MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

20 Januari 2013

Tak Serapuh Rumah Kartu

Rumah Kartu; terkesan kokoh namun rapuh. Sekali sentuh, rawan runtuh. Demikianlah image Rumah Kartu. Akan tetapi tidak demikian dengan kumpulan puisi-puisi Eko Prasetio dalam Rumah Kartu. Rumah Kartu merupakan kumpulan puisi yang didominasi oleh puisi-puisi minimalis dari segi kosa kata, namun sarat makna. Membaca Rumah Kartu seperti terhipnotis. Enggan berhenti di satu puisi. Ingin terus membaca berikutnya dan berikutnya lagi. Jika pun harus tertunda, ada hasrat yang tak ingin lari, untuk melanjutkan lagi.  

Baru kali ini saya membaca buku puisi dengan perasaan campur aduk. Kadang senyum sendiri, kadang jidat berkerut, tetapi juga kadang termehek-mehek. Pemilihan kosa kata yang terangkum dalam kalimat menjalin bait-bait yang tidak begitu panjang, terkesan minimalis. Tetapi makna di baliknya sungguh sarat, hingga menggetarkan hati. Membuat puisi-puisi ini sungguh ‘bernyawa’. Mengungkapkan kecintaan pada Sang Khalik, Kecintaan pada sang Istri yang selalu disebutnya Jeng Ratih-ku Sayang, juga Kecintaannya pada sesama dengan kritik-kritik sosialnya. 


Mahabah adalah salah satu puisi yang mengungkapkan kecintaan pada Sang Khalik. 

dekap tarikan nafasku setiap saat 
buat aku faham akan artimu di kehidupanku 
agar aku tak mudah menyakitimu 

bersihkan jiwa ini dari lumuran kedengkian 
buat aku faham akan pentingnya kesabaran 
agar aku tak mudah menyombongkan diri 

perdengarkan padaku ayat-ayat Tuhan 
buat aku faham akan indahnya kerinduan 
agar aku tak pernah lupa siapa pemilik ruhku 

bilamana kau datang untukku 
janjikan kedamaian yang takkan berpudar 
untukku dan Dia 
agar bisa kujemput kebahagiaan 
sampai akhir kelak. 

(Mahabah, h. 2)

Selain Mahabah, masih ada beberapa puisi lagi yang mengungkapkan kecintaan pada Sang Khalik. Seperti Sujud dan Rindu Makkah. Pemilihan kosa kata yang cerdas mampu menghanyutkan hati dan tanpa sadar membuat mata basah. 

Sementara itu ungkapan cinta untuk Istri terkasih ditunjukkan begitu jelas dan mendominasi isi buku ini. Barisan-barisan puisi yang selalu diawali dengan pernyataan Jeng Ratih-ku sayang. Sungguh kado ulang tahun yang sangat manis untuk Istri tercinta. Yang membuat gemas hati, ungkapan cinta itu dinyatakan dalam bait kata yang begitu minimalis; 

:Jeng Ratih-ku sayang 

kuhimpun pelepah kata yang terbuang 
kubersihkan sebagiannya 
kutata kembali hingga membentuk apa yang biasa kau sebut rindu 

(Serenade, h. 34) 

Sungguh menggemaskan. Hati wanita tentu ‘penasaran’ dengan ‘pelit’-nya kosa kata ini. He he heee. 

Begitu juga kepedulian seorang Eko Prasetio terhadap kehidupan sosial. Simak saja barisan-barisan puisi berikut ini: 

dan perdu, pohon-pohon liar, rawa-rawa bisu memasang wajah masam 
menatap bocah-bocah dari lorong waktu yang tak lagi betah tinggal di sudut kota 
sebab, tanah lapang kini semakin sulit dicari 

(Pledoi Senja, h. 3) 

Naluri humor nan cerdas Eko Prasetio jelas terlihat dalam puisi kritik sosial berikut ini: 

aku kejar kau sebelum jarum panjangmu di angka 12 
kau tertawa terkekeh mengejek penuh kemenangan 
jelang sepuluh menit aku harus bersabar di antrean panjang malam jahanam 
jelang lima menit aku mulai ragu 
saat tiba giliranku 
harga bensin sudah enam ribu 

(00.00, 24 Mei 2008, h. 11) 

Eko Prasetyo selalu mencantumkan tanggal penulisan puisi-puisinya. Seolah-oleh mengajak pembaca untuk mencermati jejak langkahnya. Jejak perjalanan batinnya. Jejak pemikirannya. Hingga jejak perasaannya. Semua terangkum menjadi satu. Berbagai ‘rasa’ ada di sini. Sungguh buku kumpulan puisi yang memiliki karakter tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar 'Yes' but Spam...oh...'No'...!