Namanya Halimatussakdiyah. Persis nama ibu susu Rasulullah Muhammad SAW. Ia tinggal di daerah pesisir kota Pangkalan Brandan yang disebut Borboran oleh masyarakat setempat. Berasal dari keluarga yang amat sangat sederhana (maaf dapat disebut di bawah garis kemiskinan). Cenderung introvet dan tidak banyak bicara. Mengapa ? Mungkin karena teman-temannya selalu menertawakan dirinya jika ia bicara, terutama di dalam kelas. Memang Halimah, demikian biasa namanya dipanggil, memiliki gaya bicara yang unik. Yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain pada umumnya. Hal inilah yang membuat saya tertarik dengan anak ini. Mengapa gaya bicaranya se-unik itu?
Pertanyaan ini terjawab, ketika ia duduk di kelas VIII saya berkunjung ke rumahnya. Tujuan kunjungan itu untuk melihat keadaannya pasca operasi tumor yang dijalaninya. Ya, gadis kecil itu ternyata ‘menyimpan’ tumor di perutnya dengan berat mencapai 1 kg. Pantaslah ia sering mengeluh sakit perut. Dengan bantuan fasilitas Gakin, ia dapat dirawat dan dioperasi di Rumah Sakit umum Tanjung Pura.
Tahukah temans, sebelum dokter mengatakan bahwa ada tumor diperutnya, ia sempat digossipkan oleh warga kampung tempatnya tinggal bahwa ia hamil. Tumor seberat hampir 1 kg tentu saja membuat size perut gadis kecil itu membuncit. Ayahnya sempat meradang dengar gossip ini. Ocehan-ocehan tidak bertanggung jawab itupun berhenti setelah Halimah di operasi.
O,ya kembali pada cerita kunjungan saya ke rumahnya pasca operasi. Setelah bersusah payah, bertanya kesana-sini, akhirnya saya bersama seorang teman berhasil menemukan rumahnya yang nyelip di antara rumah-rumah penduduk. Karena nyelipnya kenderaan kami gak bisa nyampek ke rumahnya. Padahal kenderaan yang digunakan cuma sepeda. Maklumlah temans, Omar Bakri-isme sih. He he he. Terpaksa sepeda dititipkan di rumah tetangganya. Dengan nyelip-nyelip jalan di sela-sela pinggiran rumah penduduk, ya minta izin numpang lewatlah, akhirnya kami tiba di rumahnya. Sebuah rumah panggung berlantai kayu (maaf, lantainya sudah bolong-bolong. Saya sempat ragu ketika akan menginjak lantai tersebut. Karena kelihatanya kondisinya sudah lapuk. Tapi dengan Bismillah, saya injak saja. Alhamdulillah, tidak terjadi hal yang dikhawatirkan). Jika air laut pasang maka air laut akan menggenang tepat di bawah lantai tersebut. Banjirlah halamannya. Ketika itu rumahnya belum menggunakan listrik. Mereka memakai lampu sentir atau kata orang Jawa lampu teplok. Di ruang tamu tempat kami duduk (kami duduk dilantai kayu beralas tikar, karena memang tidak ada kursi tamu di situ) hanya terdapat sebuah meja tulis yang sudah tua dilengkapi kursinya dan bufet tua yang diatasnya ada pesawat televisi yang.....maaf...saya rasa sudah tidak dapat digunakan lagi.
Nah dalam kunjungan inilah akhirnya terjawab pertanyaan saya tentang gaya bicara Halimah yang unik tersebut. Ternyata ibunya Halimah bisu. Saya terdiam ketika mengetahui hal ini. Pantaslah gaya bicara Halimah rada unik. Bukankah Ibu adalah guru pertama bagi anak? Jika ibunya bisu, siapa yang akan mengajari dia ‘bicara’? Sementara ayahnya bekerja ke laut sebagai nelayan. Terkadang sampai seminggu tidak pulang. Sedangkan Halimah anak tunggal. Sebenarnya ia memiliki beberapa saudara, tetapi satu persatu saudara-saudaranya meninggal karena suatu penyakit ketika balita. Dalam kunjungan itu betapa Ibunya kelihatan sangat terharu dengan kedatangan kami. Dengan bahasa isyaratnya sepertinya begitu banyak kata-kata yang ingin diucapkannya, yang semua gerak tubuh itu intinya adalah TERIMAKASIH. Anehnya Halimah mengerti betul bahasa isyarat Ibunya. Bahkan kata Ayahnya, Halimah lebih bisa memahami bahasa isyarat Ibunya dari pada dirinya sendiri.
Walaupun ibunya bisu, beliau tetap bekerja sebagai buruh membelah ikan untuk dijadikan ikan asin. Terkadang Halimah pun ikut membantu ibunya demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Setelah kunjungan itu, Halimah mulai banyak bicara ke saya. Ada saja ceritanya. Di kelaspun dia semakin aktif dan kelihatan betul dalam proses pembelajaran ia sungguh-sungguh. Hanya saja dengan keterbatasan kognitif dan psikomotor yang dimilikinya hasilnya belum memadai. Tapi saya sangat senang dengan cara ia berproses. Apa lagi dalam pelajaran bahasa inggris, betapa ia bersusah payah untuk mampu menyebut kosa kata dengan pronouncation yang tepat. Setidaknya ia tidak menyerah. Terkadang saya sulit memahami kata-katanya. Ya karena keunikan gaya bicaranya itu. Teman-temannya mulai tidak lagi menertawakan dirinya di kelas. Karena kami (guru-guru) selalu memotivasi mereka untuk menghargai keunikan orang lain. Ditertawakan itu bukan hal yang menyenangkan dan tidak layak dilakukan.
Akhirnya Juni 2009 lalu ia lulus dari Tsanawiyah. Setelah itu saya tidak pernah mendengar kabar tentang dirinya, sampai pertengahan September kemarin. Kepala MAS Al Washliyah menjumpai saya dan bertanya.... ”Bu Ayu kenal anak ini?” beliau menunjukkan selembar copy ijazah. Copy ijazah itu milik Halimatussakdiah.
”Lo ini murid Tsanawiyah yang baru tamat tahun ajaran kemarin.” kata saya setengah kaget.
”Kok bisa sama Bapak ?” tanya saya.
”Tadi malam dia ke rumah saya. Dia bilang dia mau sekolah tapi tidak ada biaya. Menurut Ibu bagaimana? Layak dibantu tidak?”
Oh My God...! Ternyata Halimah selama ini tidak melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan biaya. Dengan semangat 45 saya jelaskan kepada Kepala MAS Al Washliyah bahwa ia sangat layak dibantu. Bahkan sebagai madrasah yang pola pendidikannya berlandaskan ajaran Islam, sungguh sangat berdosa menolak keinginan anak seperti Halimah. Saya ceritakan juga seperti apa kondisi keluarganya.
Dua hari setelah kejadian itu, saya melihat dia sekolah lagi. Kali ini seragamnya putih abu-abu. Dengan senyum sumringah ia menjumpai saya lalu menyalami saya sambil berkata... ”Bu, sekarang saya sudah Aliyah.” Betapa jelas rona kebahagiaan terpancar diwajahnya kala itu
Mungkin ini memang kisah biasa, tapi tidak buat saya. Halimatussakdiah, anak dengan segala keunikan yang dimiliki dan kerasnya kehidupan yang dijalani, tetapi ia tetap punya semangat untuk sekolah. Ia berani merajut mimpi. Dia berani menjumpai kepala MAS Al Washliyah yang tidak dikenalnya sambil bilang.... ”Pak, saya mau sekolah.” Kemauan kerasnyalah yang membuat ia berani.
Sementara banyak anak lain yang berasal dari keluarga serba berkecukupan, bahkan dari orang tua dengan latar belakang berpendidikan, tetapi tidak bertanggung jawab dalam proses pendidikannya di sekolah.
Halimatussakdiah, tahukah dirimu ? Bahwa ada seorang gurumu yang mendapat pembelajaran berarti dalam perjalanan hidupmu. Dan gurumu itu adalah...... D..I..R..I..K..U...!!
Selengkapnya...