MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

2 Mei 2012

Bangkitnya Generasi Emas (Yang Mana...?)

“Tema Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 ini adalah Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro, yang pada hari ini kita peringati hari kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.”
Demikian penggalan sambutan Mendikbud pada hari pendidikan nasional 2 Mei 2012 di bagian awal. Generasi Emas, sebuah istilah yang ‘menakjubkan’. Saking menakjubkannya, nalarku tak mampu mencerna maksud ungkapan Generasi Emas itu. Generasi yang manakah itu? Apalagi merelevansikannya dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri, sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia.
Kemudian dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu sistem pengajaran dan pendidikan yang harus bersinergi satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).  
Mencermati sistem pendidikan kita hingga detik ini adakah yang telah ‘bersinggungan’ dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara seperti diuraikan di atas? Gonjang-ganjing UN yang tiada akhir. Pembangkangan dan arogansi pengambil kebijakan yang tetap mempertahankan Ujian Nasional sebagai exit exam, meskipun ‘cacat’ hukum, karena telah ‘kalah telak’ di Mahkamah Agung maupun di Pengadilan Negeri Jakarta. Maka sungguh tepat jika Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia menyatakan bahwa UN adalah illegal testing. Antara kebijakan pendidikan dengan kebijakan politik. Belum lagi hadirnya kastanisasi pendidikan seperti sekolah regular, Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan sebagainya. Sebuah kebijakan yang mengantarkan tunas bangsa pada gerbang kapitalisasi pendidikan. Andaikan Ki Hajar Dewantara masih hidup, mungkin ia akan ‘mencak-mencak’ dengan semua fenomena ini. 

“Kita semua harus bersyukur bahwa pada periode tahun 2010 sampai 2035, bangsa kita dikarunai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa. Jika kesempatan emas yang baru pertama kalinya terjadi sejak Indonesia merdeka tersebut dapat kita kelola dan manfaatkan dengan baik, populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa tersebut insya Allah akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) yang sangat berharga". 

Di sinilah peran strategis pembangunan bidang pendidikan untuk mewujudkan hal itu menjadi sangat penting. Akan tetapi, sebaliknya, bukan mustahil kesempatan emas tersebut menjadi bencana demografi (demographic disaster) bila kita tidak dapat mengelolanya dengan baik. Sudah tentu hal ini tidak kita inginkan.” 

Begitulah isi pidato Mendikbud pada bagian inti. Demographic dividen, aha…sungguh menarik istilah ini. Bonus demografi ini jugakah yang telah melatarbelakangi munculnya angka-angka 600 milyar untuk gawean UN tahun 2012 ini? Atau juga melatarbelakangi kebijakan melegalkan menyedot uang rakyat untuk promo RSBI atau SBI yang hanya bisa dinikmati segelintir anak bangsa Indonesia? Ah, entahlah. 

Lalu demographic disaster yang tidak diinginkan itu, namun mengapa telah ‘dirintis’ dari sekarang? Berapa banyak tunas bangsa yang memiliki talenta unik telah menjadi ‘korban’ UN? Berapa banyak tunas bangsa tidak bisa menikmati ‘indahnya’ fasilitas RSBI hanya karena orang tuanya terpuruk dalam kemiskinan, sementara jatah mereka hanya 20%. Pendidikan masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar anak bangsa. Baik pendidikan dasar, menengah apalagi pendidikan tinggi. 

Duh, bukan maksud hati mencari-cari sisi negatif dan menafikan yang positif. Tetapi berawal dari pernyataan “…Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro”, telah membuat diriku membongkar ‘harta karun’ berupa wejangan dari Ki Hajar Dewantara dan berusaha menemukan relevansinya dengan fenomena yang ada saat ini. Hasilnya…mentok! Lalu kebangkitan generasi emas itu? Generasi emas manakah yang dituju? Apakah generasi yang lulus UN dengan nilai abrakadabra dan kompetensi olalaaaaa? 

Ah, sudahlah. Aku tak perduli dengan UN. Aku hanya perduli menemukan solusi bagaimana cara agar siswa betah di sekolah dan menjalani aktifitas dengan rasa ingin tahu dan menemukan kegembiraan dalam belajar. Menanamkan rasa betapa asyiknya belajar. Belajar untuk menyalurkan aspirasi dan memanusiakan diri, bukan semata-mata demi UN. Memang gampang menemukan cara ini? Hmmm…hidup seribu tahun lagi belum tentu ku temukan cara yang pasti. Hi hi hi…

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga kita dapat menempatkan diri sebagai solusi bukan sebagai sumber masalah. Semoga juga yang Maha Kuasa menjaga hati kita untuk tetap istiqomah mencerdaskan anak bangsa demi kebahagiaannya di dunia dan akhirat, bukan demi lulus UN…!

3 komentar:

  1. Wah Jadi Ada Sesuatu di benakku setelah membaca rangkaian kata Kitis analitis yg setema dg Update Status FB ku hehehe....izin Share ya mbak SRIAYU

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan Pak. Trimakasih sudah mampir.
      Salam Pendidikan

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Komentar 'Yes' but Spam...oh...'No'...!