pak Cecep. Orangnya sangat suportif. Beliau mengadakan ensemble gitar dan tari. Sungguh saya merasa senang saat itu. Namun entah kenapa kegiatan itu berhenti. Mungkin dianggap tidak bermanfaat untuk prestasi akademis oleh dewan yayasan sekolah saya saat itu. Berakhirlah kegiatan tersebut. Kegiatan satu satunya dimana saya bisa merasakan kesenangan dan gemilang ketika melihat dan melakukannya.

Dan atas izin Pak Cecep juga saya dan teman teman bisa membawa nama sekolah saya ke festival musik antar sekolah dan memenangkannya. Sungguh sebuah momen yang menurut saya saat itu sungguh berharga. Ketika saya dan teman teman di panggil kedepan saat upacara hari Senin dan diberikan selamat langsung diiringi tepuk tangan dan sorak sorai satu sekolah, momen itu tidak pernah saya lupakan.

Namun di akhir semester, yang nampak hanyalah eksekusi dari studi studi standar seperti IPA dan IPS. Tidak nampak penghargaan atas usaha saya dan teman teman membawa nama baik sekolah dalam bidang seni. Bahkan seni pun tidak masuk dalam daftar mata pelajaran. Sungguh memilukan.

Lalu ketika kita selesai menunaikan pendidikan di SMA, kita langsung dihadapkan dengan kenyataan “Memilih Jurusan Kuliah yang Baik dan TIDAK SALAH PILIH.”
Bagaimana mungkin!?

Selama masa pendidikan 12 tahun kita tidak diberikan pilihan untuk melakukan ketertarikan di bidang masing masing. Ada yang suka otomotif, olahraga, musik, teater, tari, bahasa, namun jarang sekali ada penyuluhan untuk hal hal tersebut. Yang ada hanyalah ekstrakurikuler. Hal yang menjadi jalan hidup kita hanya dijadikan sebuah ‘ekstra’. Ironis.

Tidak heran banyak sekali orang yang ‘terpaksa’ masuk jurusan jurusan umum seperti ekonomi dan komunikasi. Bagus kalo memang mereka mau masuk sana, tapi realitanya adalah mayoritas orang yang mendaftar jurusan itu bukan karena memang mereka mau, tapi karena alasan klise “Ya daripada gue nggak kuliah?”
Dari tekanan pendidikan 12 tahun lalu kemudian dalam waktu kurang dari 6 bulan kita sudah harus menentukan arah hidup? Brillian.

Mungkin memang ada anak anak teladan yang sah sah saja dengan semua ini, tapi saya nggak mewakili mereka. Saya mewakili saya sendiri, dan kalian yang mungkin berpikiran sama dengan saya. Bahwa ada hal hal lain diluar pendidikan formal yang menjadi tujuan hidup kita namun tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pihak yang memiliki andil besar dalam pendidikan kita, yaitu Sekolah.

Sekolah sebenernya nggak buruk. Sistemnya aja yang udah harus berubah. Mereka harus bisa lebih interaktif dan reaktif terhadap bakat dan keunggulan tiap tiap siswa secara individu. Kalau sekolah msih terus main pukul rata bodoh dan pintar berdasarkan mata pelajaran. Maka selamanya jebolan pendidikan dasar di Indonesia tidak akan memiliki potensi berkembang.

Semoga semua perubahan dan perkembangan ini bisa terealisasi.
Jadi nggak ada lagi murid murid yang nge tweet..

“Tujuan untuk sekolah tuh cuma untuk bergembira mendengar bel istirahat dan bel pulang.”
Selama mereka masih berpikiran seperti itu, berarti ada yang salah dengan sistem di sekolah tersebut.

“Its not our fault for being an education dissidents and disdain the academics, its their responsibility to make the grade based on our personal interest. Its your future not them.” -Iga Massardi-

"We don't need no thought control. No dark sarcasm in the classroom. We don't need no education." Pink Floyd - Another Brick in The Wall

========================================================

Sungguh tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang dituangkan Igamassardi adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Ini penting untuk dijadikan pemikiran dan pertimbangan oleh para pendidik, apalagi oleh para pengambil keputusan dunia pendidikan negri ini. Sebagai guru, terkadang kita sering terkontaminasi dengan cara guru-guru kita dulu. (Ingat petuah dari Ali bin Abi Thalib: Didiklah anakmu untuk masa yang bukan masamu). Itulah sebabnya mengapa saya selalu mengambil yang baik, dan mengesampingkan yang buruk dari guru-guru saya, namun tetap menghormati mereka sebagai guru. Tidak ada istilah BEKAS guru.

Juga tidak dapat dinafikan ada yang jomplang dalam sistim pendidikan kita. Tidak sinkronnya KTSP dengan sistem kelulusan ala UN membuat sebahagian pendidik menangis tanpa suara (termasuk saya) dan mengantarkan mereka ke dalam shaf serendah-rendahnya iman (karena hanya mampu DIAM…termasuk saya juga). Sampai kapan system ini dipertahankan pemerintah ? Ntahlah….!

Nah, seperti apa persepsi temans tentang sekolah…? Silahkan share di kotak komentar ya. Komentar teman sangat bermanfaat sebagai input untuk perbaikan diri para pendidik kita. Guru juga manusia yang selalu perlu di up-date. He he he….!

12 komentar:

  1. mengamankan PertaMax dulu,
    Wah dulu Vista 84 waktu masih sekolah juga perasaan gitu ha ha ha pengennya libur terus ha ha ha ha :-D tapi dapat uang saku

    BalasHapus
  2. Ya bu, ma'f emang kmrn blm baca sepenuhnya sih! Hmm...

    BalasHapus
  3. maksunya g bisa gimana bu pasang awardnya di p0stingan ? apakah ada laporan kesalahan ? gpp bu ga usah di save langsung di publish aj kalo muncul laporan kesalahan, mudah2an membantu, btw malah bagus kuk buk dipasang di side bar he he he keren abis biar blog Vista 84 dikenal oleh teman2 ibuk, sem0ga juga ntar ketularan pagerank dari blog ibu ini he he he :-D

    BalasHapus
  4. Saya turut prihatin dengan apa yang dirasakan oleh Mas Iga Massardi dan sudut pandangnya tentang pendidikan, entah luka dalam apa yang menyebabkan demikian pahitnya pendapat dan sudut pandangnya tentang pendidikan.Mungkin dalam perjalanan menempuh pendidikan formalnya mas Iga mengalami “Intimidasi” seperti yang pernah saya baca di artikelnya pak Adjat Sudrajat http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/11/guru-dan-siswa-yang-terintimidasi/ atau pernah bersekolah di “sekolah Berbahaya” http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/06/sekolah-berbahaya/ karena pengalaman saya sendiri bersekolah tidak jauh beda dengan Bu Sri “sangat menyenangkan”.
    Saya teringat waktu kecil pernah didongengi ayah saya tercinta almarhum Pak Wachyu, tentang lima orang buta (Tuna Netra /TN) yang ingin tau tentang gajah. Ceritanya kelima orang itu akhirnya ada yang menuntun dan menunjukkannya pada seekor gajah dewasa yang sama, setelah kumpul kembali mereka diskusi dan menceritakan hasil "temuan" nya tentang gajah tadi.Apa pendapat mereka masing2 tentang "Gajah" ?
    TN 1 : Gajah itu ternyata lebar seperti kipas yaa (karena yang dia pegang bagian kupingnya)
    TN 2 : Gajah itu seperti pohon sebesar pelukan saya dan berkerut-kerut ( karena yg dia pegang kakinya) .
    TN 3 : Gajah itu seperti pelecut kuda (karena yang dia pegang adalah buntutnya )
    TN 4 : Gajah itu seperti ular besar tapi sisiknya aneh (karena yang dia pegang adalah belalainya )
    TN 5 : Gajah itu seperti tanduk kambing (karena yang dia pegang adalah gadingnya)
    Artinya pendapat dan pandangan seseorang tentang sesuatu hal tergantung dari pengalaman apa yang dia peroleh tentang hal itu. Seperti tentang gajah tadi dari kelima tuna netra ternyata punya pendapat yang berbeda karena bagian yang mereka pegang masing-masing berlainan. Tentu saja harus ada seseorang yang berkepentingan menyamakan persepsi tentang “Gajah” itu apabila ingin mereka punya persepsi yang sama tentang “Gajah” itu.
    Demikian pun tentang pendidikan tentu saja banyak orang yang berbeda pendapat dan sudut pandangnya tentang pendidikan dan itu syah-syah saja menurut saya.
    Saya sebagai praktisi pendidikan juga kadang tidak setuju terhadap berbagai kebijakan dalam perjalanan reformasi pendidikan di Indonesia tapi kadang saya berpendapat mungkin ilmu saya memang belum sampai situ karena saya akui para pengambil kebijakan kan orang2 pintar dan berpengalaman di bidangnya. Kalau perbedaan sudut pandang sudah demikian melelahkan batin (kl lelah fisik kan mudah mengatasinya tinggal istirahat )akhirnya saya hanya berusaha ikhlas dengan apa yang terjadi, sepahit apapun itu seperti pepatah bijak mengatakan” : Saat kenyataan tidak sesuai dengan impian, percayalah bahwa inilah yang terbaik untuk kita. Kita tidak pernah tahu skenario yang telah ditetapkan-Nya.Tapi kita harus yakin segala ketetapan-Nya adalah skenario terbaik-Nya untuk kita”. Atau seperti yang dinukil QS Al-Baqarah :“Boleh jadi kamu tiada menyukai sesuatu, padahal baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal tidak baik bagimu. Tapi Allah mengetahui dan kamu tiada mengetahui” Al Baqarah (2):216.
    Kadang saya bersenandung kecil menyanyikan sepotong lagu The Masiv "Syukuri apa yang ada , hidup adalah anugrah, tetap jalani hidup ini , melakukan yang terbaik, jangan menyerah, jangan menyerah....Ajaib, biasanya saya bersemangat lagi menjalani tugas saya sebagai pendidik yang kata sebagian orang "Mulia".Wah maaf Bu coment saya kepanjangan ya ?

    BalasHapus
  5. Bagi saya sekolah itu sangat menyenangkan...
    Terutama saat SD dan MTsN... Bisa banyak berkreatifitas... Tapi setelah di MAN saya agak setengah hati karena keinginan saya dari awal adalah masuk STM untuk ngambil Teknik Elektro karena saya hobby utak atik sejak dari SD... Bahkan mainan yang bertenaga baterai tidak saya mainkan, tapi saya bongkar untuk mengetahui kinerja geraknya. Orang tua menginginkan saya masuk MAN dengan alasan kalo masuk STM nantinya hanya akan terpengaruh oleh perilaku kebanyakan siswa STM yang kala itu sedang marak-maraknya tawuran... Itu saja kekhwatiran saya... Tapi bagi saya hal itu terasa menjegal cita-cita yang saya bangun sejak dari kecil... bahkan ketika akan msuk MAN tersebut, orang tua saya lebih mendengarkan kata saudara sepupu saya yang juga lulusan STM yang kesulitan masuk universitas karena kurangnya materi umum yang dikuasainya (walaupun akhirnya lulus juga di universitas). Saya dianjurkan memilih jurusan IPA ketika kelas tiga nantiny, tapi saat penjurusan, saya terlempar ke kelas Bahasa karena nilai saya untuk masuk ke IPA tidak mencukupi... Bahkan negosiasi dengan guru pun tidak berhasil menggeser posisi saya ke kelas IPA... Kuliah saya pun tidak lebih hanya sekedar menjadi simbol kebanggaan... Saya serasa sekedar menjadi alat kebanggaan...

    BalasHapus
  6. Ass.Wr.Wb.Pnglmn sy "bersekolah" seingat sy relatif manis.Di SD, sy sngt mnikmati kegiatan Pramuka, Prktik masak, seingat sy kl kenaikan kls n prpisahan kls VI di sklah kami tdk hnya diumumkn sswa brprestasi bdng akademis sj tapi juga ada juara menabung, ada tampilan2 kesenian dr puisi,drama,gending karesmen dan gondang ,sy rasa kegiatan ini mrpkn bagian latihan mengapresiasi seni dan upaya mengmbngkn kemampuan n bakat non akademis siswa. Sy ingat kami sngt mnunggu saat2 itu dan kami smua menymbutnya dngn sukacita n ekspresif.
    Di SMP pun seperti juga Bu Sri, saya mulai mngmati n bs menilai bhw ada bbrp guru yng sngt berperan positif dlm pmbntkkan sikap siswa trhadap mata pljran yang diajarkannya tp ada yang sama sekali tdk brpngaruh. Sy ingat di kls 2 (kls 8) sy jd sngt suka pljrn B.Indonesia trutma sastra krena demikian mnariknya gr kami waktu itu mmprkenlkn sastra lama jg satra baru pada kami . Pljran Geografi pun demikian, sy sngt senang kl guru Geografi menerangkan benua2 yang ada di Dunia serasa sy mnjljahi dunia sungguhan (kebetulan waktu itu sy sdang seneng2nya mmbaca bk petualangan Old Sutherhand karya Dr Karl May).
    Di kls 3 sy mulai mnydari bahwa sy sngt mnyukai pljaran mtmtk dan B.Inggris padahal di kls 3 inilah kami mndpt guru matematika yang sngt galak tp dngn kegalakannya itu, sy bahkan mnysali knpa baru ktmu beliau di kls 3 ? krn sy baru mnydari btpa waktu di kls 2 dl saya bnyk mnyia-nyiakn waktu, krna guru sy d kls 2 trlalu baik jd kdng mmbiarkan sj kami ngobrol( he..he maaf hobby sy mmng ngobrol, lht saja kl sy dbri ksmptn koment ya kya gni ngabsin tmpat ) smntara beliau mnerngkan di dpn, bisa jadi beliau sih mnrangkn dngn baik n jelas hny sj beliau tdk trllu peduli apakah siswanya mmprhatikn a tidak .
    Sy rasa guru2 hebat sy di SMP inilah yang mmberi inspirasi n bs mmpngaruhi sy menentukan langkah penting dalam pilihan hidup. Bhkan mmberi ksadaran pd sy btapa pntingnya mencari ilmu dlm mmbekali diri tuk mnjlni hidup.Ketika SMA saya harus hijrah ke Jakarta saya sngt brsykur krna wlpun SMP sy d daerah tapi bs mnsejajarkan dri dngn teman2 SMA sy d Jakarta sy fikir ni berkat guru2 hebat sy di SMP, ilmu saya tdk trtnggl. Pendek kata pnglman saya jadi siswa cukup manis deh walaupun ada beberapa guru yang mnrut sy tdk mnjlnkan tugasnya dengan baik mslnya tdk mmbagikan hsl ulangan, pilih kasih, malas, mereka pun menjadi bagian inspirasi bagi saya skrang ktika sy sdh njadi guru.Sebisa mungkin sy mnghindari bersikap sbg guru yang dl ketika jd murid pun tdk sy sukai.
    Skrang d sklh kami di sebuah SMP diusahakan ada bbrpa jenis ekskul yang dharpkan dpt mngmbangkan kecerdasan sosial dan personal siswa. Selain itu karena setiap tahun ada agenda OOSN tingkat kecamatan,kabupaten, bahkan Provinsi dan Nasional, maka di sklah kami pun mengagendakan kegiatan Pensi dan Porak berupa lomba antar kelas pada peringatan HUT sekolah misalnya. Para juaranya kami kirim ke lomba tingkat berikutnya, dan pada pesta pelepasan kelas IX mereka dberi ksmpatan unjuk kmampuan smbil disebutkan prestasi mereka sebagai duta sklah d bidang seni maupun OR.Jadi di sklah kami bukan sj yang berprestasi di bidang akademis saja yang diberi kesempatan berkembang dan diberi penghargaan. Mudah2an dengan demikian tidak ada lagi yang memandang sinis bahkan sarkatis terhadap peran sekolah atau pendidikan formal.Semoga kita sebagai praktisi pendidikan dapat memberi sumbangsih yang berarti dan positif bagi para peserta didik kita calon pemimpin masa depan bukan sebaliknya Amiin.Saya ingat oleh2 kepsek saya dari Malasyia berupa filosofi Pendidikan : "Kalau seorang dokter salah mendiagnosa pasiennya maka mungkin hanya satu dua orang yang jadi korban,begitupun kalau seorang hakim salah memutuskan perkara mungkin hanya satu orang yan terdzolimi, tetapi apabila seorang guru salah mendidik atau salah mengajar maka berapa banyak generasi penerus bangsa yang akan rusak ?".

    BalasHapus
  7. yah hari ini jadi pengomentar ketinggaLan nih, udah gitu yang komentar panjang-panjang banged Lagi, enggak sanggup untuk menandinginya nih. hehehehe....
    cukup baca-baca aja deh sambiL nyontek untuk dipostingkan berdasarkan bahasa si_om sendiri, mengenai permasaLahan yang sama.
    nih sedikit dikasih bocoran:
    --sekoLah merupakan tempat pendidikan untuk menciptakan generasi yang berinteLektuaLitas, namun ironisnya sekoLah justru membuat anak-anak menjadi stress dan pada akhirnya mereka meniLai bahwa pengaLaman bersekoLah tidak menyenangkan, dan ....??????--
    -segitu aja yah bocorannya-, wkwkwkwwk....
    --------------
    INFO: nuLis *disini*-nya saLah tuh buw, harusnya *disiniii...* terus masukin deh Linknya om_rame. hueheheheehehhe...uhuk...uhuk.

    BalasHapus
  8. saya punya dua mata pelajaran paporit saat sekolah :

    olahraga dan pelajaran kosong.

    hahahahahaha...

    saya suka sekolah sebagai komunitas, tempat berkumpul bareng temen. tapi saya sepenuhnya setuju bahwa sekolah tidak pernah menarik dilihat dari sudut pandang sistem yang diterapkan. kriteria pintar atau tidak hanya dilihat dari prestasi akademis. apa yang baik bagi murid sudah ditentukan tanpa melihat potensi dari murid itu sendiri. saya cuma bisa bilang :

    "sekolah membunuh kreatifitas",

    dan itu baru saya sadari sekarang setelah beberapa tahun saya tercebur pada dunia yang hanya saya ikuti berdasarkan arus. Bukan saya tidak bersyukur, kalo kita berbicara mengenai takdir maka segala sesuatunya telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Namun ada saat saya merasa bahwa kemampuan saya, potensi saya yang sesungguhnya sia-sia termakan pola pikir masyarakat dan sistem sekolah yang lebih menghargai manusia dari prestasi akademisnya.

    itu menurut saya. Namun segala sesuatu sudah ada yang mengatur. Allah Azza wa Jalla. Tinggal berdoa untuk ditunjukkan jalan yang dirhidoi. dan lakukan yang terbaik sebagai tanda syukur atas nikmat yang diberikan.

    ciauuww...

    BalasHapus
  9. Ohya bu, sebagai guru matematika di SMP saya selalu berusaha agar siswa saya menyukai pelajaran matematika karena belajar matematika bukan hanya bertujuan agar kita pandai berhitung tapi hikmahnya lebih dari itu.Hal ini saya kupas di artikel "Menyampaikan Pesan Moral dalam Mengajar Matematika" http://deepyudha.blogspot.com/2010/05/menyampaikan-pesan-moral-ketika_19.html (barangkali ada yang tertarik membacanya dan ikut memberi input).Trims yaa...

    BalasHapus
  10. alhamdulillah, bagus banget ceritanya .. tapi untuk saya selama masih ada air mata guru rasanya sulit untuk komentar , soalnya apa yang mereka keluhkan hampir sama dengan apa yang ada di hati saya .. namun untuk cerita tentang motivasi sekolah kalo mau ntar saya kasih ... mau ndak?

    BalasHapus
  11. @puisikus.co.cc: Ya maulah Pak.
    Khusus pd postingan ini saya tdk menanggapi komentar (kcuali jawab pertanyaan bpk d ats. he he he). Karena memang ingin menampung segala pendapat. Kan sdh d bilang sdg butuh in put. Lumayan utk tambahan 'referensi bersikap' sebagai guru BP. he he he... Thanks All

    BalasHapus
  12. Di sebagian masyarakat ada persepsi bahwa sekolah tak ubahnya seperti penjara (biasa disebut kelompok de schooling). Mereka menganggap sekolah hanya menghasilkan manusia-manusia yang membebek dan membeo.
    Kasus di atas tentunya menjadi tantangan kita semua untuk mengembangkan pendidikan yang lebih kreatif dan fasilitatif.

    BalasHapus

Komentar 'Yes' but Spam...oh...'No'...!